Baru-baru ini, kita masyarakat Bangsa Indonesia disuguhi oleh sebuah "drama" dari dua unsur penting dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, yakni sebuah rekor baru yang pantas dicatat dan jangan dilupakan. Kejadian ini sepertinya adalah "buah" dari penyusunan struktur organisasi kepemerintahan negara kita yang agak "keseleo" dari yang seharusnya, sehingga membuat ketidak "akur"an dari sebagian anggota kesatuan “alat negara” yang lebih "familiar" dengan istilah kesatuan TNI dan kesatuan Polri.
Apa gerangan penyebabnya, yang pasti bukan masalah besar, dan dari beberapa pemberitaan pada media cetak dan elektronik, inti permasalahannya adalah hal yang sangat-sangat kecil, yakni awalnya hanya sebuah pelanggaran lalu-lintas oleh salah satu anggota kesatuan. Sangat sederhana dan teramat kecil nilainya dibandingankan dengan pelanggaran para birokrat "korup" dan oknum pengusaha "nakal" yang masih berkeliaran di luar sana (baik didalam negeri maupun diluar negeri). Apakah anda masih ingat cerita kaburnya Edi Tansil…dan atau para nasabah "pengemplang BLBI" ?.
Dengan kejadian diatas, ini menunjukan mengapa masyarakat Indonesia pada tingkatan "akar rumput" belum dapat menyelesaikan permasalahan yang sangat sederhana yang muncul disekitarnya, disamping hukum kita yang cenderung "tajam" kebawah dan "tumpul' keatas. Namun yang perlu disadari adalah pada setiap daerah sudah pasti memiliki individu yang paling tidak dapat ditokohkan, apakah dengan kejadian ini kepemimpinan para tokoh dari lingkup terkecil yang ada pada masyarakat sudah "luntur" atau sudah tidak dapat dipercaya lagi sebagaimana kita mencari dan mendapatkan seseorang dengan ketokohannya yang me "nusantara" pada tingkatan yang lebih tinggi, yakni pada level nasional.
Beberapa kejadian dalam bidang lain yang telah lalu juga demikian, ada perkelahian antar pelajar, perkelahian antar kelompok/geng dan yang lebih tidak masuk akal adalah perkelahian antar mahasiswa.
Padahal musuh nyata kita yang sudah jelas saat ini, adalah kepentingan asing "liberal" atau"kapitalis" melalui "kelompok" tertentu, seperti penguasaan block aneka jenis pertambangan, dari pertambangan emas freeport, gas dan minyak bumi "block cepu", batubara, nikel dan lain-lain, penguasaan lahan-lahan produktif secara sepihak oleh golongan tertentu dan belum lagi bagaimana jaringan penyalahgunaan obat-obatan psikotropika yang seperti secara leluasa masuk hingga memiliki pabrik di negeri tercinta Indonesia ini.
Dalam tataran penguasaan ilmu pengetahuan sebagai orang awam, saya menjadi heran, mahasiswa adalah sebuah sebutan untuk anak didik yang telah mencapai tataran/derajat tertentu sesuai dengan system pendidikan di Indonesia, tapi dalam kenyataannya, masih saja ada mahasisawa yang seharusnya mempunyai sikap “intelektualitas” lebih tinggi dibandingkan golongan masyarakat lainnya, malah mempunyai perilaku tak ubahnya geng "kampung” yang tidak tahu-menahu mengenai baca tulis. Lagi-lagi, apabila diselidiki ternyata akar permasalahannya juga hal yang seharusnya tidak terpancing oleh "emosi" sesaat. Jadi pelajaran apa yang selama ini didapat pada Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan yang sederajat?
Disisi lain kita juga dapat melihat permasalahan yang seperti berbau sara dibeberapa daerah, seperti kejadian di kota Bogor, Poso juga di tanah Madura serta daerah lain. Apa semua itu tidak dapat sama sekali dimusyawarahkan secara mufakat yang melibatkan berbagai unsur masyarakat dengan difasilitasi oleh negara, memang proses musyawarah mufakat atau kata "keren" nya berunding, sudah pasti memakan waktu yang tidak sedikit, tenaga dan juga pikiran, namun dengan cara-cara ini sudah pasti hasilnya akan lebih baik dibandingkan dengan cara-cara ringkas yang seolah-olah memaksakan kehendak ke salah satu pihak, dan ini jelas tidak beretika dan tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang sebenarnya.
Sebagai warga negara kadang saya bimbang "ada apa sebenarnya dengan bangsa ini…?" Mengapa Ibu Pertiwi senantiasa diisi dengan cerita-cerita kurang santun, kasar dan penuh kesombongan, apakah norma-norma yang ada pada masyarakat sebagai warisan leluhur kita, sudah mulai luntur dan bahkan mungkin "hilang" dari kebiasaan masyarakat kita, apakah peraturan
dan nilai-nilai agama ada yang salah…? Apakah Negara dalam hal ini dunia
pendidikan juga ada yang keliru…?
Para tokoh masyarakat beserta pemerintah harus mempunyai cara-cara konkrit juga peran serta seluruh lapisan masyarakat dalam mencipatakan suasana aman dan damai bagi lingkungannya masing-masing sehingga kejadian demi kejadian dapat diminimalisir dan ketenangan antar warga masyarakatpun akan lebih terjamin. Ini saya sampaikan karena kalau kita lihat para pemuka/pemimpin agama dan atau tokoh masyarakat merupakan individu yang sudah diakui akan sifat kearifan dan kebijaksanaannya jadi harus dapat membuat sebuah suasana kemasyarakatan yang aman dan nyaman bagi seluruh lapisan masyarakat pada lingkungannya masing-masing.
Perlu dicermati kembali, sebenarnya seperti apa jati diri dari berbagai suku bangsa yang mendiami nusantara ini, apakah karena nusantara ini terlalu lama dijajah oleh bangsa asing, sehingga jati diri kita sekarang ini bukanlah jati diri kita yang “aseli” dari nenek moyang kepulauan nusantara yang “adem-ayem” pada jaman dahulu kala? Kalau iya, apakah jati diri kita, yang bermacam suku bangsa dari kepulauan nusantara sudah seperti dalam istilah sekarang ini yang lagi "ngetren" sudah tercuci otaknya dengan jati diri adu-domba seperti yang banyak kita dapati pada buku-buku sejarah, baik pada masa-masa kerajaan maupun pada masa-masa penjajahan, mulai dari penjajahan Bangsa Portugis, Inggris, Belanda dan Jepang.
Semestinya kita harus merenung bersama, mengapa masyarakat Indonesia sekarang ini, sepertinya mudah sekali di "sulut" oleh hal-hal kecil alias urusan “kacang” dan selalu mempermasalahkan hal-hal yang kecil….seperti ini golongan saya, dan kamu bukan kaum saya.
Apakah kita lupa bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang besar dan kaya raya.
Coba anda buka peta dunia sekali lagi…
Semestinya sebagai sebuah keluarga yang besar dan "kaya", kita tidak pantas untuk berbuat hal kecil atau mempunyai cara berfikir “kacang” demi golongan tertentu. Kita harus mempunyai rasa “malu” dilihat oleh negara-negara di seluruh dunia, karena sekarang ini bukan lagi jaman batu, segala informasi mudah terpublikasi baik pada tingkat lokal maupun pada tingkatan global.
Sekali lagi apakah kita ini selalu lupa….
Kalau iya... mari kita sejenak mengingat dongeng nyata dari guru geografi di sekolah anda masing-masing, bahwasanya Kepulauan Indonesia adalah Negara besar dan kaya, oleh karena itu sebagaimana kebiasaan orang-orang terpandang dan kaya, kita juga harus mempunyai rasa "malu" apabila ada hal kecil yang tidak dapat terselesaikan dengan cara musyawarah mufakat, "kesusahannya dari sisi mana sebenarnya…"
Apakah kita perlu memanggil kembali salah satu Bapak Bangsa, yakni yang sering kita panggil dengan Gusdur... yang kita hormati bersama, dan identik dengan istilah "Gitu aj ko repot..." karena ternyata cara berfikir kita belum sampai untuk mengatasi berbagai persoalan yang ada di negeri ini.
Apakah kita perlu memanggil kembali salah satu Bapak Bangsa, yakni yang sering kita panggil dengan Gusdur... yang kita hormati bersama, dan identik dengan istilah "Gitu aj ko repot..." karena ternyata cara berfikir kita belum sampai untuk mengatasi berbagai persoalan yang ada di negeri ini.
Kita harus bisa mengedepankan rasa kebersamaan (nasionalisme) yang tinggi walaupun pada kenyataannya, mungkin nasionalisme itu akan sangat pahit, karena memang... kita harus akui bahwa rata-rata tingkat ekonomi masyarakat kita tergolong masih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang lebih makmur, apalagi dengan negara-negara maju yang cara berfikirnya sudah sampai pada pertanyaan "bagaimana caranya bisa hidup di planet mars atau di planet tertentu pada system tata surya yang lainnya?". Oleh karena itu untuk memulainya, marilah kita coba untuk tidak berbuat yang “memalukan” bagi bangsa dan Negara seperti sifat "korup", berbuat yang tidak santun seperti, berkelahi antar sesama warga Negara Indonesia, kalau mau berargumentasi silahkan asalkan sesuai dengan forumnya dan jangan mudah terprovokasi oleh orang/kelompok tertentu.
Yang perlu diingat bahwa kita merupakan salah satu dari bagian Negara Indonesia yang memiliki bentangan wilayah yang luas dan unik, jadi bukanlah sebuah Negara kecil dan dapat dianggap “remeh” oleh komunitas dunia, berbagai kekayaan alam yang melimpah mulai dari bahan "super murah" sampai beraneka bahan galian C yang "teramat mahal" harganya di pasaran dunia tersedia di hamparan tanah Indonesia, sehingga tak salah kiranya kalo group music tempoe doeloe “Koes Plus” menyebutkannya dalam sebuah lirik lagu dengan istilah “bukan lautan hanya kolam susu” yang sesuai dengan kata pepatah yang berbunyi “Kepulauan Nusantara adalah sekeping tanah surga yang jatuh ke Bumi”.
Jadi yang perlu kita upayakan dan perjuangkan adalah bagaimana semua kekayaan alam yang melimpah ini dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat dari Sabang sampai Merauke tidak dimonopoli oleh kelompok ekonomi tertentu atau dinikmati oleh segelintir orang apalagi oleh orang-orang dibawah kepentingan asing, alih-alih “eksport”, padahal pada kenyataannya kita tidak lebih cuma sebagai “pedagang” bahan mentah dan bahan setengah jadi, yang nilai eksportnya sangat murah di pasaran dunia.
Kembali kita mencoba mundur ke periode jaman yang lalu, apakah anda masih ingat istilah atau model HPH, apa kepanjangan katanya...? betul... Hak Pengelolaan Hutan, yang dimulai dari kebijakan pemerintah untuk memanfaatkan hasil hutan bagi kemajuan pembangunan. Hak Pengelolaan Hutan ini diberikan oleh pemerintah kepada pihak swasta untuk memanfaatkan sebaik-baiknya akan hutan beserta isinya bagi kemajuan pembangunan diberbagai bidang di seluruh Indonesia.
Jadi sudah jelas bahwa Hak Pengelolaan Hutan adalah untuk menciptakan nilai kemanfaatan dari hasil hutan yang ada pada waktu itu, nah yang jadi pertanyaaan adalah.... pada kenyataannya banyak hutan-hutan yang masuk area Hak Pengelolaan Hutan suatu perusahaan, yang tidak terkelola dengan baik sesuai dengan penggunaan standar kerja yang lazim pada sebuah badan usaha bernama "perusahaan", ini dapat dilihat dari bukti banyaknya area hutan yang tidak berbekas lagi alias “gundul”, jadi bagaimana mungkin hutan yang terkelola dengan baik oleh "nama" nya sebuah badan usaha berbentuk perusahaan bisa menimbulkan kegundulan hutan dihampir seluruh propinsi di Indonesia yang memiliki hutan.
Jadi aneh kedengarannya….model pengelolaan akan hutan akan tetapi banyak kejadian hutan "gundul" dan kerusakan-kerusakan lain dari ekosistem hutan itu sendiri yang menerpa kawasan-kawasan hutan yang mulai terlihat dibumi nusantara di abad 21 ini, dengan demikian bisa dipastikan bahwa prosedur kerja dari Hak Pengelolaan Hutan yang diamanatkan Negara kepada perusahaan Hak Pengelolaan Hutan, "hanya" berfungsi beberapa persen, selebihnya adalah pembatatan hutan tanpa memperhatikan prosedur dan ketentuan yang telah menjadi kesepakatan bersama antara pemerintah dan para pengusaha Hak Pengelolaan Hutan. Jadi cerita bernama "reboisasi" dengan berbagai ukuran prosedur, bisa dikatakan "nol" aplikasinya.
Yang lucu adalah, hasil-hasil hutan berupa kayu log dari Hak Pengelolaan Hutan (HPH) oleh para pengusaha yang diberi hak Hak Pengelolaan Hutan (HPH), sebagian besar untuk di "eksport" dalam bentuk bahan "mentah" atau "barang setengah jadi" dengan istilah eksport non migas. Memang untuk sementara kita menjadi “pedagang” alias “pengeksport” bahan non migas, namun sayangnya, hasil-hasil hutan berupa log yang umumnya masih dalam bentuk "bahan mentah" atau "setengah jadi", yang dijual ke para pengusaha dari negara-negara pengimport tadi, kemudian oleh pengusaha di Negara pengimport diolah kembali dan kemudian dijual atau dikembalikan ke Indonesia dalam bentuk "barang jadi" yang harganya bisa 10x lipat dari eksport "bahan mentah" atau "setengah jadi" tersebut, contoh mudah adalah produk-produk meubel dan produk lain berbahan campuran kayu.
Kita, bangsa Indonesia memang telah dikaruniai Tuhan dengan berbagai kelimpahan sumber daya alamnya, sehingga yang dibutuhkan sebenarnya bukan hanya kerja keras dan kepandaian memanfaatkannya, akan tetapi sepertinya dan seharusnya yang diperlukan adalah sifat dan sikap dari kepandaian itu untuk sebuah “pengelolaan” kekayaan alam yang melimpah ruah ini untuk kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat, bukan pengelolaan kekayaan negara untuk kelompok kepentingan tertentu. Alhasil, apabila hasilnya demikian maka sudah pasti, hanya kelompok tertentu saja yang menikmati hasil kelimpahan alam dari bumi nusantara.
Kedepan yang harus kita butuhkan adalah bagaimana “anak negeri” ini mempunyai hak akses pengelolaan yang lebih besar dari bahan-bahan tambang yang masih kita miliki dengan tidak mengesampingkan pihak investor asing tentunya, porsi untuk anak negeri sudah pasti harus lebih besar, agar dalam hal penentuan kebijakan dan keputusan, benar-benar memihak kepada bangsa dan Negara, tidak untuk kepentingan golongan dan dunia usaha tertentu. Ini dapat kita lihat, seperti penguasaan lahan produktif oleh segelintir orang, pengelolaan tambang emas freport dengan "kontrak karya"nya, tambang batubara yang dari hulu-hilirnya hanya kepemilikan keluarga, blok minyak dan gas bumi, yang kadang kepentingan "asing" masih dapat dilihat dari "keukeh"nya segelintir anak bangsa yang lebih percaya kepada perusahaan-perusahaan "asing" tanpa mempertimbangkan kemampuan perusahaan-perusahaan PMDN yang telah menguasai ilmu dan teknologinya, dengan berdalih terlalu besar nilai investasinya bagi Negara. Sekali lagi kedengarannya sangat "miris", masih ada anak negeri yang bisa dikatakan memiliki "intelektualitas" cukup, tapi secara sadar masih mau di "peralat" oleh kepentingan asing dengan mengeluarkan pernyataan yang demikian. Yang lagi rame sekarang ini adalah pengelolaan atas "Block Mahakam" Kalimantan Timur.
Begitu juga dengan hasil-hasil tambang yang lainnya, seperti Timah, Nikel, Biji Besi, Mangan dll, harus dapat mempunyai "nilai tambah", baik bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan maupun bagi masyarakat disekitar area pertambangan tentunya.
Jadi dapat di bayangkan apabila para abdi Negara, birokrat, teknokrat beserta stakeholder pada system birokrasi Negara kita menjalankan tugasnya dengan jujur, sehat dan benar, investor PMDN dapat mempunyai hak akses lebih besar pada proses pengelolaan lahan-lahan pertambangan yang pada akhirnya dapat menciptakan pemerataan pembangunan pada seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena pada kenyataannya Negara kita ini sudah tidak lagi kekurangan orang-orang pandai dan pintar, jadi jangan mau menjadi "kepanjangan tangan" dari kepentingan asing, dengan iming-iming yang saya rasa nilainya sangat-sangat "kecil" dari sebuah imbalan seperti yang selama ini sering terjadi pada lingkungan sekitar kita.
Dengan cara-cara diatas, maka dapat dimungkinkan unsur keadilan berangsur-angsur dapat dimiliki dan saya yakin lebih dapat di nikmati oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia dimasa mendatang, dengan indikator tingkat kesenjangan sosial masyarakat senantiasa menurun dari tahun ke tahun, jadi tidak sebaliknya.
Memang untuk mewujudkan semua itu, tidaklah semudah seperti “membalik telapak tangan”, namun apabila seluruh komponen bangsa bisa lebih aktif dan arif bijaksana dalam menyelesaikan semua problematika yang dimiliki oleh bangsa ini, dengan cara berfikir mengedepankan kepentingan dan kemakmuran untuk bersama bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia dengan mengesampingkan hal-hal kecil seperti tersebut diatas maka secara tidak langsung akan membentuk “main set” dari pola pemikiran kita yang lebih maju dan me"nasional".
Demi pemerataan hasil-hasil pembangunan yang lebih adil bagi Bangsa dan Negara Indonesia... marilah masyarakat Indonesia dari berbagai lapisan menjadi "spion"nya Negara dalam mengawasi para abdi negara, pengusaha dan individu warga negara yang berlaku "korup" bagi kepentingan diri sendiri maupun sebagai kepanjangan dan atau "kaki tangan" asing.
Demikian artikel singkat ini saya hadirkan kehadapan pembaca semua. Komentar, kritik, saran dan apresiasinya akan sangat berarti bagi pengembangan wawasan saya dimasa yang akan datang.
Semoga lebih bermanfaat...
Salam hangat.
0 komentar:
Post a Comment