Sebenarnya kisah nyata ini telah banyak dipostingkan di beberapa milis blog dan situs para rekan-rekan blogger, tapi karena saya pun merasa ingin berbagi untuk anda, yang mungkin belum sempat meluangkan waktunya untuk mengetahi kisah nyata ini benar-benar ada dan pernah terjadi di Negara bernama Indonesia, maka sayapun mencoba menghadirkan kembali kisah nyata ini. Semoga menjadi suri tauladan bagi kita bersama.
Kalau dipikir (kalau kita masih mau berfikir…) kayaknya dan sepertinya ga mungkin di Negara kita Indonesia pernah ada dan sekarang ada generasi penerusnya, kejadian yang begitu mengagumkan terjadi di tengah-tengah bangsa yang telah banyak dininabobokan oleh sifat “adigang-adigung-adiguna” semenjak kemerdekaan dari kepemilikan materi sebagai tujuan akhir. Apakah ini efek dari banyaknya para pendatang yang mayoritas pedagang yang hijrah ke negeri ini, entahlah saya juga tidak mengetahui secara pastinya, namun kisah nyata ini adalah merupakan kisah nyata yang diceritakan kembali oleh para anak cucu dari seorang penegak peraturan yang bernama Bapak Royadin kelahiran daerah Pekalongan.
Almarhum Gus Dur…(semoga Alloh SWT senantiasa mengaruniakan keluasan rahmat kepada beliau, Bapak Pluralisme Indonesia) pernah mengungkapkan kata-kata yang bernada canda tawa “Hanya ada tiga polisi yang jujur di Indonesia yaitu, polisi tidur, patung polisi dan Hoegeng...” jadi dengan adanya kisah nyata ini berarti ada penambahan jumlah polisi jujur di Indonesia, yakni Hoegeng, Royadin, patung polisi dan polisi tidur…
Berikut petikan kisah nyata "Ketika Sri Sultan HB IX terkena tilang di Kota Semarang" yang saya dapatkan dari sebuah milis blogger kenalan, selamat menyimak:
Kota Semarang di pertengahan tahun 1960an menyambut fajar dengan kabut tipis, pukul setengah enam pagi polisi muda Royadin yang belum genap seminggu mendapatkan kenaikan pangkat dari agen polisi kepala menjadi Brigadir Polisi sudah berdiri di tepi posnya di kawasan Soko (pos lantas yang seingatnya kalau tidak di pertigaan depan Stasiun
Poncol Semarang, di Simpang Lima, ataupun daerah Jalan MT Haryono) dengan gagahnya. Kudapan nasi megono khas Semarang pagi itu menyegarkan tubuhnya yang gagah berbalut seragam polisi dengan pangkat Brigadir.
Becak dan delman amat dominan masa itu, persimpangan Soko (pos lantas yang seingatnya kalau tidak di pertigaan depan Stasiun Poncol Semarang, di Simpang Lima, ataupun daerah Jalan MT Haryono) mulai riuh dengan bunyi kalung kuda yang terangguk-angguk mengikuti ayunan cemeti sang kusir. Dari arah selatan dan membelok ke barat sebuah sedan hitam ber plat AB melaju dari arah yang berlawanan dengan arus becak dan delman.
Brigadir Royadin memandang dari kejauhan, sementara sedan hitam itu melaju perlahan menuju kearahnya. Dengan sigap ia menyeberang jalan ditepi posnya, ayunan tangan kedepan dengan posisi membentuk sudut Sembilan puluh derajat menghentikan laju sedan hitam itu. Sebuah sedan tahun lima puluhan yang amat jarang berlalu di jalanan kota Semarang berhenti dihadapannya.
Saat mobil menepi, Brigadir Royadin menghampiri sisi kanan pengemudi dan memberi hormat.
“Selamat pagi!” Brigadir Royadin memberi hormat dengan sikap sempurna. “Boleh ditunjukan rebuwes!” Ia meminta surat surat mobil berikut surat ijin mengemudi kepada lelaki di balik kaca, jaman itu surat mobil masih diistilahkan rebuwes.
Perlahan, pria berusia sekitar setengah abad menurunkan kaca samping secara penuh.
“Ada apa pak polisi ?” Tanya pria itu. Brigadir Royadin tersentak kaget, ia mengenali siapa pria itu. “Ya Allah… Sinuwun!” kejutnya dalam hati. Gugup bukan main namun itu hanya berlangsung sedetik, naluri polisinya tetap menopang tubuh gagahnya dalam sikap sempurna.
“Bapak melangar verbodden, tidak boleh lewat sini, ini satu arah!” Ia memandangi pria itu yang tak lain adalah Sultan Jogja, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dirinya tak habis pikir, orang sebesar Sultan HB IX mengendarai sendiri mobilnya dari jogja ke Semarang yang jauhnya cukup lumayan, entah tujuannya kemana.
Setelah melihat rebuwes, Brigadir Royadin mempersilahkan Sri Sultan untuk mengecek tanda larangan verboden di ujung jalan, namun Sultan menolak.
“Ya.. saya salah, kamu benar, saya pasti salah! ”Sinuwun turun dari sedannya dan menghampiri Brigadir Royadin yang tetap menggengam rebuwes tanpa tahu harus berbuat apa.
“Jadi…?” Sinuwun bertanya, pertanyaan yang singkat namun sulit bagi Brigadir Royadin menjawabnya.
“Em…emm... Bapak saya tilang, mohon maaf!” Brigadir Royadin heran, Sinuwun tak kunjung menggunakan kekuasaannya untuk paling tidak bernegosiasi dengannya, jangankan begitu, mengenalkan dirinya sebagai pejabat Negara dan Rajapun beliau tidak melakukannya.
“Baik…Brigadir, kamu buatkan surat itu, nanti saya ikuti aturannya, saya harus segera ke Tegal!” Sinuwun meminta Brigadir Royadin untuk segera membuatkan surat tilang.
Dengan tangan bergetar ia membuatkan surat tilang, ingin rasanya tidak memberikan surat itu tapi tidak tahu kenapa ia sebagai polisi tidak boleh memandang beda pelanggar kesalahan yang terjadi di depan hidungnya. Yang paling membuatnya sedikit tenang adalah tidak sepatah katapun yang keluar dari mulut Sinuwun menyebutkan bahwa dia berhak mendapatkan dispensasi. “Sungguh orang yang besar…!” begitu gumamnya.
Surat tilang berpindah tangan, rebuwes saat itu dalam genggamannya dan ia menghormat pada Sinuwun sebelum sinuwun kembali memacu sedan hitamnya menuju ke arah barat, Tegal.
Beberapa menit Sinuwun melintas di depan stasiun Semarang, Brigadir Royadin menyadari kebodohannya, kekakuannya dan segala macam pikiran berkecamuk. Ingin ia memacu sepeda ontelnya mengejar sedan hitam itu tapi manalah mungkin. Nasi sudah menjadi bubur dan ketetapan hatinya untuk tetap menegakkan peraturan pada siapapun berhasil menghibur dirinya.
Saat aplusan di sore hari dan kembali ke markas, Ia menyerahkan rebuwes kepada petugas jaga untuk diproses hukum lebih lanjut, lalu kembali kerumah dengan sepeda abu-abu tuanya.
Saat apel pagi esok harinya, suara amarah meledak di markas polisi Semarang, nama Royadin diteriakkan berkali kali dari ruang Komisaris. Beberapa polisi tergopoh-gopoh menghampirinya dan memintanya menghadap Komisaris Polisi selaku Kepala Kantor.
“Royadin, apa yang kamu lakukan... sa’enake dewe... ora mikir... iki sing mbok tangkep sopo heh… ngawur... ngawur!”
Komisaris mengumpat dalam bahasa jawa, ditangannya rebuwes milik Sinuwun pindah dari telapak kanan kekiri bolak-balik.
“Sekarang aku mau tanya, kenapa kamu tidak lepas saja Sinuwun... biarkan lewat, wong kamu tahu siapa dia, ngerti nggak kowe sopo Sinuwun?” Komisaris tak menurunkan nada bicaranya.
“Siap Pak, beliau tidak bilang beliau itu siapa, beliau ngaku salah... dan memang salah!” Brigadir Royadin menjawab tegas.
“Ya tapi kan kamu mestinya ngerti siapa dia... ojo kaku-kaku, kok malah mbok tilang... ngawur... jan ngawur… Ini bisa panjang, bisa sampai Menteri!” Derai Komisaris. Saat itu Kepala Polisi dijabat oleh Menteri Kepolisian Negara.
Brigadir Royadin pasrah, apapun yang dia lakukan dasarnya adalah posisinya sebagai polisi, yang disumpah untuk menegakkan peraturan pada siapa saja... memang Koppeg (keras kepala) kedengarannya. (mungkin apabila dalam institusi kepolisian, personelnya bisa 75% ketegasannya seperti ini, lembaga bernama KPK ga didirikan di negeri ini bro...)
Kepala polisi Semarang berusaha mencari tahu dimana gerangan Sinuwun, masih di Tegalkah atau tempat lain? Tujuannya cuma satu, mengembalikan rebuwes. Namun tidak seperti saat ini yang demikian mudahnya bertukar kabar, keberadaan Sinuwun tak kunjung diketahui hingga beberapa hari. Pada akhirnya Kepala Polisi Semarang mengutus beberapa petugas ke Jogja untuk mengembalikan rebuwes tanpa mengikut sertakan Brigadir Royadin.
Usai mendapat marah, Brigadir Royadin bertugas seperti biasa, satu minggu setelah kejadian penilangan, banyak teman-temannya yang mentertawakan bahkan ada isu yang ia dengar dirinya akan dimutasi ke pinggiran kota Semarang Selatan.
Suatu sore, saat belum habis jam dinas, seorang kurir datang menghampirinya di persimpangan Soko (pos lantas yang seingatnya kalau tidak di pertigaan depan Stasiun Poncol Semarang, di Simpang Lima, ataupun daerah Jalan MT Haryono) yang memintanya untuk segera kembali ke kantor. Sesampai di kantor beberapa polisi menggiringnya ke ruang Komisaris yang saat itu tengah menggengam selembar surat.
“Royadin…. minggu depan kamu diminta pindah!” lemas tubuh Royadin, ia membayangkan harus menempuh jalan menanjak dipinggir kota Semarang setiap hari, karena mutasi ini, karena ketegasan sikapnya dipersimpangan soko.
“Siap Pak!” Royadin menjawab datar.
“Bersama keluargamu semua, dibawa!” pernyataan Komisaris mengejutkan, untuk apa bawa keluarga ke tepi Semarang Selatan, ini hanya merepotkan diri saja.
“Saya sanggup setiap hari pakai sepeda Pak Komandan, semua keluarga biar tetap di rumah sekarang!” Brigadir Royadin menawar.
“Ngawur… Kamu sanggup bersepeda Semarang-Jogja? pindahmu itu ke Jogja bukan disini, Sinuwun yang minta kamu pindah tugas kesana, pangkatmu mau dinaikkan satu tingkat…!”
Cetus Pak Komisaris, disodorkan surat yang ada digengamannya kepada Brigadir Royadin.
Surat itu berisi permintaan bertuliskan tangan yang intinya: “Mohon dipindahkan Brigadir Royadin ke Jogja, sebagai polisi yang tegas saya selaku pemimpin Jogjakarta akan menempatkannya di wilayah Jogjakarta bersama keluarganya dengan meminta kepolisian untuk menaikkan pangkatnya satu tingkat. ”ditanda tangani Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Tangan Brigadir Royadin bergetar, namun ia segera menemukan jawabannya. Ia tak sangup menolak permintaan orang besar seperti Sultan HB IX, namun dia juga harus mempertimbangkan seluruh hidupnya kelak di kota kelahirannya, Pekalongan. Ia cinta Pekalongan dan tak ingin meninggalkan kota itu teramat jauh.
“Mohon Bapak sampaikan ke Sinuwun, saya berterima kasih, saya tidak bisa pindah sangat jauh dari Pekalongan, tanah kelahiran saya, rumah saya. Sampaikan hormat saya pada beliau, dan sampaikan permintaan maaf saya pada beliau atas kelancangan saya!” Brigadir Royadin bergetar, ia tak memahami betapa luasnya hati Sinuwun Sultan HB IX, amarah hanya diperolehnya dari Sang Komisaris namun penghargaan tinggi justru datang dari orang yang menjadi korban ketegasannya.
July 2010, saat saya mendengar kepergian Purnawirawan Polisi Royadin kepada Sang Khalik, saya tak memilki waktu cukup untuk menghantar kepergiannya. Suaranya yang lirih saat mendekati akhir hayat masih saja mengiangkan cerita kebanggaannya ini pada semua sanak family yang berkumpul. Ia pergi meninggalkan kesederhanaan perilaku dan prinsip kepada keturunannya, sekaligus kepada lingkungan tempat beliau bersosialisasi. Idealismenya di kepolisian Pekalongan tetap ia jaga sampai akhir masa baktinya, pangkatnya tak banyak bergeser terbelenggu idealisme yang selalu dipegangnya erat-erat yaitu ketegasan dan kejujuran.
Hormat amat sangat kepadamu Pak Royadin, Sang Polisi sejati. Dan juga kepada pahlawan Bangsa Sultan Hamengkubuwono IX yang keluasan hatinya melebihi wilayah negeri ini dari sabang sampai merauke.
Demikian kisah nyata seorang ayah yang humoris kepada anak cucunya, bercerita baru menangkap "penggede" (orang besar) yaitu Sri Sultan HB IX di Semarang. Disarikan dari Bp Aryadi Noersaid, Depok June 25′ 2011, putera dari Bapak Royadin dari Kota Batik Pekalongan.
Dengan alur kisah nyata diatas, bagaimana pendapat anda dengan para pejabat negara yang ada sekarang di negeri ini, termasuk para penegak keadilan....?
Hanya anda sendiri yang bisa mengartikan.
Semoga lebih bermanfaat…
Salam hangat.
0 komentar:
Post a Comment