Selamat atas tersusun'y dewan komisaris-direksi NKRI Holding....

728x90 AdSpace

Kolamz Post
Theme images by Colonel. Powered by Blogger.
Monday 25 March 2013

Memperbaiki Piring dengan Perbaikan Kebijakan Import

Negeri rempah... . . .

Ternyata cerita bawang merah, bawang putih bukan hanya dalam dongeng saja, akan tetapi negara Indonesia-pun sebagai negara "agraris" ga mau ketinggalan dengan dongeng sebelum tidur yang sangat melegenda ini.

Aneh tapi nyata....

Negeri yang katanya apa-apa bisa tumbuh dengan mudah bisa kekurangan pasokan salah satu dari komoditi yang masuk ke dalam 9 kebutuhan bahan pokok sesuai dengan Sembilan Bahan Pokok yang ditetapkan oleh keputusan Menteri Industri dan Perdagangan no. 115/mpp/kep/2/1998 pada tanggal 27 Februari 1998. 

Kesembilan bahan itu adalah: 1. Beras dan Sagu; 2. Jagung; 3. Sayur-sayuran dan Buah-buahan; 4. Daging Sapi dan Ayam; 5. Susu, 6. Gula Pasir; 7. Garam yang mengandung yodium/Iodium; 8. Minyak Goreng dan Margarin; serta 9. Minyak Tanah atau Gas Elpiji.

Masalah bawang putih sudah menjadi perhatian publik secara luas. Bahkan hari-hari terakhir kita sering menerima pesan elektronik yang terkait bawang putih. Misalnya pesan pendek ‘bawang putih hilang karena diusir oleh bawang merah’. Begitu juga pesan tipuan yang diplesetkan menjadi ‘tolong kirim mama bawang putih’, bukan lagi pulsa. Kita pasti tersenyum kecut membaca pesan-pesan tersebut. Miris karena Indonesia yang demikian luas dan subur harus menghadapi masalah tinggi dan tidak stabilnya harga-harga pangan. 

Masalah hilang dan melambungnya bawang putih di pasaran sebenarnya bukan masalah baru karena sebelumnya kita juga menghadapi melambungnya harga daging sapi atau cabai. Masyarakat sering merasa kesal karena tidak ada solusi yang menyentuh akar masalahnya, sehingga masalah tersebut terus berulang. 

Apalagi masih ditambah dengan suguhan perang terbuka antar lembaga tentang masalah tersebut. Menteri Pertanian yang terkesan keberatan dan menyalahkan kebijakan impor yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan. Sementara, Kementerian Perdagangan yang segera membuka keran impor menganggap sudah memilih kebijakan yang paling tepat untuk menjawab keluhan masyarakat akibat melambungnya harga bawang putih dipasaran. 

Bagaimana semestinya kita melihat permasalahan bawang putih, dan juga komoditas pangan lain yang terkategori penting bagi masyarakat? Haruskah perdebatan hanya cukup seperti saat ini yakni mendukung atau tidak mendukung impor? Tentu tidak. Untuk menilai keputusan kebijakan impor tepat atau tidak, tentu harus ada analisa atas akar masalah yang terjadi saat ini. 

Pernyataan lain yang sempat diunggapkan oleh Menko Perekonomian pada era Presiden Abdurrahman Wahid, Rizal Ramli, adalah mendesak agar pemerintah mengubah kebijakan impor pangan dari sistem kuota menjadi sistem tarif sehingga tidak terjadi lonjakan harga yang sangat tinggi. Jakarta (Republika.co.id dan ANTARANews)

"Lonjakan harga bawang merah dan bawang putih yang melampaui 300 persen, karena pemerintah menerapkan sistem kuota," kata Rizal Ramli pada peninjauan harga bawang merah dan bawang putih di Pasar Induk Buah dan Sayur Kramatjati, Jakarta, Selasa. 

Menurut Rizal, dengan menerapkan sistem tarif jika terjadi kenaikan harga masih dalam batas wajar yakni sekitar 10 persen hingga 15 persen, tidak sampai melampaui 300 persen seperti saat ini. 

"Menteri Perdagangan agar segera mengubah, sistem impor dari sistem kuota menjadi sistem tarif," katanya. 

Pada kesempatan tersebut, Rizal Ramli juga meminta agar Menteri Pertanian menyampaikan perkembangan program swasembada pangan, termasuk bawang merah dan bawang putih. 

Rizal menilai Indonesia sebagai negara agraris yang memiliki lahan pertanian luas, tapi banyak mengimpor bahan pangan termasuk bawang merah dan bawang putih. 

"Padahal menanam bawang merah dan bawang putih itu sederhana dan bisa dilakukan petani lokal," katanya. Pada kesempatan tersebut, Rizal Ramli juga mendesak Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) apakah ada permainan antara pengusaha importir dan pejabat, menyusul melonjaknya harga bawang merah dan bawang putih yang melampaui 300 persen. 

"KPPU harus berani melakukan investigasi di balik lonjakan harga bawang dan bertindak tegas dengan mengumumkannya ke publik," katanya.

Peta masalah 
Menurut penulis ada hal yang harus dijawab sebelum memutuskan langkah kebijakan untuk meredam kisruh bawang putih dan, sekali lagi, komoditas pangan lainnya. (Dikutip dari Kolom Pakar Media Indonesia, Edisi Senin 18 Maret 2013, (www.metrotvnews.com)

Pertanyaan awal yang harus dijawab adalah apakah lonjakan harga dan hilangnya pasokan saat ini terjadi akibat adanya kesenjangan permintaan dan penawaran. Dari sisi permintaan, sangat mungkin ada pertumbuhan permintaan bawang putih yang cukup besar secara persisten. Sebagaimana diketahui sejak beberapa tahun terakhir, pertumbuhan industri pengolahan pangan tumbuh relatif tinggi. Tahun 2012 misalnya,data investasi portfolio sangat tinggi untuk sektor barang-barang konsumsi termasuk industri makanan dan restoran. Data investasi langsung juga menunjukkan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang paling tinggi terjadi pada industri makanan dengan porsi 12%, hampir sama dengan investasi industri mineral dan logam. 

Sedangkan data Produk Domestik Bruto (PDB), juga mengindikasikan bahwa pertumbuhan sektor manufaktur yang relatif tinggi yakni 5,9% pada tahun lalu, terutama didorong oleh pertumbuhan sub sektor industri transportasi dan komunikasi, serta yang kedua adalah pertumbuhan sub sektor industri makanan. Memang pertumbuhanindustri pengolahan makanan salah satunya didorong oleh pertumbuhan pengolahan crude palm oil (CPO). Namun, industri pengolahan makanan lainnya juga tumbuh cukup tinggi yang didorong oleh munculnya kelas menengah baru Indonesia yang sangat pesat. 

Menurut Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, jumlah penduduk Indonesia yang terkategori kelas menengah meningkat dari 45 juta pada 1998, menjadi 134 juta pada 2010. Namun, masih didominasi oleh ‘kelas menengah bawah’ yakni penduduk dengan pengeluaran sebesar US$2-US$4 per kapita per hari (sedikit di atas kategori miskin yang sebesar < US$2 per kapita per hari). 

Munculnya kelas menengah baru yang terkategori kelas menengah bawah, akan ditandai dengan pertumbuhan yang tinggi pada produk-produk konsumsi terutama konsumsi makanan. Artinya dari sisi permintaan sangat mungkin terjadi pertumbuhan yang sangat tinggi untuk komoditas bahan makanan seperti misalnya bawang putih. Meski demikian, peningkatan permintaan yang terjadi akibat pertumbuhan investasi dan konsumsi produk makanan tidak akan mendorong kenaikan harga bawang putih yang sangat tinggi dan secara tiba-tiba. 

Sebagaimana diberitakan, harga bawang putih yang semula hanya berkisar Rp15.000 per kilogram (kg), tiba-tiba melesat menjadi Rp50.000 bahkan mendekati Rp100.000 per kg di beberapa kota. Lonjakan harga juga tidak akan sedrastis saat ini meskipun terjadi masalah di sisi pasok seperti misalnya kelambatan dikeluarkannya izin impor bawang putih. 

Langkah solusi 
Dengan paparan tersebut, sangat mungkin ada masalah yang cukup serius dari sisi tata niaga dan dari sisi akurasi data bawang putih sehingga terjadi lonjakan harga. Kekhawatiran masyarakat bahwa terjadi permainan harga di pasar karena permainan pasok memang sangat beralasan. Bila kebutuhan bawang putih dalam negeri saat ini sebesar 95% benar dikuasai oleh produk impor, yang dikuasi oleh beberapa pemain, posisi tawar pengusaha menjadi sangat kuat. Kebijakan yang diambil pemerintah sangat mungkin tidak akan efektif bahkan dimentahkan karena kemampuan importir sangat besar untuk menolak pemberlakuan kebijakan baru yang akan mengurangi keuntungan mereka. 

Apalagi bila, Pertama, koordinasi antar kementerian sangat lemah sehingga para penguasa pasar dapat dengan mudah membelokkan kebijakan. Kedua, kondisi akan semakin buruk bila dibarengi dengan permainan birokrasi yang tidak transparan karena adanya kepentingan finansial dan ekonomi pribadi dan kelompok.

Kebijakan larangan impor hortikultura dari Kementrian Pertanian untuk mengurangi ketergantungan import hortikultura agar memberi pasar bagi produk dalam negeri misalnya, tidak heran menjadi back fire bagi pemerintah karena tidak ada rencana kebijakan yang jelas, terintegrasi serta saling dukung antara Kementerian Pertanian dengan kementerian lain seperti Perdagangan, Keuangan maupun lembaga Bulog dan BPPT. 

Pemerintah harus mencari solusi kenaikan dan instabilitas beberapa komoditas pangan penting secara komprehensif dan berkelanjutan. Langkah jangka pendek dan jangka panjang dibuat dan keduanya harus saling berkaitan. Pemerintah harus segera memiliki data base yang up date dan terintegrasi tentang data produksi dan konsumsi bawang putih sehingga tidak ada perselisihan data antar kementerian. Bahkan bukan hanya data saat ini tetapi juga tren permintaan dan pasok dalam negeri beberapa tahun ke depan. 

Untuk solusi jangka pendek, apabila data menunjukkan saat ini produksi bawang putih tidak mencukupi kebutuhan nasional maka kebijakan impor menjadi solusi yang tidak dapat terhindarkan. Namun, keputusan impor harus jelas tidak hanya dari sisi volume tetapi juga waktu. Pada saat memutuskan membuka keran impor, harus sudah diikuti dengan rencana kebijakan peningkatan produksi dalam negeri yang komprehensif. 

Karena masyarakat Indonesia yang bekerja di sektor pertanian masih sangat besar, dan bahkan banyak sentra bawang putih, maka peningkatan produk pertanian harus menjadi salah satu solusi tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan investasi tetapi juga solusi untuk memberikan lapangan pekerjaan dengan penghidupan yang layak. Tentu dukungan kebijakan dan program, tidak hanya subsidi, sangat penting. 

Bahwa hal ini bukan pekerjaan mudah, memang benar. Terlalu banyak pihak yang akan menentang tidak hanya untuk kepentingan para importir yang saat ini sangat diuntungkan, tetapi juga tekanan dari negara-negara maju yang ingin menjadikan Indonesia sebagai pasar. Salah satu buktinya Organization For Economic Cooperation and Development (OECD) yang menyarankan Indonesia melepas target swasembada pangan dan cukup fokus pada peningkatan investasi pada komoditas yang lebih bernilai tinggi dan dapat bersaing di pasar global seperti CPO dan karet. 

OECD berpendapat komoditas pangan Indonesia dinilai tidak memiliki daya saing kompetitif dan komparatif sehingga membutuhkan biaya besar jika dipaksakan untuk swasembada. Oleh karenanya OECD menyarankan Indonesia sebaiknya melupakan mimpi memproduksi komoditas pangan. Hapus subsidi pangan dan cukup membangun infrastruktur seperti pelabuhan dan jalan bebas hambatan sehingga komoditas pangan (impor) sampai di tangan konsumen dengan lebih murah. 

Masih banyak pembenar yang akan diberikan oleh berbagai pihak agar Indonesia tetap menjaga liberalisasi pasar pangan. Bola ada di tangan pemerintah. Solusi kisruh lonjakan harga bawang putih dan juga komoditas pangan lainnya memang bisa diselesaikan dengan sekadar mengguyur dengan barang impor. Namun, kebijakan sektoral dan ad hoc seperti saat ini seharusnya segera ditinggalkan. 

Penyelesaian masalah bawang putih dengan kebijakan komprehensif dan terintegrasi tidak hanya akan menyelesaikan masalah stabilitas harga jangka pendek tetapi juga masalah-masalah struktural lainnya seperti penciptaan lapangan kerja, struktur industri pengolahan makanan yang kokoh juga masalah stabilitas sosial politik.(www.metrotvnews.com, Bukan Sekadar Cerita Bawang Putih dan Bawang Merah)

Pandangan blogger
Dalam pandangan saya dari uraian diatas sebenarnya adalah akar masalah utamanya adalah karena kita hanya mengandalkan komoditi bawang putih dari produk impor, yakni  sekitar 95% kebutuhan dalam negeri dipasok dari produk import.

Hitungan mudahnya begini... misalkan saja apabila dalam sebuah rumah tangga kecil yang terdiri Ayah, Ibu dan dua orang anak, semua kebutuhan dapurnya (konsumsi) diharuskan membeli semua tanpa sedikitpun memanfaatkan pekarangan rumahnya (penghasilan lain) untuk meringankan biaya hidup, ya jelas... pada akhirnya (buntutnya) akan membuat pos anggaran utama "tersedot" habis hanya untuk mengurusi kebutuhan dapur, belum lagi untuk biaya kesehatan, pendidikan dan biaya-biaya tak terduga lainnya. Namun apabila sedikit demi sedikit menyisihkan waktu dan tenaganya yang ada dan tersisa untuk merintis sebuah kemandirian dengan mengusahakan lahan produktif yang dimilikinya, maka posisi ekonomi keluarga tersebut akan semakin kuat, karena disamping sudah ada penghasilan tetap, juga ada penghasilan tambahan lainnya.

Oleh karena itu dalam pemikiran saya juga berlaku demikian, andai ini terjadi dalam sebuah negara yang selalu mementingkan import daripada sebuah "arah kemandirian" dengan kata lain "seperti" kurang memperhatikan para petani, nelayan serta yang berkecimpung dalam bidang ini, maka dalam hal ini, saya tidak sependapat sepenuhnya, akan sebuah ungkapan bahwasanya "pembeli adalah raja...

Kalau posisi negara lain sebagai pembeli produk-produk kita, saya akan jawab iya...namun kalau negara Indonesia posisinya sebagai negara pembeli (import) kepada negara lain, saya lebih mengidentikan kita sebagai "negara miskin", karena hal-hal yang dapat kita usahakan sendiri, di tanah nan "gemah ripah loh jinawi" dari "sekeping tanah surga" ini ternyata selamanya masih bergantung kepada negara-negara pengeksport. Kalau hal ini terjadi, maka jelas-jelas tidak ada unsur "pemerataan" dalam mengisi pembangunan bagi masyarakatnya. Dan siapa yang diuntungkan secara sepihak....?!? sudah jelas, tidak lain dan tidak bukan adalah para pengusaha "importir".

Sebagai warga negara, saya tidak mengatakan tidak setuju dengan kebijakan import tersebut, karena model perdagangan luar negeri atau istilahnya eksport-import merupakan sebuah pergaulan dunia yang memang kita harus ikut didalamnya, jadi ga... mungkin kita menghentikan kran import, karena sekali lagi ini merupakan pergaulan dunia.

Sebuah Negara dengan rumah-rumah dalam suatu "kampung" apa sih bedanya? kalau dapat dimisalkan, kita ini sedang berada di sebuah pasar, yakni dunianya para saudagar, yang selalu berkelakar begini "... masa loe gak mau beli barang-barang gua...! sedangkan gua banyak beli barang-barang loe....? begitulah sepertinya kalau kita pas mendengar obrolan dari para pedagang. Namun demikian, demi menjaga "anggota keluarga" kita agar tidak "menangis" meminta "kue" maka harus ada "arah kemandirian" yang jelas, sehingga keseimbangan neraca import-eksport dapat lebih terkendali.

Dengan adanya "arah kemandirian" yang jelas, dalam arti ada arah agar supaya para petani kita dapat menanam sendiri dari kualitas-kualitas komoditi unggul yang diperlukan, kalau misalkan kita belum mempunyai kualitas unggul pada suatu jenis komoditi, kan kita (negara) mempunyai lembaga penelitian dengan dunia akademisi yang saya yakin di Indonesia sudah tidak kurang lagi akan jumlah dan kualitasnya. Saya hanya berpendapat, yang diperlukan saat ini adalah sebuah pengelolaan "manajemen" dengan tingkat koordinasi yang lebih baik saja.

Atau misal bisa ga...? jumlah import komoditi tersebut, sebagian dalam bentuk benih/bibit komoditi tanaman, yang kemudian bisa dikembangkan didalam negeri serta dilakukan penelitian oleh lembaga-lembaga terkait diatas, agar alih teknologinya kita bisa menguasai, dengan cara ini dunia akademisi kita dapat membantu para petani dalam mendapatkan benih-benih kualitas unggul dari komoditi-komoditi yang dperlukan tersebut, atau mungkin dengan "sistem barter". Ini dapat dilihat dari kebijakan import sapi yang pada awalnya hanya "sapi siap potong" sekarang kan "skema"nya yang sudah dirubah, dengan sebagian jumlah import sapi untuk memenuhi "kebutuhan daging" dalam negeri dan sebagian lagi dari jumlah import sapi, dialihkan dalam bentuk bibit/anak sapi sebagai bakalan untuk dikembangbiakan.

Pemerintah juga sebaiknya ada langkah "menuju" pada keperpihakan petani, dalam arti petani menjadi bergairah dengan melakukan penanaman pada komoditi-komoditi pokok penyangga pangan nasional. Kebijakan ini dapat seperti melindungi harga produk lokal yang "kompetitif" terutama "misal" bagi komoditi-komoditi tertentu, seandainya insentif bisa diberikan kepada para petani komoditi-komoditi pokok penyangga pangan nasional  pada wilayah tertentu, apa salahnya pemerintah menerapkannya, karena bagaimanapun juga seluruh wilayah nusantara ini tidak semuanya "cocok" untuk semua jenis komoditi tapi mempunyai keistimewaan sendiri-sediri, misal produk "bawang putih" memang ada daerah-daerah tertentu yang benar-benar cocok, untuk daerah-daerah lain mungkin akan lebih "cocok "dengan komoditi lain seperti padi, kedelai, jagung dan lain sebagainya juga bidang perikanan dan peternakan atau bisa juga suatu daerah hanya "cocok" dengan tanaman tahunan seperti cengkeh, lada, karet, kelapa sawit dan lain-lain.

Kedepan pemerintah harus ada arah ke penciptaan suatu "proyek massal" usaha tani terpadu di daerah-daerah yang sesuai "cocok" dengan komoditi-komoditi pokok penyangga pangan nasional sehingga bisa menimbulkan ke"gairah"an kembali dengan memfungsikan sentra-sentra penghasil pangan yang dulu pernah ada "sukses". Dan lebih menarik lagi apabila pemerintah bisa "memulai" menciptakan sebuah daerah dalam rancangan kearah pertanian organic. Karena dengan cara ini harga komoditi lebih kompetitif serta lebih ramah lingkungan, apalagi Indonesia sebagai negara "agraris" dan penuh dengan tradisi "etnik" yang masih dikatakan "alami" ditengah-tengah pergaulan dunia yang serba modern ini, juga secara perlahan para petani kita tidak tergantung sepenuhnya kepada pihak pabrikan sebagai pengendali suply bahan obat-obatan dan pupuk, karena alam sudah menyediakannya.

Dengan kepemimpinan model "regenerasi" yang dapat dimulai saat ini, maka kita akan bisa menekan kran import untuk komoditi-komoditi strategis dengan tidak bergantung sepenuhnya kepada negara eksportir setiap tahunnya atau ada kesinambungan generasi kepemimpinan dalam "menjaga" keseimbangan yang memadai dari arus import-eksport tersebut.

Memang hal ini bukan pekerjaan mudah, memang benar... karena perlu proses yang lama... namun salah satu kunci awalnya, hanya tinggal bagaimana sifat "regenerasi" kepemimpinan kita berjalan ga...?!

Kalau masa kepemimpinan kita yang mentaati proses "regenerasi" berjalan dengan baik, maka akan dapat dilihat sampai dimana pencapaian keberhasilan suatu "rencana program kerja pembangunan" dalam suatu periode kepemimpinan tersebut, sehingga pada periode kepemimpinan berikutnya dapat dilanjutkan kembali "rencana program kerja pembangunan" kearah yang lebih baik lagi.

Kita semua masih ingat kan...? akan sebuah program pembangunan bernama "REPELITA" yang dibuat oleh rezim "Orde Baru", sebuah rencana program pembangunan di era mantan presiden Soeharto dulu, masa sekarang kita "kalah" dalam melanjutkan dan atau "memodifikasi" rencana program pembangunan yang lebih bagus...? Kita pasti bisa kan...!?

Dalam era yang diinginkan rakyat sekarang ini adalah model pemerintahan yang menganut system demokrasi oleh karena itu, siapapun dan dari golongan manapun asal calon "pemimpin" yang sudah kita pilih bersama terpilih... maka kita wajib untuk mendukungnya "bukan" terus melihat sisi belakangnya dan atau melihat sisi kurang keberhasilannya, karena apabila ini yang terjadi sama artinya kita semua sedang memperlihatkan "kebodohan" diri sendiri, karena telah menjatuhkan pilihan yang salah. Sikap mendukung dan memberikan kesempatan pemimpin kita untuk memperbaikinya merupakan sebuah sikap yang arif dan bijaksana sebagai masyarakat yang beradab.

Sikap ikut berperan serta dalam menciptakan suasana yang "kondusif" dalam berbangsa dan bernegara harus kita junjung tinggi ditengah-tengah masyarakat kita, sebagai bagian dari pembelajaran dari cara bernegara yang bermartabat. Dengan demikian berpartisipasi "membantu" pemimpin tersebut dalam usahanya memperbaiki sekaligus menciptakan suasana bermasyarakat yang menuju berkeadilan sosial adalah "wajib", apalagi dalam usahanya mengembangkan (kerangka) model gaya kepemimpinan yang bersifat "regenerasi" positif sehingga tongkat "estafet" pembangunan bangsa dan negara dapat lebih terjamin untuk dilaksanakan kembali pada era kepemimpinan berikutnya.

Kemudian dengan kita mempunyai "rencana program kerja pembangunan" menuju berkeadilan sosial, maka pemimpin Indonesia harus mempunyai "prinsip" walaupun banyak ditentang oleh negara-negara pengeksport tersebut, lho... mereka negara-negara pengeksport juga mempunyai agenda yang sama dengan Negara Indonesia, yakni bagaimana rakyatnya bisa memproduksi banyak jenis komoditas dengan sebanyak-banyaknya agar kemudian dapat "dijual" ke negara-negara tetangga lainnya, jadi asal Indonesia tidak melanggar perjanjian dagang dunia yang sudah disepakati bersama dalam wadah organisasi perdagangan dunia, dalam hal ini mungkin yang namanya "WTO" (World Trade Organization) apa salahnya target "swasembada" pangan jalan terus...?

Mengenai ada organisasi, (OECD) yang selalu menekan kita agar Indonesia "melepas" target swasembada pangan dan cukup fokus pada peningkatan investasi pada komoditas yang lebih bernilai tinggi dan dapat bersaing di pasar global seperti CPO dan karet, itu soal biasa.... "perang prinsip" saja. Kita ini bukan sebuah "Negara kecil" dalam komunitas dunia yang bisa di"gertak" begitu saja oleh negara atau sebuah organisasi, apalagi sifatnya tidak saling menghormati sebagai sesama bangsa dan umat manusia didunia. Yang terpenting dalam hal ini seluruh stakeholder Bangsa dan Negara mempunyai tujuan yang "sama" kedepannya, yakni mempunyai agenda menciptakan pemerataan kemakmuran seluruh lapisan masyarakat Indonesia yang berkeadilan sosial. Dengan usaha pencapaian tujuan yang demikian, saya yakin... pemerintah pasti ga sendirian...?

Berbagai contoh mengapa suatu jenis komoditas "hilang" dari siklus kegiatan dilahannya Pak Tani, karena pemerintah seperti "setengah" hati dalam usahanya mengoptimalkan produksi pangan dalam negeri, sebagai misal pada jenis komoditas kedelai, bagaimana petani bisa sejahtera apabila produk lokal yang kualitasnya bagus menjadi sedikit mahal karena harus bersaing dengan produk import dari luar negeri yang harganya jauh lebih "murah", sedangkan pada sisi lain kepemilikan lahan dari para petani kita rata-rata berkisar antara 3000-5000 m2, dengan luasan lahan ini saja, belum tentu keluarga petani kita bisa 100% mengandalkan hidupnya dari lahan pertaniannya, apalagi hanya mengandalkan (menanam) satu macam produk komoditas pertanian tertentu. 

Petani kita yang luas lahannya berkisar antara 3000-5000 m2 tersebut, diperkirakan hanya 70% saja kegiatan untuk menggarap lahan pertaniannya, sisanya yang 30% waktunya diisi sambil berdagang, menjadi buruh serta kerja serabutan lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Padahal apabila pemerintah ada perhatian kepada para petani, baik dalam bentuk insentif maupun pembukaan proyek komoditas pangan tertentu yang terus-menerus berjalan secara "regenerasi" dari kepemimpinan saat ini kepada kepemimpinan generasi berikutnya, dengan sendirinya petani-petani kita akan tetap menanam komoditas-komoditas pokok sebagai penyangga pangan nasional, apalagi bagi para petani yang mampu bisa meningkatkan luasan lahan yang dimilikinya dari sekitar 3000-5000 m2 menjadi lebih luas sesuai dengan kebutuhan dengan cara sistem "sewa" dan atau "bagi hasil" kepada petani lain dan atau kepada pemilik lahan lain, yang dari sisi permodalan petani tersebut mungkin belum mampu dan atau bukan bidangnya, sehingga lahan-lahan produktif yang mau "tidur" dapat digarap kembali untuk penanaman jenis komoditas pangan tersebut, dengan cara seperti ini keluarga petani dan atau lingkungannya, yang lahan pertaniannya telah disewa dapat ikut diberdayakan pada keluarga petani "penyewa" atau "bagi hasil" dari lahan produktif tersebut.

Jadi singkatnya "jangan suruh" petani tanam jenis komoditas pokok penyangga pangan nasional, karena walaupun tidak disuruh oleh pemerintah sekalipun, mereka para petani memang pekerjaannya ya... menanam komoditas pertanian, prinsip petani ini sederhana saja, tanam jenis komoditas "yang cocok" pada lahan pertaniannya untuk mencukupi segala kebutuhan pokok seluruh keluarga, selebihnya kalau memang pas harga bagus... ini merupakan rejeki saja tidak lebih!, ini yang saya ketahui... karena saya dari keluarga petani juga, sangat "simple" kan....?

Semoga pemerintah sebagai pemilik otoritas tidak larut dan saling menyalahkan dengan ribut terus-menerus dalam menyikapi naiknya harga bawang putih dan bawang merah serta produk-produk dari komoditas lain, namun harapan kedepan dapat memulai meletakan dan atau menciptakan suatu "arah kebijakan" yang bersifat "regenerasi", sehingga dapat saling men"sinergi"kan antar Departemen terkait dengan posisi petani sebagai salah satu asset dan unsur masyarakat di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Semoga lebih bermanfaat...

Salam hangat.


  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 komentar:

Post a Comment

Item Reviewed: Memperbaiki Piring dengan Perbaikan Kebijakan Import Rating: 5 Reviewed By: widjaja
×
Judul