Anggaran belanja bocor…?
Mungkin bagi sebagian orang sudah sering mengalaminya apalagi bagi kaum muda yang umumnya manajemen keuangannya masih menganut manajemen yang penting “asal senang”, jadi bisa lebih defisit! dari yang seharusnya, tapi kalau yang bocor/defisit adalah anggaran belanja dari sebuah Negara bagamana jadinya….?
Seringnya kita mendapati berita-berita di media cetak dan televisi, bahwasanya suatu Negara dapat mengalami kebocoran anggaran alias dana terpakai tapi wujud fisik pembangunannya tidak sesuai dengan nilai nominal yang dianggarkan. Seperti halnya yang sering terjadi pada skala organisasi maupun perusahaan (kecil, menengah dan besar), namun penyebab kebocoran anggaran pada suatu Negara ternyata lebih kompleks.
Apa iya….! ko bisa?
Begitu kira-kira pertanyaan kita sebagai masyarakat umum yang tidak mengetahui secara pasti bagaimana proses pengelolaan sebuah angka nominal dari penerimaan seluruh kewajiban masyarakat, yang nominal angkanya bisa menyusun kata “triliun”. (berapa jumlah angka nolnya bro….).
Jadi sejatinya seperti apa model pengelolaan penerimaan Negara yang dipakai?
Begini gambaran kisahnya dari cara pengelolaan kas Negara yang kadang kenapa masih bisa ada kebocoran…
Jusuf Kalla (ketua PMI sekarang) pada waktu masih menjabat sebagai Wapres (waktunya saya lupa gan…), pernah mengemukakan pendapatnya bahwa sebenarnya orang yang akan melakukan korupsi di Indonesia ini akan pikir-pikir dahulu sebelum melakukan korupsi, menurut Kalla, pikir-pikirnya itu dikarenakan Indonesia memiliki berlapis-lapis pengawasan korupsi, diantaranya KPK, BPK, Kejaksaan, Kepolisian dan Inspektorat Jenderal di setiap Kementerian yang semuanya mempunyai legitimasi untuk melakukan prosesi penegakan hukum, mulai mengaudit hingga memeriksa seluruh satuan kerja maupun pejabat Negara yang terindikasi korupsi. Benar-benar berlapis-lapis kan? penjagaan uang Negara kita oleh para abdi Negara. Dan yang disampaikan oleh mantan Wapres Jusuf Kalla diatas memang benar adanya, hanya saja, kalau kita lihat kenyataannya kebanyakan para pelaku korupsi tidak akan pikir-pikir lagi dalam melakukan tindak pidana korupsi. Kenyataannya yang santer di media cetak dan elektronik saat ini korupsi tetap mewabah dan menggurita, peringkat Indonesia sebagai negara korup tidak juga naik ke indeks posisi yang menyenangkan, justru TII (Transparansi Internasional Indonesia) dan ICW (Indonesian Corruption Watch) dalam laporan terakhirnya masih saja menempatkan beberapa Lembaga yang seharusnya memerangi korupsi justru menempati posisi sebagai lembaga terkorup.
Dan sebenarnya…
Di Indonesia sistem pencairan keuangan negara sudah diatur sedemikian rupa, Kementerian Keuangan sebagai lembaga yang memimpin dan mengatur permasalahan yang menyangkut anggaran negara sudah menetapkan syarat-syarat yang tidak mudah dalam setiap pencairan keuangan negara, aplikasi keuangan di setiap Kementerian atau Satuan Kerja juga sudah demikian rapi berikut pelaporannya, bahkan posisi kas keuangan negara di Bank pada setiap Satuan Kerja dapat dimonitor langsung oleh Dirjen Perbendaharaan kapanpun mereka inginkan. Pada setiap satuan kerja (satker) diwajibkan mencatat seluruh pemasukan dan pengeluaran dalam pembukuannya. Setiap Kementerian dan satuan kerja memiliki DIPA (daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) yang di sahkan oleh Presiden dan Menteri keuangan dengan proses pencairan musti melalui mekanisme yang rumit. Terkadang DIPA yang di buat untuk satuan kerja tidak dapat di manfaatkan secara maksimal karena dana DIPA yang ada tidak sesuai peruntukannya di lapangan, atau DIPA yang ada dapat di cairkan namun di lapangan kesulitan mempertanggungjawabkannya karena prosedur birokrasinya, meskipun kenyataannya sepenuhnya dana memang diperuntukkan untuk keperluan satuan kerja/masyarakat. Sering DIPA yang dikeluarkan oleh pusat, masih ada tumpang tindih kegiatan, sebagian kegiatan atau proyek yang dilaksanakan Provinsi atau Wilayah juga di laksanakan di satuan kerja sehingga masih ada yang terjadi double anggaran. Mata Anggaran Kegiatan (MAK) yang sudah termaktub dalam DIPA tidak dapat dirubah sesuai dengan kemauan pengguna anggaran melainkan harus melalui revisi yang juga cukup rumit, sehingga MAK yang tidak sesuai tidak dapat dilaksanakan atau dicairkan anggarannya. Hal inilah yang menyebabkan dana pada Kementerian sering kali kesulitan untuk dicairkan atau bahasa anggarannya tidak terserap. Melalui edaran resminya Direktorat Jenderal Perbendahaan telah menata ulang serapi mungkin rekening pada satuan kerja dan menertibkan rekening-rekening liar yang ada pada satuan kerja dan mengharuskan satuan kerja menutup seluruh rekeningnya dan setiap satker dan hanya memiliki satu saja rekening ber-NPWP resmi terdaftar, lembaga/badan lelang negara yang mempunyai hak untuk memeriksa dan mendata seluruh aset dan kekayaan negara (BMN) di setiap satuan kerja bekerja keras mendata seluruh kekayaan negara, jika ternyata peruntukannya tidak benar dan tidak pada tempatnya tindakan tegas akan diambil oleh pemerintah pusat.
Begitulah cerita mengenai gambaran tentang rumitnya birokrasi pengelolaan keuangan kita, dan secara teoritis negara sudah berusaha keras menekan agar anggaran negara tidak bocor, namun “kembali” pada kenyataannya, ternyata semua kerumitan pengelolaan keuangan negara diatas masih saja membuka celah bagi para penentu kebijakan yang tidak mempunyai etika “rasa malu” (koruptor), hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya para pejabat baik yang memangku jabatan politis atau non politis dijemput oleh penyidik, maju dipersidangan, berargumen dan atau hingga dapat dijebloskan ke hotel prodeo.
Sebagai contoh, Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Taufiequrrahman Ruki pernah mengatakan bahwa masih banyak kebocoran anggaran terjadi dalam keuangan negara. Penyebab kebocoran adalah dari sisi penerimaan (Liputan6.com), terutama dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP). "Banyak PNBP yang belum disetor bahkan tidak disetor. PNBP pada negara terlambat disetor dan dengan berani digunakan karena aturan itu belum ada. Penerimaan dari PNBP harus lebih ditertibkan lagi," demikian katanya.
Selain PNBP, juga berasal dari buruknya pencatatan yang dilakukan dalam utang piutang. Hal ini menyebabkan terjadinya banyak piutang yang tak tertagih disatu sisi juga adanya utang yang buruk pencatatanya. Buruknya pencatatan, bukan hanya pada utang piutang, tapi juga dokumentasi terhadap aset yang dimiliki negara, akibatnya banyak dokumen aset negara yang tidak ditemukan.
"Aset yang berada di kementrian keuangan, kementrain pertahanan keamanan, pekerjaan umum, banyak sekali. Aset BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) saya tidak tahu, bisa tidak ditertibkan,"
Kebocoran yang masyarakat awam sudah “tahu” dari seluk-beluk cara “kemaruk” yang paling mudah dikenali adalah dalam hal kasus-kasus perpajakan (pengurangan nilai pajak yang seharusnya dibayarkan ke Negara, dengan imbalan fee), seperti kasus Gayus yang sudah ramai dibicarakan dan atau kasus-kasus pajak sejenis yang kurang "populer" dalam pemberitaaan, seperti Dhana Widyatmika, Herli Isdiharsono, Ajib Hamdani, Denok Taviperiana, Totok Hendryatno, Bahasyim Assafie, Tommy Hindratmo, Anggrah Suryo dll.
Secara logika, seorang pegawai dengan kepangkatan golongan IIIA-C mempunyai asset hingga ratusan miliyar, usaha lain sebelum menjadi pegawai dirjen pajak yang pantas dengan hasil asset tidak ada (kalo moyangnya seorang tuan tanah didaerahnya, mungkin bisa agak masuk akal …)
Dalam kasus Gayus, apakah Gayus sendirian…? Tentu orang awampun akan menjawab ga mungkin dunk…! Kan ada temen sejawat terus ada yang lebih berwenang lagi…kenapa cuma Gayus yang menjadi sorotan, ini jadi seperti kasus pencurian ayam yang tertangkap basah karena kedapatan sedang memeluk ayamnya. Peran oknum pengusaha “nakal” dan oknum pemangku kebijakan yang tidak ber”etika” jelas ada, apalagi undang-undang hukum yang selama ini kita pakai adalah masih berpijak dari undang-undang hukum yang diciptakan oleh bangsa penjajah “kolonial” yang tujuannya untuk selalu melindungi semua kepentingan kolonial “seragam putih” pada waktu itu dan menganggap penduduk pribumi dari kepulauan nusantara sebagai “ekstrimis”.
Contoh kecil lainnya yang tidak terlihat dan disadari oleh para perancang kebijakan, namun sering ditemui oleh masyarakat kecil (bisa jadi ini ada juga di departemen lainnya) adalah lemahnya system perpajakan pada pungutan pajak kendaraan bermotor yang disetor tidak melalui pihak ketiga atau bank akan tetapi langsung ke kantor samsat setempat. Ini memungkinkan adanya praktek percaloan dan pengelembungan nilai nominal dengan dalih berbagai alasan dari oknum pegawai, setali tiga uang juga berlaku pada proses pelanggaran lalu-lintas (tilang) bagi anggota masyarakat yang tertangkap tangan melanggar peraturan lalu-lintas dijalan, pembayaran tilang tidak melalui pihak ketiga (bank), akan tetapi “seperti” sesuai dengan yang telah disepakati bersama ditempat kejadian atau sesuai dengan kebiasaan “harga pasaran” yang berlaku, jadi tidak ada rasa “malu” dari oknum penegak hukum, alih-alih minta uang dengan alasan si pengendara/pengemudi melanggar peraturan lalu-lintas.
Kebocoran anggaran Negara yang termasuk fenomenal adalah dalam hal berbagai pelaksanaan hasil dari proses “tender” dari suatu proyek, ini juga sempat diutarakan oleh mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Antasari Azhar. Maraknya korupsi pengadaan barang dan jasa, karena transparansi nilai proyek belum ada serta belum adanya penguatan pengawasan dari proyek-proyek yang ada.
Masyarakat umum pun sudah mahfum adanya, bahwasanya suatu pelaksanaan pekerjaan proyek hasil dari kata “tender” seperti sebuah permainan yang bisa dimainkan, sebuah perusahaan bukan hanya berbekal persyaratan sesuai ketentuan yang ada akan tetapi permainan “amplop", pengelembungan nilai dan pengurangan nilai bahan baku” adalah hal yang sudah biasa, yang mudah saja, seperti cerita hal sepele mengenai bagaiamana pengurusan sebuah paspor disuatu daerah yang pernah dilakukan oleh rekan saya, bahwasanya untuk mendapatkan pelayanan prima kita harus bisa membayar “lebih” sesuai dengan lamanya proses yang ditempuh, apalagi mengikuti sebuah proyek “tender” dari pemerintah katanya.
Dapat di bayangkan proyek-proyek hasil “tender” yang nilai dananya tidak sedikit dengan jumlah angka minimal “enam buah nol” dibelakangnya, dapat dimainkan sesuai kehendak perut masing-masing. Sekarang anda bisa meraba bagaimana dengan hasil akhir dari pelaksanaan proyek melalui mekanisme alih-alih “tender” tersebut, yang tentunya dari masing-masing pihak sudah mengharapkan kata “fee” (Proyek Wisma Atlet, Simulator SIM, Listrik Tenaga Surya, Impor Daging Sapi dan Hambalang contoh terbaru dan mudahnya). Bisa dibilang pada tingkatan hulu, seperti pengurusan berjuta ton beras, namun hasil akhir dilapangan (hilir) hanyalah sebuah pelaksanaan proyek dengan nilai hanya sekarung “tepung” beras.
Persoalan korupsi ini memang sangat fundamental, karena dapat menghancurkan sendi-sendi bangsa kita, betapa besar dampak korupsi dalam pembangunan bangsa, bangsa ini sudah begitu lama terpuruk dalam krisis ekonomi yang salah satu penyebabnya adalah penyakit korupsi yang sudah akut, menggurita bahkan telah mendarah daging. Na’udzubillah Mindzalik.
Uang negara yang seharusnya untuk kepentingan rakyat diselewengkan oleh para penentu kebijakan yang tidak bertanggungjawab (koruptor) untuk kepentingan pribadi, keluarga dan golongannya, jika terus dibiarkan dan tidak ada rasa kepedulian dari kita, setiap individu warga Negara maka bangsa ini di kemudian hari hanya tinggal menunggu kehancurannya hingga menjadi sebuah bangsa yang tidak bermartabat dengan kemiskinan dan krisis ekonominya yang membayangi.
Jadi yang perlu disadari bersama sampai detik ini adalah aspek moral dan skill atau keahlian dalam pengelolaan keuangan negara masih tetap menjadi persoalan yang mengganggu. Perbaikan aspek moral dan skill tidak mencatat kemajuan yang berarti. Padahal, sebagai sebuah masalah, kelemahan pada aspek moral dan skill pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara bukan masalah baru. Masalah ini sudah berusia puluhan tahun. Dari dulu sampai sekarang. Kalau kita menjadikan momentum reformasi sebagai titik awal perbaikan, praktis selama lebih dari beberapa dekade ini belum ada perbaikan yang berarti. Bahkan, boleh jadi, skala permasalahannya terus membesar, sejalan dengan sinyalemen tentang makin merajalelanya korupsi di negara ini. Jadi apa bedanya kita telah mencaci-maki rezim sebelumnya yang dianggap terkorup dan sejenisnya, kalo sekarang malah lebih mudah dilihat "modus" dan cara kerjanya oleh masyarakat umum.
Rakyat yang awam jadi tidak paham dan tidak mengerti, pengelola Negara ini adalah individu-individu pintar yang telah dipilih, tapi mengapa orang-orang pintar dan yang mempunyai kebijakan dalam birokrasi negara tidak bisa mencegah kebocoran itu. Apalagi, sumber kebocoran sudah diketahui. Strategi untuk mencegah kebocoran pun sudah berulang kali diterapkan. Tetapi, kebocoran anggaran terus saja terjadi di negara ini. Seperti masalah permanen keuangan negara.
Sangat wajar jika rakyat kini bertanya kapan kebocoran keuangan negara itu bisa dihentikan? Kalau sumber masalahnya adalah ketidakpatuhan terhadap peraturan yang berlaku, adakah sanksi bagi para birokrat yang tidak mengindahkan peraturan itu? Atau apa tidak bisa, misal ya… paling tidak di minimalisir. Apakah sanksinya harus menunggu produk hukum baru supaya berefek jera?, jadi kapan lagi?!. Apa benar ada sebuah pameo mengatakan bahwa, peraturan dibuat untuk dilanggar…?
Kalau masalah kebocoran anggaran terus terjadi, kita berhak curiga bahwa pemerintah (para abdi Negara) tidak bersungguh-sungguh mencegah kebocoran anggaran, dan sudah menganggap masalah ini sebagai hal yang biasa-biasa saja. Kalo begitu kata “good governance” yang sering dipresentasikan pada acara seminar, diklat sebagai tujuan dari system pengelolaan Negara, apa artinya bagi masyarakat. Apakah akhirnya tidak cukup beralasan untuk menilainya sebagai “bad governance”.
Walaupun Pemerintah sudah mulai mengimplementasi program remunerasi untuk mengakhiri moral hazard dalam pengelolaan keuangan negara. Kalau tahun-tahun mendatang kebocoran anggaran masih terjadi, program remunerasi itu sama saja dengan “menggarami laut”.
Dan sekiranya model pemungutan pajak yang sekarang ini telah menganut system self-assessment tidak menimbulkan perubahan yang berarti dan atau cenderung menguntungkan wajib pajak dan atau "oknum" pegawai pajak, khususnya yang sering terjadi pada wajib pajak "kelas kakap" yang berniat “nakal”, dengan memanfaaatkan para pegawai pajak maka Negara juga berhak untuk mempertimbangkan model lainnya seperti system official-assessment dalam pemungutan pajak negara, begitu juga mengenai besaran prosentase standar (dasar) dari jumlah pajak sebagai patokan pemungutan pajak Negara, sehingga dikemudian hari pendapatan dari berbagai macam pajak masyarakat dapat mengotimalkan kemakmuran seluruh masyarakat Indonesia.
Perlu kegigihan yang mendalam dari seluruh elemen bangsa untuk mengikis habis korupsi dengan niat yang tulus dari lubuk hati terdalam disamping menumbuhkan sifat tipis kulit muka “rasa malu” bagi kita semua, mengamalkan ajaran agama dengan baik dan benar merupakan jalan pasti, karena hanya mempelajari agama tanpa mengamalkannya tidak akan berpengaruh terhadap tindakan koruptor, karena siapapun ia jika telah melakukan korupsi berarti telah meninggalkan dan melepaskan ajaran agamanya, dalam ajaran Islam sangat keras mengatur tentang hukuman bagi para pencuri, termasuk pencuri uang negara (baca: koruptor) yang jika darah dagingnya tumbuh dari hasil tidak benar (korupsi) atau darah dagingnya tumbuh dari penghasilan yang haram misal: dari uang menang judi, maka darah dagingnya yang tumbuh itu pada hari pembalasan akan diluluhlantakkan oleh api neraka. Amat disayangkan jika pelaku korupsi banyak yang memberikan bantuan kepada panti asuhan, pondok pesantren atau lembaga kemanusiaan lainnya ternyata berpredikat sebagai haji atau individu yang di tokohkan, ternyata dana bantuannya adalah bagian dari hasil “mencuri uang rakyat”, fenomena ini semakin menambah keanehan-keanehan dan ketidak-cocokan antara apa yang diucapkan dan dilakukannya. Ada pula pejabat yang hari ini mengatakan “mari kita berantas korupsi” namun esoknya ia sendiri ditangkap karena melakukan korupsi, seakan-akan pemberantasan korupsi ini menjadi permainan retorika.
Dari rangkaian tulisan diatas, sebenarnya “inti” atau akar permasalahan dari perilaku korupsi adalah hal yang sangat “sepele” yakni, sifat diri kita yang tidak pernah puas terhadap apa yang kita miliki, bahkan akan merasa “gengsi” apabila rekan, tetangga arisan sebelah rumah memiliki benda yang jauh lebih baik dari yang kita miliki. Tentu persoalan ini terlalu “klise” rasanya, tapi coba sejenak kita introspeksi, kita kembalikan kepada diri kita masing-masing, siapa yang tidak mempunyai keinginan hidup lebih baik dari sekarang, sukses dalam karier atau kehidupan, tentu saya katakan bahwa pasti semua orang menginginkannya, dan wujud nyata dari kesuksesan seseorang adalah sudah pasti yang dilihat pertama adalah “nilai” dari materi yang dimilikinya tersebut, namun disayangkan, cara yang ditempuh kebanyakan orang maunya cepat terlaksana atau “instan”. (“jaman sekarang, kalo proses lama Bung… kenapa mesti susah-susah kalo ada yang mudah, jaman sekarang ko dibikin susah…)
Pendidikan berkarakter pada generasi anak bangsa perlu mendapat perhatian lebih, karena dengan pendidikan yang baik, khususnya dimulai dari lingkungan keluarga diri kita sendiri, maka dikemudian hari seseorang tidak akan melakukan hal-hal yang dianggap kurang sopan apalagi melanggar norma-norma agama, dan ini sudah naluri bagi makhluk bernama manusia yang telah diberi kesempurnaan olehNYA dengan dikaruniakannya akal dan fikiran.
Semakin banyaknya pelaku korupsi di negeri ini, menunjukan bahwa bidang pendidikan telah mengalami kegagalan secara rohani dan kearifan lokal, baik pendidikan formal maupun non formal. Padahal dalam bidang didik-mendidik, pendidikan diperkenalkan pertama kalinya pada saat manusia hadir menjadi anggota baru dari sebuah keluarga kecil. Semestinya dan saya yakin bahwa, penyusunan program-program pendidikan oleh Negara lebih menitik-beratkan aspek pendekatan agama, moral/kearifan lokal serta penerapan dari materi-materi pendidikan bidang teknologi/saint pada aspek nyata dilapangan daripada sisi kemodernan fisik serta program yang memilah-milah masyarakat menjadi beberapa “kasta” dalam memperoleh haknya sebagai warga Negara. Ini perlu dan harusnya dicermati, baik oleh pemerintah sebagai pemilik kebijakan, para wakil rakyat, pemerhati pendidikan serta pada setiap orang tua dan para calon Ayah dan Ibu, karena ini merupakan titik awal dari sebuah pemahaman yang dimiliki oleh setiap insan pada generasi di tiap-tiap bangsa. Kalo memang... Negara ini mempunyai niat mencerdaskan generasi penerus bangsa.
Bagaimana pendapat anda…?
Sehubungan dengan sikap dan sifat untuk menghindarkan diri dari perilaku "memalukan" dari kata "korup", berikut ini ada sebuah kata yang tidak asing lagi pada telinga anda:
"Dimana ada seorang pria hebat sebagai pemimpin, pasti ada seorang pendamping (wanita) berhati emas disisinya".
Oleh karena itu marilah kita bersama-sama kita saling introspeksi diri karena demikianlah, semua makhluk telah mempunyai peran dan posisinya masing-masing, oleh karena itu kembalilah kepada fitrah kita serta kepada model dan gaya pendidikan yang sesuai logika kita sebagai insan mulia yang mempunyai harkat dan bermartabat.
Berikut saya cuplikan satu contoh komunikasi dalam sebuah keluarga dengan permasalahan yang dihadapi, yakni pada kelurga Bapak Hoegeng Imam Santoso (mantan Kapolri era 60an) dengan sang istri (Ibu Merry). Semoga segala amal ibadahnya diterima disisiNYA. Amien…
“Begitu dipensiunkan, Beliau kemudian mengabarkan pada istrinya. Dan istrinya hanya berkomentar, selesaikan tugas dengan kejujuran. Karena kita masih bisa makan nasi dengan garam. Begitu jawaban sang istri dengan santainya...”
Sangat sederhana...
Bagaimana dengan “ratu” keluarga anda, sang pujaan hati dalam menyikapi suka dan duka perjalanan hidup ini…?
Sekali lagi marilah kita memulai memperkuat kembali proyek pemberantasan korupsi ini melalui pendidikan moralitas anti korupsi dari tingkat akar rumput (seluruh lapisan masyarakat dari berbagai aspek kehidupan, buruh, tani, nelayan, dan pedagang) dan yang pertama-tama harus menjadi contoh adalah para pejabat negara beserta para pemimpin kegiatan hendaklah tidak menerima setiap pemberian atau hibah yang tidak jelas peruntukannya, profesionalisme perlu dikedepankan juga para pengusaha, jangan “nakal” dengan memanfaatkan kelemahan pada individu-individu para abdi Negara (seperti Gubernur, Bupati, para staf PNS, aparat penegak hukum serta pegawai pajak, pegawai akuntan yang mengurusi kewajiban-kewajiban pajaknya). Pandangan etik normatif agama melalui pendidikan formal maupun non formal demi pemerintahan yang baik (good governence) perlu terus diagendakan dan dilaksanakan dengan maksimal. Dengan cara demikian Insya Allah, korupsi perlahan-lahan akan terkikis dari negeri tercinta ini.
Demikianlah ringkasan cerita dibalik "kata" kebocoran anggaran yang ada dinegara kita tercinta, Indonesia.
Semoga lebih bermanfaat
Salam hangat.
Mungkin bagi sebagian orang sudah sering mengalaminya apalagi bagi kaum muda yang umumnya manajemen keuangannya masih menganut manajemen yang penting “asal senang”, jadi bisa lebih defisit! dari yang seharusnya, tapi kalau yang bocor/defisit adalah anggaran belanja dari sebuah Negara bagamana jadinya….?
Seringnya kita mendapati berita-berita di media cetak dan televisi, bahwasanya suatu Negara dapat mengalami kebocoran anggaran alias dana terpakai tapi wujud fisik pembangunannya tidak sesuai dengan nilai nominal yang dianggarkan. Seperti halnya yang sering terjadi pada skala organisasi maupun perusahaan (kecil, menengah dan besar), namun penyebab kebocoran anggaran pada suatu Negara ternyata lebih kompleks.
Apa iya….! ko bisa?
Begitu kira-kira pertanyaan kita sebagai masyarakat umum yang tidak mengetahui secara pasti bagaimana proses pengelolaan sebuah angka nominal dari penerimaan seluruh kewajiban masyarakat, yang nominal angkanya bisa menyusun kata “triliun”. (berapa jumlah angka nolnya bro….).
Jadi sejatinya seperti apa model pengelolaan penerimaan Negara yang dipakai?
Begini gambaran kisahnya dari cara pengelolaan kas Negara yang kadang kenapa masih bisa ada kebocoran…
Jusuf Kalla (ketua PMI sekarang) pada waktu masih menjabat sebagai Wapres (waktunya saya lupa gan…), pernah mengemukakan pendapatnya bahwa sebenarnya orang yang akan melakukan korupsi di Indonesia ini akan pikir-pikir dahulu sebelum melakukan korupsi, menurut Kalla, pikir-pikirnya itu dikarenakan Indonesia memiliki berlapis-lapis pengawasan korupsi, diantaranya KPK, BPK, Kejaksaan, Kepolisian dan Inspektorat Jenderal di setiap Kementerian yang semuanya mempunyai legitimasi untuk melakukan prosesi penegakan hukum, mulai mengaudit hingga memeriksa seluruh satuan kerja maupun pejabat Negara yang terindikasi korupsi. Benar-benar berlapis-lapis kan? penjagaan uang Negara kita oleh para abdi Negara. Dan yang disampaikan oleh mantan Wapres Jusuf Kalla diatas memang benar adanya, hanya saja, kalau kita lihat kenyataannya kebanyakan para pelaku korupsi tidak akan pikir-pikir lagi dalam melakukan tindak pidana korupsi. Kenyataannya yang santer di media cetak dan elektronik saat ini korupsi tetap mewabah dan menggurita, peringkat Indonesia sebagai negara korup tidak juga naik ke indeks posisi yang menyenangkan, justru TII (Transparansi Internasional Indonesia) dan ICW (Indonesian Corruption Watch) dalam laporan terakhirnya masih saja menempatkan beberapa Lembaga yang seharusnya memerangi korupsi justru menempati posisi sebagai lembaga terkorup.
Dan sebenarnya…
Di Indonesia sistem pencairan keuangan negara sudah diatur sedemikian rupa, Kementerian Keuangan sebagai lembaga yang memimpin dan mengatur permasalahan yang menyangkut anggaran negara sudah menetapkan syarat-syarat yang tidak mudah dalam setiap pencairan keuangan negara, aplikasi keuangan di setiap Kementerian atau Satuan Kerja juga sudah demikian rapi berikut pelaporannya, bahkan posisi kas keuangan negara di Bank pada setiap Satuan Kerja dapat dimonitor langsung oleh Dirjen Perbendaharaan kapanpun mereka inginkan. Pada setiap satuan kerja (satker) diwajibkan mencatat seluruh pemasukan dan pengeluaran dalam pembukuannya. Setiap Kementerian dan satuan kerja memiliki DIPA (daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) yang di sahkan oleh Presiden dan Menteri keuangan dengan proses pencairan musti melalui mekanisme yang rumit. Terkadang DIPA yang di buat untuk satuan kerja tidak dapat di manfaatkan secara maksimal karena dana DIPA yang ada tidak sesuai peruntukannya di lapangan, atau DIPA yang ada dapat di cairkan namun di lapangan kesulitan mempertanggungjawabkannya karena prosedur birokrasinya, meskipun kenyataannya sepenuhnya dana memang diperuntukkan untuk keperluan satuan kerja/masyarakat. Sering DIPA yang dikeluarkan oleh pusat, masih ada tumpang tindih kegiatan, sebagian kegiatan atau proyek yang dilaksanakan Provinsi atau Wilayah juga di laksanakan di satuan kerja sehingga masih ada yang terjadi double anggaran. Mata Anggaran Kegiatan (MAK) yang sudah termaktub dalam DIPA tidak dapat dirubah sesuai dengan kemauan pengguna anggaran melainkan harus melalui revisi yang juga cukup rumit, sehingga MAK yang tidak sesuai tidak dapat dilaksanakan atau dicairkan anggarannya. Hal inilah yang menyebabkan dana pada Kementerian sering kali kesulitan untuk dicairkan atau bahasa anggarannya tidak terserap. Melalui edaran resminya Direktorat Jenderal Perbendahaan telah menata ulang serapi mungkin rekening pada satuan kerja dan menertibkan rekening-rekening liar yang ada pada satuan kerja dan mengharuskan satuan kerja menutup seluruh rekeningnya dan setiap satker dan hanya memiliki satu saja rekening ber-NPWP resmi terdaftar, lembaga/badan lelang negara yang mempunyai hak untuk memeriksa dan mendata seluruh aset dan kekayaan negara (BMN) di setiap satuan kerja bekerja keras mendata seluruh kekayaan negara, jika ternyata peruntukannya tidak benar dan tidak pada tempatnya tindakan tegas akan diambil oleh pemerintah pusat.
Begitulah cerita mengenai gambaran tentang rumitnya birokrasi pengelolaan keuangan kita, dan secara teoritis negara sudah berusaha keras menekan agar anggaran negara tidak bocor, namun “kembali” pada kenyataannya, ternyata semua kerumitan pengelolaan keuangan negara diatas masih saja membuka celah bagi para penentu kebijakan yang tidak mempunyai etika “rasa malu” (koruptor), hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya para pejabat baik yang memangku jabatan politis atau non politis dijemput oleh penyidik, maju dipersidangan, berargumen dan atau hingga dapat dijebloskan ke hotel prodeo.
Sebagai contoh, Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Taufiequrrahman Ruki pernah mengatakan bahwa masih banyak kebocoran anggaran terjadi dalam keuangan negara. Penyebab kebocoran adalah dari sisi penerimaan (Liputan6.com), terutama dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP). "Banyak PNBP yang belum disetor bahkan tidak disetor. PNBP pada negara terlambat disetor dan dengan berani digunakan karena aturan itu belum ada. Penerimaan dari PNBP harus lebih ditertibkan lagi," demikian katanya.
Selain PNBP, juga berasal dari buruknya pencatatan yang dilakukan dalam utang piutang. Hal ini menyebabkan terjadinya banyak piutang yang tak tertagih disatu sisi juga adanya utang yang buruk pencatatanya. Buruknya pencatatan, bukan hanya pada utang piutang, tapi juga dokumentasi terhadap aset yang dimiliki negara, akibatnya banyak dokumen aset negara yang tidak ditemukan.
"Aset yang berada di kementrian keuangan, kementrain pertahanan keamanan, pekerjaan umum, banyak sekali. Aset BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) saya tidak tahu, bisa tidak ditertibkan,"
Kebocoran yang masyarakat awam sudah “tahu” dari seluk-beluk cara “kemaruk” yang paling mudah dikenali adalah dalam hal kasus-kasus perpajakan (pengurangan nilai pajak yang seharusnya dibayarkan ke Negara, dengan imbalan fee), seperti kasus Gayus yang sudah ramai dibicarakan dan atau kasus-kasus pajak sejenis yang kurang "populer" dalam pemberitaaan, seperti Dhana Widyatmika, Herli Isdiharsono, Ajib Hamdani, Denok Taviperiana, Totok Hendryatno, Bahasyim Assafie, Tommy Hindratmo, Anggrah Suryo dll.
Secara logika, seorang pegawai dengan kepangkatan golongan IIIA-C mempunyai asset hingga ratusan miliyar, usaha lain sebelum menjadi pegawai dirjen pajak yang pantas dengan hasil asset tidak ada (kalo moyangnya seorang tuan tanah didaerahnya, mungkin bisa agak masuk akal …)
Dalam kasus Gayus, apakah Gayus sendirian…? Tentu orang awampun akan menjawab ga mungkin dunk…! Kan ada temen sejawat terus ada yang lebih berwenang lagi…kenapa cuma Gayus yang menjadi sorotan, ini jadi seperti kasus pencurian ayam yang tertangkap basah karena kedapatan sedang memeluk ayamnya. Peran oknum pengusaha “nakal” dan oknum pemangku kebijakan yang tidak ber”etika” jelas ada, apalagi undang-undang hukum yang selama ini kita pakai adalah masih berpijak dari undang-undang hukum yang diciptakan oleh bangsa penjajah “kolonial” yang tujuannya untuk selalu melindungi semua kepentingan kolonial “seragam putih” pada waktu itu dan menganggap penduduk pribumi dari kepulauan nusantara sebagai “ekstrimis”.
Contoh kecil lainnya yang tidak terlihat dan disadari oleh para perancang kebijakan, namun sering ditemui oleh masyarakat kecil (bisa jadi ini ada juga di departemen lainnya) adalah lemahnya system perpajakan pada pungutan pajak kendaraan bermotor yang disetor tidak melalui pihak ketiga atau bank akan tetapi langsung ke kantor samsat setempat. Ini memungkinkan adanya praktek percaloan dan pengelembungan nilai nominal dengan dalih berbagai alasan dari oknum pegawai, setali tiga uang juga berlaku pada proses pelanggaran lalu-lintas (tilang) bagi anggota masyarakat yang tertangkap tangan melanggar peraturan lalu-lintas dijalan, pembayaran tilang tidak melalui pihak ketiga (bank), akan tetapi “seperti” sesuai dengan yang telah disepakati bersama ditempat kejadian atau sesuai dengan kebiasaan “harga pasaran” yang berlaku, jadi tidak ada rasa “malu” dari oknum penegak hukum, alih-alih minta uang dengan alasan si pengendara/pengemudi melanggar peraturan lalu-lintas.
Kebocoran anggaran Negara yang termasuk fenomenal adalah dalam hal berbagai pelaksanaan hasil dari proses “tender” dari suatu proyek, ini juga sempat diutarakan oleh mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Antasari Azhar. Maraknya korupsi pengadaan barang dan jasa, karena transparansi nilai proyek belum ada serta belum adanya penguatan pengawasan dari proyek-proyek yang ada.
Masyarakat umum pun sudah mahfum adanya, bahwasanya suatu pelaksanaan pekerjaan proyek hasil dari kata “tender” seperti sebuah permainan yang bisa dimainkan, sebuah perusahaan bukan hanya berbekal persyaratan sesuai ketentuan yang ada akan tetapi permainan “amplop", pengelembungan nilai dan pengurangan nilai bahan baku” adalah hal yang sudah biasa, yang mudah saja, seperti cerita hal sepele mengenai bagaiamana pengurusan sebuah paspor disuatu daerah yang pernah dilakukan oleh rekan saya, bahwasanya untuk mendapatkan pelayanan prima kita harus bisa membayar “lebih” sesuai dengan lamanya proses yang ditempuh, apalagi mengikuti sebuah proyek “tender” dari pemerintah katanya.
Dapat di bayangkan proyek-proyek hasil “tender” yang nilai dananya tidak sedikit dengan jumlah angka minimal “enam buah nol” dibelakangnya, dapat dimainkan sesuai kehendak perut masing-masing. Sekarang anda bisa meraba bagaimana dengan hasil akhir dari pelaksanaan proyek melalui mekanisme alih-alih “tender” tersebut, yang tentunya dari masing-masing pihak sudah mengharapkan kata “fee” (Proyek Wisma Atlet, Simulator SIM, Listrik Tenaga Surya, Impor Daging Sapi dan Hambalang contoh terbaru dan mudahnya). Bisa dibilang pada tingkatan hulu, seperti pengurusan berjuta ton beras, namun hasil akhir dilapangan (hilir) hanyalah sebuah pelaksanaan proyek dengan nilai hanya sekarung “tepung” beras.
Persoalan korupsi ini memang sangat fundamental, karena dapat menghancurkan sendi-sendi bangsa kita, betapa besar dampak korupsi dalam pembangunan bangsa, bangsa ini sudah begitu lama terpuruk dalam krisis ekonomi yang salah satu penyebabnya adalah penyakit korupsi yang sudah akut, menggurita bahkan telah mendarah daging. Na’udzubillah Mindzalik.
Uang negara yang seharusnya untuk kepentingan rakyat diselewengkan oleh para penentu kebijakan yang tidak bertanggungjawab (koruptor) untuk kepentingan pribadi, keluarga dan golongannya, jika terus dibiarkan dan tidak ada rasa kepedulian dari kita, setiap individu warga Negara maka bangsa ini di kemudian hari hanya tinggal menunggu kehancurannya hingga menjadi sebuah bangsa yang tidak bermartabat dengan kemiskinan dan krisis ekonominya yang membayangi.
Jadi yang perlu disadari bersama sampai detik ini adalah aspek moral dan skill atau keahlian dalam pengelolaan keuangan negara masih tetap menjadi persoalan yang mengganggu. Perbaikan aspek moral dan skill tidak mencatat kemajuan yang berarti. Padahal, sebagai sebuah masalah, kelemahan pada aspek moral dan skill pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara bukan masalah baru. Masalah ini sudah berusia puluhan tahun. Dari dulu sampai sekarang. Kalau kita menjadikan momentum reformasi sebagai titik awal perbaikan, praktis selama lebih dari beberapa dekade ini belum ada perbaikan yang berarti. Bahkan, boleh jadi, skala permasalahannya terus membesar, sejalan dengan sinyalemen tentang makin merajalelanya korupsi di negara ini. Jadi apa bedanya kita telah mencaci-maki rezim sebelumnya yang dianggap terkorup dan sejenisnya, kalo sekarang malah lebih mudah dilihat "modus" dan cara kerjanya oleh masyarakat umum.
Rakyat yang awam jadi tidak paham dan tidak mengerti, pengelola Negara ini adalah individu-individu pintar yang telah dipilih, tapi mengapa orang-orang pintar dan yang mempunyai kebijakan dalam birokrasi negara tidak bisa mencegah kebocoran itu. Apalagi, sumber kebocoran sudah diketahui. Strategi untuk mencegah kebocoran pun sudah berulang kali diterapkan. Tetapi, kebocoran anggaran terus saja terjadi di negara ini. Seperti masalah permanen keuangan negara.
Sangat wajar jika rakyat kini bertanya kapan kebocoran keuangan negara itu bisa dihentikan? Kalau sumber masalahnya adalah ketidakpatuhan terhadap peraturan yang berlaku, adakah sanksi bagi para birokrat yang tidak mengindahkan peraturan itu? Atau apa tidak bisa, misal ya… paling tidak di minimalisir. Apakah sanksinya harus menunggu produk hukum baru supaya berefek jera?, jadi kapan lagi?!. Apa benar ada sebuah pameo mengatakan bahwa, peraturan dibuat untuk dilanggar…?
Kalau masalah kebocoran anggaran terus terjadi, kita berhak curiga bahwa pemerintah (para abdi Negara) tidak bersungguh-sungguh mencegah kebocoran anggaran, dan sudah menganggap masalah ini sebagai hal yang biasa-biasa saja. Kalo begitu kata “good governance” yang sering dipresentasikan pada acara seminar, diklat sebagai tujuan dari system pengelolaan Negara, apa artinya bagi masyarakat. Apakah akhirnya tidak cukup beralasan untuk menilainya sebagai “bad governance”.
Walaupun Pemerintah sudah mulai mengimplementasi program remunerasi untuk mengakhiri moral hazard dalam pengelolaan keuangan negara. Kalau tahun-tahun mendatang kebocoran anggaran masih terjadi, program remunerasi itu sama saja dengan “menggarami laut”.
Dan sekiranya model pemungutan pajak yang sekarang ini telah menganut system self-assessment tidak menimbulkan perubahan yang berarti dan atau cenderung menguntungkan wajib pajak dan atau "oknum" pegawai pajak, khususnya yang sering terjadi pada wajib pajak "kelas kakap" yang berniat “nakal”, dengan memanfaaatkan para pegawai pajak maka Negara juga berhak untuk mempertimbangkan model lainnya seperti system official-assessment dalam pemungutan pajak negara, begitu juga mengenai besaran prosentase standar (dasar) dari jumlah pajak sebagai patokan pemungutan pajak Negara, sehingga dikemudian hari pendapatan dari berbagai macam pajak masyarakat dapat mengotimalkan kemakmuran seluruh masyarakat Indonesia.
Perlu kegigihan yang mendalam dari seluruh elemen bangsa untuk mengikis habis korupsi dengan niat yang tulus dari lubuk hati terdalam disamping menumbuhkan sifat tipis kulit muka “rasa malu” bagi kita semua, mengamalkan ajaran agama dengan baik dan benar merupakan jalan pasti, karena hanya mempelajari agama tanpa mengamalkannya tidak akan berpengaruh terhadap tindakan koruptor, karena siapapun ia jika telah melakukan korupsi berarti telah meninggalkan dan melepaskan ajaran agamanya, dalam ajaran Islam sangat keras mengatur tentang hukuman bagi para pencuri, termasuk pencuri uang negara (baca: koruptor) yang jika darah dagingnya tumbuh dari hasil tidak benar (korupsi) atau darah dagingnya tumbuh dari penghasilan yang haram misal: dari uang menang judi, maka darah dagingnya yang tumbuh itu pada hari pembalasan akan diluluhlantakkan oleh api neraka. Amat disayangkan jika pelaku korupsi banyak yang memberikan bantuan kepada panti asuhan, pondok pesantren atau lembaga kemanusiaan lainnya ternyata berpredikat sebagai haji atau individu yang di tokohkan, ternyata dana bantuannya adalah bagian dari hasil “mencuri uang rakyat”, fenomena ini semakin menambah keanehan-keanehan dan ketidak-cocokan antara apa yang diucapkan dan dilakukannya. Ada pula pejabat yang hari ini mengatakan “mari kita berantas korupsi” namun esoknya ia sendiri ditangkap karena melakukan korupsi, seakan-akan pemberantasan korupsi ini menjadi permainan retorika.
Dari rangkaian tulisan diatas, sebenarnya “inti” atau akar permasalahan dari perilaku korupsi adalah hal yang sangat “sepele” yakni, sifat diri kita yang tidak pernah puas terhadap apa yang kita miliki, bahkan akan merasa “gengsi” apabila rekan, tetangga arisan sebelah rumah memiliki benda yang jauh lebih baik dari yang kita miliki. Tentu persoalan ini terlalu “klise” rasanya, tapi coba sejenak kita introspeksi, kita kembalikan kepada diri kita masing-masing, siapa yang tidak mempunyai keinginan hidup lebih baik dari sekarang, sukses dalam karier atau kehidupan, tentu saya katakan bahwa pasti semua orang menginginkannya, dan wujud nyata dari kesuksesan seseorang adalah sudah pasti yang dilihat pertama adalah “nilai” dari materi yang dimilikinya tersebut, namun disayangkan, cara yang ditempuh kebanyakan orang maunya cepat terlaksana atau “instan”. (“jaman sekarang, kalo proses lama Bung… kenapa mesti susah-susah kalo ada yang mudah, jaman sekarang ko dibikin susah…)
Pendidikan berkarakter pada generasi anak bangsa perlu mendapat perhatian lebih, karena dengan pendidikan yang baik, khususnya dimulai dari lingkungan keluarga diri kita sendiri, maka dikemudian hari seseorang tidak akan melakukan hal-hal yang dianggap kurang sopan apalagi melanggar norma-norma agama, dan ini sudah naluri bagi makhluk bernama manusia yang telah diberi kesempurnaan olehNYA dengan dikaruniakannya akal dan fikiran.
Semakin banyaknya pelaku korupsi di negeri ini, menunjukan bahwa bidang pendidikan telah mengalami kegagalan secara rohani dan kearifan lokal, baik pendidikan formal maupun non formal. Padahal dalam bidang didik-mendidik, pendidikan diperkenalkan pertama kalinya pada saat manusia hadir menjadi anggota baru dari sebuah keluarga kecil. Semestinya dan saya yakin bahwa, penyusunan program-program pendidikan oleh Negara lebih menitik-beratkan aspek pendekatan agama, moral/kearifan lokal serta penerapan dari materi-materi pendidikan bidang teknologi/saint pada aspek nyata dilapangan daripada sisi kemodernan fisik serta program yang memilah-milah masyarakat menjadi beberapa “kasta” dalam memperoleh haknya sebagai warga Negara. Ini perlu dan harusnya dicermati, baik oleh pemerintah sebagai pemilik kebijakan, para wakil rakyat, pemerhati pendidikan serta pada setiap orang tua dan para calon Ayah dan Ibu, karena ini merupakan titik awal dari sebuah pemahaman yang dimiliki oleh setiap insan pada generasi di tiap-tiap bangsa. Kalo memang... Negara ini mempunyai niat mencerdaskan generasi penerus bangsa.
Bagaimana pendapat anda…?
Sehubungan dengan sikap dan sifat untuk menghindarkan diri dari perilaku "memalukan" dari kata "korup", berikut ini ada sebuah kata yang tidak asing lagi pada telinga anda:
"Dimana ada seorang pria hebat sebagai pemimpin, pasti ada seorang pendamping (wanita) berhati emas disisinya".
Oleh karena itu marilah kita bersama-sama kita saling introspeksi diri karena demikianlah, semua makhluk telah mempunyai peran dan posisinya masing-masing, oleh karena itu kembalilah kepada fitrah kita serta kepada model dan gaya pendidikan yang sesuai logika kita sebagai insan mulia yang mempunyai harkat dan bermartabat.
Berikut saya cuplikan satu contoh komunikasi dalam sebuah keluarga dengan permasalahan yang dihadapi, yakni pada kelurga Bapak Hoegeng Imam Santoso (mantan Kapolri era 60an) dengan sang istri (Ibu Merry). Semoga segala amal ibadahnya diterima disisiNYA. Amien…
“Begitu dipensiunkan, Beliau kemudian mengabarkan pada istrinya. Dan istrinya hanya berkomentar, selesaikan tugas dengan kejujuran. Karena kita masih bisa makan nasi dengan garam. Begitu jawaban sang istri dengan santainya...”
Sangat sederhana...
Bagaimana dengan “ratu” keluarga anda, sang pujaan hati dalam menyikapi suka dan duka perjalanan hidup ini…?
Sekali lagi marilah kita memulai memperkuat kembali proyek pemberantasan korupsi ini melalui pendidikan moralitas anti korupsi dari tingkat akar rumput (seluruh lapisan masyarakat dari berbagai aspek kehidupan, buruh, tani, nelayan, dan pedagang) dan yang pertama-tama harus menjadi contoh adalah para pejabat negara beserta para pemimpin kegiatan hendaklah tidak menerima setiap pemberian atau hibah yang tidak jelas peruntukannya, profesionalisme perlu dikedepankan juga para pengusaha, jangan “nakal” dengan memanfaatkan kelemahan pada individu-individu para abdi Negara (seperti Gubernur, Bupati, para staf PNS, aparat penegak hukum serta pegawai pajak, pegawai akuntan yang mengurusi kewajiban-kewajiban pajaknya). Pandangan etik normatif agama melalui pendidikan formal maupun non formal demi pemerintahan yang baik (good governence) perlu terus diagendakan dan dilaksanakan dengan maksimal. Dengan cara demikian Insya Allah, korupsi perlahan-lahan akan terkikis dari negeri tercinta ini.
Demikianlah ringkasan cerita dibalik "kata" kebocoran anggaran yang ada dinegara kita tercinta, Indonesia.
Semoga lebih bermanfaat
Salam hangat.
0 komentar:
Post a Comment