Dalam artikal sebelumnya, yang mempunyai judul "Cerita bernama kebocoran anggaran Negara" telah tergambar berbagai macam cerita mengenai kebocoran anggaran suatu Negara, oleh karena itu supaya lebih afdol dan tentunya isi tulisan jadi lebih berimbang maka untuk melengkapi cerita kebocoran anggaran suatu Negara, berikut saya mencoba untuk memberikan sebuah tanda dari salah satu cara yang sangat sederhana, yang telah diterapkan oleh salah satu pejabat publik, penentu dari sebuah kebijakan di negeri ini.
Dari judul artikel yang membahas mengenai “kebocoran anggaran Negara” maka dapat disarikan secara ringkas penyebab kebocoran anggaran suatu Negara meliputi:
- Pertama, karena pengelolaan keuangan pusat/daerah yang belum baik.
- Kedua, banyak pengerjaan proyek-proyek pembangunan yang high cost karena terlalu banyaknya yang meminta fee dari hasil pengerjaan proyek.
- Ketiga, ada perilaku yang koruptif di jajaran birokrasi pemerintahan.
- Kempat, ada persekongkolan antara oknum di jajaran birokrasi dengan oknum-oknum di legislative (dewan).
- Dan kelima, ada persekongkolan tiga ruang, yaitu pejabat, politisi di dewan dan pengusaha yang mendapatkan proyek.
Setelah kita mengetahui alur-alur diatas, kita masih ingat akan berbagai langkah dan sepak terjang dari Dahlan Iskan mantan direktur utama PLN, perusahaan “geni” Negara, yang sekarang telah pindah tahta "ngantor" di kementerian BUMN, yang begitu kental dengan gaya low profile dan kesederhanannya. Patut dijadikan teladan setelah Rasululloh SAW dan para ulama, karena beliau tumbuh dari kerja keras diatas kaki sendiri, juga patut dijadikan contoh adalah karena mudahnya ngobrol dengan berbagai "level" pergaulan yang ada di dalam masyarakat serta gaya kesederhananya yang tak tertinggalkan, walaupun banyak juga para pengusaha di negeri ini yang berlaku demikian seperti Om Bob Sadino yang sudah ga asing lagi bagi saudara-saudara semua, khsususnya para usahawan.
Kemudian pada tingkat pemerintahan daerah, kita dapat menilik pada salah satu petinggi pemerintahan daerah yang saya yakin, anda semua sudah pasti mengenal kedua sosok yang "hoby" blusukan dan sedang naik daun sekarang ini, mantan Walikota Kota Surakarta (Solo), bukan sebagai penerima Gramy Award maupun sebagai penerima Nobel (semoga ada generasi dari bangsa ini....). Yah…siapa yang tidak kenal dengan nama Jokowi dan Ahok, begitu beliau-beliau di sapa oleh para pengemar dan seluruh lapisan masyarakat Indonesia, khususnya warga Ibukota RI tercinta, propinsi DKI Jakarta. Bagi warga DKI Jakarta yang begitu majemuk masyarakatnya dan sangat kental dengan gaya hidup "metropolis"nya, apalagi untuk sebagian besar warga Jakarta, yang tingkat ekonominya telah menimbulkan jurang "kesenjangan sosial" bagi kaum termarjinal, sosok Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama bagaikan sepasang malaikat yang datang dari negeri "aneh" untuk membantu insan-insan pencari keadilan tanpa "pamrih" yang bisa mendengar keluhan sekaligus memberi solusi permasalahan yang dihadapi rakyat, bisa dekat dengan rakyat kecil, bisa ngobrol “santai” dengan mereka tanpa adanya jarak pembatas yang menghalangi.
Kemudian pada tingkat pemerintahan daerah, kita dapat menilik pada salah satu petinggi pemerintahan daerah yang saya yakin, anda semua sudah pasti mengenal kedua sosok yang "hoby" blusukan dan sedang naik daun sekarang ini, mantan Walikota Kota Surakarta (Solo), bukan sebagai penerima Gramy Award maupun sebagai penerima Nobel (semoga ada generasi dari bangsa ini....). Yah…siapa yang tidak kenal dengan nama Jokowi dan Ahok, begitu beliau-beliau di sapa oleh para pengemar dan seluruh lapisan masyarakat Indonesia, khususnya warga Ibukota RI tercinta, propinsi DKI Jakarta. Bagi warga DKI Jakarta yang begitu majemuk masyarakatnya dan sangat kental dengan gaya hidup "metropolis"nya, apalagi untuk sebagian besar warga Jakarta, yang tingkat ekonominya telah menimbulkan jurang "kesenjangan sosial" bagi kaum termarjinal, sosok Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama bagaikan sepasang malaikat yang datang dari negeri "aneh" untuk membantu insan-insan pencari keadilan tanpa "pamrih" yang bisa mendengar keluhan sekaligus memberi solusi permasalahan yang dihadapi rakyat, bisa dekat dengan rakyat kecil, bisa ngobrol “santai” dengan mereka tanpa adanya jarak pembatas yang menghalangi.
Secara logika sebenarnya agak susah dijelaskan, karena bangsa ini dalam dalam posisi kemunduran norma-norma moral semenjak tumbangnya era pemerintahan Soeharto dan masuk era reformasi. Benar memang.... bahwa sekarang ini, bangsa Indonesia sedang dan masih mengalami masa reformasi, tapi “saking” semangatnya bereformasi, saya melihatnya bukan lagi sebagai reformasi yang terarah tapi masih ada kesan reformasi yang seenak perut sendiri, seenak berbicara sendiri (ada sebagian oknum pemimpin dan ada sebagian oknum warga negara yang memanfaatkan kesempatan untuk mengeruk "pundi-pundi" harta dunia dengan cara-cara "instan"), jadi andai kata anda mengatakan bahwa rezim terdahulu adalah rezim korup maka sekarang adalah jaman reformasi yang diselingi dengan hiburan dari kisah-kisah “pencuri uang rakyat” secara terang-terangan.
Sedikit intermezo,
Dulu, ketika pada tahun 1996, saya berada di sebuah kota perantauan, yakni di Negara bagian Sarawak, Malaysia Timur. Saya masih ingat betapa masyarakat umumnya di Malaysia begitu manis dan antusias menyambut para pendatang dari negara tetangganya Indonesia, yang terkenal masyarakatnya mempunyai adat sopan-santun (waktu itu, disana orang ga tahu istilah kata sopan-santun), rajin serta bertanggungjawab, jadi hubungan kemasyarakatan antara Indonesia-Malaysia sangat terasa karena negara malaysia bisa maju, salah satunya karena hubungan bilateral yang erat waktu itu (guru-guru dari Indonesia) juga peran antara pemimpin Negara Indonesia dan pemimpin Negara Malaysia sangat terasa, juga pada wilayah-wilayah perbatasan darat, yang kultur masyarakatnya tidak bisa dipisahkan begitu saja, terjadi hubungan saling bahu membahu mengisi pembangunan, bila anda kurang yakin, coba sekali-kali anda berwisata ke daerah-daerah perbatasan, yang secara fisik nuansa tradisionalnya masih kental, begitu juga dengan suasana kekeluargaannya, walaupun pada kenyataanya rumah-rumah mereka dibatasi sebuah tanda batas dari batas Negara.
Ini berbeda dengan keadaan di jaman sekarang ini, dimana banyak warga negara yang berada di negeri tetangga, Jiran salah satunya yang tentu sebagai "pahlawan devisa" (juga pada negara-negara lain) selalu di dera berbagai permasalahan yang tiada kunjung selesai, dimulai dari masalah keimigrasian, berbagai persoalan sosial, seperti tingkat upah, tindakan kriminalisasi warga setempat sampai kemunculan sebuah iklan dari para tenaga kerja yang berasal dari negara Indonesia, yang seolah menawarkan diri menjadi tenaga kerja murah plus discount. Sangat miris memang...negara yang "super kaya" ini, kekayaannya belum dapat menghidupi sekaligus mencukupi kebutuhan seluruh lapisan masyarakat, yang pada akhirnya banyak dari anggota masyarakat kita yang rela meninggalkan Tanah Air, kerabat dan keluarganya. Ya...kita semua berdoa, semoga pemerintah sebagai pemilik kebijakan melalui kedinasan terkait dapat lebih mengupayakan diplomasi yang lebih baik dan bermartabat seperti pada periode waktu tahun yang lalu.
Oh ya....dalam kesempatan ini, saya ingin menyampaikan salam juga kepada pimpinan saya dulu, Mr. Kang, Mr. Mawardi beserta staf juga tak lupa kepada rekan-rekan seluruh kerukunan masyarakat adat Jawa di Malaysia, Kerukunan masyarakat Melayu Sumatera-Kalimantan di Malaysia, seluruh keluarga besar persatuan adat Bugis Sarawak-Sabah, seluruh keluarga besar warga NTT di Malaysia serta semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu dari rekan pada kompleks Industry di Bandar Sarikey, Sibu dan Miri, mohon maaf atas kealpaannya, sudah lama tak jumpa...semoga kabar baik dan sihat selalu dan semoga Tuhan senantiasa melindungi kita semua, amien.
Salam kangen dan hormat teruntuk Ibu Angkat saya di kota Pontianak, Kalbar, yang saya hormati dan sayangi, Ibu Haji Saumah beserta seluruh keluarga besar juga mas Budi sekeluarga, semoga sehat senantiasa dan mendapatkan rahmat dan inayah dariNYA, amien.
Salah hormat teruntuk maestro saya, Bapak Hadi Sutrisno (askep) dan Bapak Hadi Parmono (asisten) di PTP XIII Sanggau, Kalbar, semoga segenap keluarga sehat selalu Pak...
Salam kangen juga untuk "Si Lai" Bapak Ferdinand Sihotang, (alumni architecture USU) di Pusat Pembangunan Instalasi Pengolahan Minyak Kelapa Sawit), Bang Zulfitriyadi (Hitachi) serta mas Haryoko (Hitachi) pada PT. BPK Plantations Pontianak, Kalbar.
Itulah sedikit perjalan saya dahulu, sewaktu masih muda…
Kembali ke permasalahan cara penanggulangan kebocoran anggaran, kalau anda perhatikan dari yang dilakukan oleh pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama adalah hal yang sangat sederhana dalam menerapkan secara riil dari salah satu cara penanggulangan kebocoran anggaran, yakni dengan cara membuat pengumuman secara langsung kepada seluruh lapisan masyarakat (seperti "mading" pada sekolah-sekolah dahulu), yang berisi jumlah rincian APBD yang dimiliki selama dalam kepemimpinannya melalui sebuah selebaran/pamflet daftar rincian APBD (setelah mendapat persetujuan dari anggota legislative tentunya) sebagai landasan kerja bagi Kepala Daerah. Poster/pamflet pengumuman ditempel hingga kantor pemerintahan terkecil, yakni pada kantor kelurahan sampai di pos Siskampling. (Joko Widodo diketahui, sewaktu masih memangku (Walikota/pemimpin) Kota Solo/Surakarta, juga berlaku demikian)
Dari sifat transparansi anggaran di berbagai program yang diusung merupakan berbagai langkah nyata yang merupakan manifestasi dari era reformasi yang "nyata" dengan metode "menggebrak" tradisi-tradisi kebijakan terdahulu, juga sekaligus sebagai langkah untuk menjadi “tukang beres-beres” pada sistem birokrasi yang selama ini sudah dikenal dengan tingkat "kerumitannya", baik oleh masyarakat Indonesia sendiri maupun oleh kalangan investor baik investor dalam negeri maupun investor dari luar negeri. Inilah salah satu yang membedakan antara pasangan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama dengan para pasangan Kepala Daerah di wilayah lain di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ini patut mendapatkan apresiasi dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia dan tentunya bagi masyarakat propinsi DKI Jakarta khususnya, juga sebagai kebanggaan sekaligus contoh nyata bagi para Kepala Daerah di seluruh wilayah Negara Indonesia agar ada langkah “riil” bagi segala bentuk kebocoran dan penyelewengan dana pembangunan di daerahnya masing-masing. Jadi bukan hanya seremonial dan retorita belaka yang disuguhkan selama ini tanpa ada hal sederhana yang dilakukan, karena sebenarnya untuk saat ini, sepertinya masyarakat Indonesia (belum) tidak memerlukan cara-cara yang rumit atau memerlukan pemikiran dan obrolan tingkat tinggi dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
Dan terbukti bahwa langkah ini dinilai oleh berbagai kalangan, praktisi pendidikan, ekonom, politik dan sosbud merupakan sebuah langkah yang benar-benar konkret dalam memaparkan sekaligus memutus sebuah mata rantai “kongkalikong” yang biasa terjadi antara oknum pejabat pemerintah pembuat kebijakan dengan para oknum pengusaha "nakal" pelaksana teknis pembangunan.
Coba kita merenung sejenak…!
Ternyata.... untuk mengurangi perilaku korupsi anggaran bagi para oknum penentu kebijakan dan para oknum pengusaha “nakal” adalah hal yang “sangat sepele”, yakni hanya menempel kertas (pamflet) yang berisi informasi jumlah rincian APBD yang dimiliki bagi setiap pos anggaran rencana pembangunan, hingga pada kantor di tingkat pemerintahan terendah, yakni pada Kantor Kelurahan maupun pada pos jaga/keamanan lingkungan (pos Siskampling).
Dengan adanya kertas pengumuman daftar rincian APBD yang tertempel pada kantor yang dapat dilihat dan dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, maka dimungkinkan seluruh lapisan masyarakat di tiap-tiap lingkungan (kelurahan/desa) tersebut akan dapat mengetahui sekaligus memahami berapa jumlah/nilai anggaran yang dimilikinya dalam suatu bidang kerja. Dengan demikian masyarakat luas secara sadar maupun tidak sadar akan melihat, melaksanakan pengamatan dan mengetahui para pelaksana dalam suatu proyek pembangunan di daerahnya, sehingga akan diketahui mana oknum “pemain/kontraktor proyek yang nakal” dan mana “pemain/kontraktor pelaksana yang professional”. Walaupun mungkin benar, masih ada diantara warga masyarakat kita yang belum tahu apa itu Anggaran Negara atau kata "APBN/APBD", dengan demikian, ini merupakan salah satu bentuk nyata dari penyampaian "materi kuliah umum" kepada warga negara dalam upayanya dalam mencerdaskan seluruh lapisan masyarakatnya. (Ada sebuah parodi yang berbunyai: apa anda tahu perbedaan dari penjajah Belanda dengan penjajah Inggris bagi negara eks jajahannya, kalau belum, coba anda lihat dan perhatikan negara-negara eks penjajah Inggris atau lebih dikenal sebagai negara persemakmuran Inggris, negara eks penjajah Inggris umumnya akan terlihat lebih maju dibandingkan dengan negara eks penjajah Belanda. Benar tidaknya, silahkan di konfirmasi kepada guru sejarah anda, saudara atau bisa juga anda tanya rekan, kenalan yang pernah berwisata ke negara-negara eks jajahan negara Inggris tersebut)
Ini sangat berguna karena masayakat umum pun sudah mengetahui hal ini, bahwasannya semua dana untuk pembangunan berbagai fasilitas Negara adalah sangatlah besar nominalnya, apalagi bagi masyarakat umum yang belum mengetahui secara pasti berapa jumlah “nol” dalam kata “satu triliun rupiah”. Namun semua itu sudah menjadi jargon di warung-warung kopi tepi jalan, bahwasanya dana pembangunan laksana anak lelaki dalam agama “Islam” yang harus melalui proses “sunat” tapi ini bentuknya pengurangan jumlah nominal dari anggaran diberbagai meja "oknum" yang dilaluinya, yang mengatasnamakan "abdi Negara".
Nah…berkenaan dengan hal diatas, kembali saya mengungkap pernyataan Jumadi SSos MSi, pengamat politik dari Universitas Tanjungpura ditemui Rakyat Kalbar, Rabu (7/11/2012), Bahwa upaya pemerintah melalui Kemendagri mencegah indikasi praktik kolusi dalam pembahasan perencanaan dan pelaksanaan APBN/APBD, adalah langkah yang tepat. Hanya saja kebocoran anggaran masih saja bisa terjadi jika tidak dibarengi political will dari penyelenggara pemerintahan daerah.
“Tidak ada jaminan SE Mendagri itu bisa menghilangkan kebocoran APBD dan APBN yang dialirkan ke daerah. Apalagi pembahasan APBD juga melewati proses politik yang melibatkan eksekutif dan legislatif,”
Menurutnya, selama ini lembaga pengawasan internal di tingkat provinsi dan kabupaten/kota belum bisa diharapkan untuk melakukan pengawasan.
“Jadi menurutnya, dibutuhkan komitmen dan political will yang tinggi baik di jenjang eksekutif maupun legislatif untuk tidak berperilaku koruptif,” ujar Jumadi.
Kembali dengan segala sepak terjang Gubernur DKI Jakarta, ternyata hanya kata “dibutuhkan komitmen dan political will yang tinggi baik di jenjang eksekutif maupun legislative”. Bagi masyarakat umum, kata-kata ini sepertinya sudah terlalu tinggi dan agak susah dimengerti arti sebenarnya, namun setelah Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo dalam pengaplikasiannya diterjemahkan menjadi tindakan yang sangat sederhana dan mungkin sangat “sepele” bagi kaum "intelek" tapi sangat bermanfaat bagi masyarakat awam, kini masyarakat awam dapat mengetahui pijakan dasar dari pelaksanaan suatu rencana-rencana dalam pembangunan di wilayahnya.
Seperti telah diberitakan juga bahwa “surat" tersebut sebagai menindaklanjuti Surat Edaran Seskab Dipo Alam No: SE-542/Seskab/IX/2002 tentang Pengawalan APBN/APBD dengan Mencegah Praktik Kongkalikong dengan oknum anggota DPR/DPRD.
Mendagri meminta para gubernur, bupati/walikota dan pimpinan DPRD provinsi dan kabupaten/kota agar mencegah setiap indikasi praktik kolusi dengan oknum atau lembaga apa pun dalam pembahasan perencanaan dan pelaksanaan APBN/APBD.
Oleh karena SE Mendagri itu, hanya sebatas mengingatkan dan imbauan saja, maka masih tetap diperlukan kelembagaan seperti BPK, KPK dan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya serta partisipasi masyarakat untuk melakukan pengawasan.
Dari gambaran ini, seandainya seluruh Kepala Pemerintahan, baik pada tingkat Daerah maupun pada tingkat Kabupaten/Kota (Bupati/Walikota) diseluruh wilayah Indonesia dapat mengimplementasikan tindakan diatas, bisa dibayangkan proyek-proyek pemerintah (pusat/daerah) yang selama ini selalu dilaksanakan melalui proses kata “tender” bisa terdengar lebih manis, tidak seperti sekarang ini, yang orang awam pun sudah mahfum bahwasanya rata-rata dari proyek-proyek pemerintah yang melalui proses “tender” hanyalah sebuah alur sandiwara saja dari para oknum tidak bertanggunjawab, seperti dalam sebuah cerita fiksi yang harus ada bagian prolog sebagai pembuka sebuah cerita.
Maka dengan tindakan Gubernur DKI Jakarta tersebut diatas, saya menilai bahwa ini merupakan langkah transparansi pada tingkat nyata “political will” dilapangan sedangan pada tingkat pembahasan yang melibatkan lembaga legislative dan eksekutive, ukurannya tentu terletak pada norma-norma sebagai abdi Negara yang senantiasa berpegang teguh pada perundangan dan peraturan yang berlaku, jadi sebenarnya kalau para wakil rakyat di dewan betul-betul menjalankan fungsi penganggaran yang mengedepankan transparansi dan melakukan pengawasan yang serius terhadap pelaksanaan anggaran oleh eksekutif, saya yakin kebocoran akan bisa diminimalisasi secara signifikan. Masalahnya, terkadang ada oknum dewan menjadi bagian yang memberikan kontribusi terhadap kebocoran anggaran itu.
Dari permasalahan ini, kita dapat melihat bahwa akar-akar untuk melangkah dengan cara “instan” sudah ada, sedangkan disisi lain manusia dihadapkan pada berbagai bidang kehidupan dengan system yang mengaturnya, akan tetapi perlu kita ketahui bahwa sebaik-baik system yang kita miliki sudah tentu ada kelebihan dan kekurangannya karena semuanya merupakan hasil dari buatan/kreasi manusia itu sendiri, disisi lain cara berfikir dari setiap manusia juga berbeda-beda dalam mengatasi berbagai permasalahan yang ada dalam system tersebut.
Jadi pada dasarnya tinggal pribadi kita masing-masing, apakah masih ada rasa “iri” dengan rekan, tetangga sebelah rumah yang tingkat sosial ekonominya diatas kita atau agar supaya ngobrolnya bisa nyambung….dan dianggap “satu level”.
Sebenarnya kita dianggap “satu level” atau tidak adalah bagaimana kita bisa merubah pola pikir (cara berfikir) kita terlebih dahulu, bukan semata-mata karena kebiasaan hidup kita, bukan karena “gaya” kemewahan hidup kita, karena banyak juga perjalanan orang dengan asal-usul dari kaum “terpinggirkan” namun karena kerja keras dan pantang menyerah untuk selalu berusaha, maka akhirnya menuai sukses dan mempunyai “kebiasaan hidup” yang bisa jauh diatas rata-rata lingkungannya.
Jadi dalam kesempatan ini juga, saya berpesan kepada saudara-saudara kita, para tetangga yang merasa telah dikarunia kecukupan secara ekonomi sebaiknya juga jangan terlalu “over acting” baik dalam tampilan maupun dari segi pembicaraan atau obrolan, hargailah dan hormatilah tetangga anda, sebagai sesama manusia ciptaan Tuhan Yang Esa.
Sekali lagi, hidup adalah tidak seribu tahun lamanya maka jauhilah sikap dan sifat jumawa, kita harus senantiasa bercermin kepada panutan kita, kanjeng Nabi Muhammad SAW yang nyata-nyata dalam salah satu riwayat menyebutkan bahwa:
"Andai matahari diletakan di tangan kanan dan bulan diletakan ditangan kiri, Beliau tidak mundur selangkahpun untuk mensyiarkan Islam" dengan kata lain "andai seluruh kekayaan dunia, derajat, pangkat diberikan kepadanya, beliau tidak akan tergoda dan mundur dari syiar Islam".
Oleh karena itu, kita sebagai ummatnya, marilah kita bersama-sama mencoba untuk meniru sebagian kecil dari sikap dan sifat kemuliaannya tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Seperti kata pepatah yang sering kita dengar berikut ini, dan saya yakin sudah tidak asing lagi bagi anda semua:
"Andai matahari diletakan di tangan kanan dan bulan diletakan ditangan kiri, Beliau tidak mundur selangkahpun untuk mensyiarkan Islam" dengan kata lain "andai seluruh kekayaan dunia, derajat, pangkat diberikan kepadanya, beliau tidak akan tergoda dan mundur dari syiar Islam".
Oleh karena itu, kita sebagai ummatnya, marilah kita bersama-sama mencoba untuk meniru sebagian kecil dari sikap dan sifat kemuliaannya tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Seperti kata pepatah yang sering kita dengar berikut ini, dan saya yakin sudah tidak asing lagi bagi anda semua:
"Dimana ada seorang pria yang hebat sebagai pemimpin, maka ada seorang pendamping (wanita) berhati emas disisinya".
Demikianlah, semua makhluk telah mempunyai peran dan posisinya masing-masing, oleh karena itu kembalilah dengan model dan gaya pendidikan yang sesuai logika kita sebagai insan mulia yang mempunyai harkat dan bermartabat.
Saya cuplikan lagi posting artikel yang lalu, yang berupa satu contoh komunikasi dalam sebuah keluarga dengan permasalahan yang dihadapi, yakni pada kelurga Bapak Hoegeng Imam Santoso (mantan Kapolri era 60an ) dengan sang istri (Ibu Merry). Semoga segala amal diterima disisiNYA. Amien…
“Begitu dipensiunkan, Beliau kemudian mengabarkan pada istrinya. Dan istrinya hanya berkomentar, selesaikan tugas dengan kejujuran. Karena kita masih bisa makan nasi dengan garam. Begitu jawaban sang istri dengan santainya...”
Ternyata hidup ini sangat mudah dan sangat sederhana apabila kita mau sedikit menyelami isinya...
Bagaimana pendapat anda…?
Bagaimana pendapat anda…?
Sekali lagi marilah kita memulai memperkuat kembali proyek pemberantasan korupsi ini melalui pendidikan moralitas anti korupsi dari tingkat akar rumput, para pejabat negara beserta para pemimpin kegiatan hendaklah tidak menerima setiap pemberian atau hibah yang tidak jelas peruntukannya, profesionalisme perlu dikedepankan juga para pengusaha, jangan “nakal” dengan memanfaatkan kelemahan pada individu-individu Abdi Negara, para pegawai pajak dan pegawai akuntan yang mengurusi kewajiban-kewajiban pajaknya, juga seluruh lapisan masyarakat (buruh, tani, nelayan dan pedagang), mari bersama-sama mencipatakan generasi yang berakhlak mulia dan berwawasan modern guna menyongsong era perkembangan jaman yang lebih baik. Pandangan etik normatif agama melalui pendidikan formal maupun non formal demi pemerintahan yang baik (good governence) perlu terus diagendakan dan dilaksanakan dengan maksimal. Insya Allah, korupsi perlahan-lahan akan terkikis dari negeri tercinta ini.
Demikianlah sekilas cerita dibalik cara sederhana meminimalkan kebocoran anggaran di negara kita Indonesia.
Semoga lebih bermanfaat
Salam hangat.
0 komentar:
Post a Comment