Selamat atas tersusun'y dewan komisaris-direksi NKRI Holding....

728x90 AdSpace

Kolamz Post
Theme images by Colonel. Powered by Blogger.
Thursday 17 January 2013

Solusi Sederhana Penaggulangan Banjir di Ibukota Jakarta

Ke Jakarta…aku kan kembali…walaupun apa yang kan terjadi… 

Demikianlah penggalan lirik lagu gubahan dari Koes Ploes bersaudara “Kembali ke Jakarta” yang populer pada era 70-80an. 

Kota Jakarta merupakan salah satu kota “metropolis” dunia yang sangat diperhitungkan perkembangannya, walaupun memang… untuk penataan awal dari kota Jakarta sebagai Ibukota Negara sekaligus sebagai pusat perdagangan merupakan bentuk pencampuran dari dua kegiatan yang berbeda, namun toh akhirnya sampai saat ini pemisahan Ibukota Negara dengan pusat bisnis seperti yang telah ada pada negara-negara maju dengan pemindahan Ibukota Negara Jakarta yang telah berulang kali menjadi wacana para founding father, punggawa, teknokrat negara bernama “Indonesia” akan tetapi sampai abad ini, wacana tersebut hanyalah sebuah wacana. 

Dampak negative yang ditimbulkan akibat penggabungan dua kegiatan dalam satu wilayah, jelas lebih banyak daripada dampak positifnya, seperti tingkat kemacetan lalu lintas yang tinggi, perpindahan penduduk yang memungkinkan kurang terkontrol, tata kelola lingkungan yang kurang terjamin seperti masih adanya daerah-daerah yang standar pengelolaan lingkungannya masih rendah atau ”kumuh”, di samping itu kota Jakarta yang merupakan daerah dataran rendah dari wilayah-wilayah sekitarnya maka ketika musim hujan tiba, di beberapa titik dari kota Jakarta serta merta menjadi lautan air yang tidak bersahabat atau kita sering mendengarnya dengan kata “banjir di Jakarta”

Sangat disayangkan, kota yang di gadang-gadang menjadi salah satu kota metropolis dan “pintu” dari kunjungan wisatawan mancanegara ke berbagai wilayah “ibu pertiwi” mempunyai ciri khas dengan kebiasaan istilah kata “banjir”

Beberapa metode dari beberapa generasi kepemimpinan anak bangsa yang mencoba membenahi Jakarta ternyata belum mampu membuat Ibukota tercinta “Jakarta” ini, bertekuk lutut dengan segala permasalahannya. 

Pendapat saya, sebenarnya dan andai saja, para calon pemimpin bangsa lebih banyak bertafakur, mendengar, mencerna jeritan alam yang sedang menangis, maka keniscayaan segala permasalahan dapat diselesaikan dengan baik mengingat “kita adalah satu dan merupakan satu bangsa yang besar”. 

Isi dari tulisan ini pernah saya sampaikan kepada pembuat kebijakan yang sekarang ini dalam sebuah pesan layanan pribadi (kotak suara), entah bagaimana pendapatnya, saya tidak berharap juga, intinya saya sebagai bagian dari masyarakat Negara Indonesia telah berupaya untuk menginformasikan aspirasi kecil ini yang sebenarnya bisa digabungkan dengan rencana pembangunan terowongan multifungsi atau “deep tunnel” oleh Pemkot DKI sebagai terobosan mengatasi banjir dan mengurai kemacetan di dalam ibukota. 

Yang perlu disadari pertama kali dalam pembangunan Bangsa dan Negara adalah bahwa Negara Indonesia merupakan negara multikultur oleh karena itu untuk mendukung semua lini kemajuan pembangunan bangsa, hendaknya kita berpegang teguh dengan mengutamakan kepentingan bersama dengan mengesampingkan kepentingan golongan dan pribadi masing-masing. 

Saya pribadi mempunyai pedoman bahwa kita harus lebih banyak mendengar daripada berbicara, oleh karena itu kebaikan dan kemajuan seseorang akan selalu saya “cerna” demi kebaikan dan kemajuan dalam hidup. Tulisan ini juga sebagai bentuk gundah gulana yang pasti juga di rasakan oleh semua warga Negara Indonesia dari Sabang sampai Merauke apalagi ini menyakut nama baik dan citra Negara tercinta “Indonesia”

Itulah sekelumit cerita banjir yang sering "sowan" ke Ibukota Jakarta… yang sudah dikenal oleh masyarakat luas di negeri ini bahkan mungkin hingga mancanegara, walaupun dari anda mungkin belum pernah datang ke Ibukota Jakarta, akan tetapi berita banjir di Jakarta sudah merupakan langganan berita yang dapat di dengar dan dilihat, baik melalui media cetak maupun media electronic pada setiap musim penghujan tiba di kota Jakarta dan ini terjadi berulang-ulang pada tiap-tiap pemimpin yang berkuasa. 

Banjir yang melanda Jakarta memang sudah tidak asing lagi bagi kita masyarakat Indonesia dan masyarakat Jakarta tak terkecuali, akan tetapi apakah anda pernah mendengar bahwa sebenarnya ada solusi yang sangat sederhana untuk mengurai permasalahan banjir di Jakarta, kalau belum berikut saya sampaikan salah satu ide anak bangsa yang mempunyai sebuah cara atau solusi bagaimana mengatasi masalah banjir yang sering “dolan” bertamasya ke Ibukota Jakarta tersebut. 

Apakah anda pernah mendengar nama “Al Zaytun” atau mungkin nama tokoh pendirinya “Syakh AS Panji Gumilang” dialah tokoh yang saya maksud, ini berarti, bukan saya mempunyai paham yang sama, karena saya pribadi merupakan type orang yang selalu melihat sisi positif dari orang lain sebagai upaya dalam pengembangan diri. 

Tuhan menciptakan makhluk bernama manusia itu pada dasarnya sama, yang membedakan hanyalah nilai ketaatan kita kepadaNYA dan dalam hubungannya dengan sesama ummat manusia, saya pribadi hanya melihat perbedaan hidup tersebut seperti kata pepatah “beda cara menikmati secangkir teh” saja, dan ini merupakan sebuah rahmat yang menjadikan dunia ini penuh dengan suasana hidup, seperti ada rasa suka ada yang duka, ada yang tinggi ada yang rendah, ada suasana tawa dan ada suasana haru dan tangis. Itulah dunia bila anda ingin menyelami isinya…. 

Ok kembali kepada cerita kembali ke Jakarta diatas, berikut saya petikan salah satu pendapat dari tokoh anak bangsa tadi. 

Syakh AS Panji Gumilang, pemimpin Kampus Al-Zaytun dari Kota Indramayu, memiliki mimpi yang besar tentang pengendalian air di Ibukota Negara, dengan berpijak pada proyek Waduk Windu Kencana yang sedang dikerjakan Al-Zaytun siang malam. Ia mengambil contoh pembangunan bendungan Azwan, di Mesir, yang berhasil mengendalikan kota Kairo dari ancaman air bah Sungai Nil dan serangan buaya-buayanya. 

Ini adalah petikan wawancara dari majalah Lentera, 6 tahun yang lalu, mengenai mimpi pendiri Al Zaytun tentang Jakarta. Pewawancara adalah Robin Simanullang dan Haposan Tampubolon serta fotografer Wilson Edward.

Ibukota Negara selalu mengalami banjir berulang-ulang. Barangkali, Syakh bisa memberikan sumbang saran cara terbaik mengatasinya?


Kalau sumbang saran itu terlalu besar. Tapi, ada mimpi untuk Jakarta. Jakarta itu dikepung dan dialiri oleh berbelas-belas sungai yang besar maupun kecil. Dan selama itu, sungai pasti dilalui air. Kalau tidak ter-manage, ya… menjadi melimpah dan bukan rizki. 

Begini, misalkan kalau kita ambil titik, Jakarta dari Monas, sampai ke Cibinong, atau lebih sedikit, kemudian kita tarik dari Cibinong, atau lebih ke selatan sedikit kira-kira 60 kilometer dari titik Monas, di sana kita membuat sungai baru atau kanal. 

Kanalnya jangan terlalu kecil, katakan 100 meter lebar, kemudian di kanan kiri ada 50 meter yang nantinya menjadi jalan raya di tebing atau bantaran sungai. Kemudian kedalaman disesuaikan dengan kontur tanahnya. 

Kanal membentang ke barat, sampai lebih barat dari kota Tanggerang. Katakanlah kalau diukur sampai ke Kresek, ditarik garis lurus mungkin sampai Cikupa. Itu kita buat lagi (kanal) yang sama 100 (meter), kanan-kiri ada jalan 50-50 meter. 

Kemudian ke timur, kanal sampai ke Karawang yang lurusannya nanti Rengas-dengklok. Keluar dari sana ada yang namanya Tanjung Jaya. Kalau di Tanggerang sana ada Tanjung Kait. Kalau itu dibuat maka terjadi, Ibukota Jakarta itu luasannya dari titik Monas 60 kilometer ke selatan. Kemudian dari titik Monas ke utara 30 atau kurang lebih 20 kilometer. Berarti hampir 80 atau 100 kilometer. 

Kemudian timur-barat (dari Monas) sampai ke lurusan Kresek sana 60 kilometer, dari Kresek itu mungkin juga sampai lurusan Batu Jaya 60. Berarti nanti akan ada sungai “letter U“ 60-60-60-60, yang totalnya menjadi 240 kilometer mengitari Ibukota. 

Kitaran atau garis yang membentuk “Letter U“ sebagai "sungai buatan" sudah pasti mencegat perjalanan aliran air yang jumlahnya antara 13-15 sungai itu. Dan yang terkenal kalau di tengah Ciliwung, di timur Citarum, dan di barat Cisadane sungai raksasa semua. Itu sudah terbendung dulu. Bukan berarti tidak boleh mengalir (tapi) ada paras kontrol. 

Dengan adanya yang 240 kilomter ada penanggulangan lalu lintas. Ada orang kurang senang jalan di darat, dia jalan di air. Sebab ada jalan yang mendukung kanan-kiri tadi, 240 kilo kali dua. 

Sudah, manfaatnya besar bisa untuk rekreasi, bisa menghasilkan uang, secara estetika indah, arsitekturnya mendukung. 

Mengapa sungai Nil bisa seperti sekarang ini, dan kita tidak bisa buat? Dulu sungai Nil kalau banjir bukan banjir air tetapi banjir buaya. Manusia Kairo banyak yang mati bukan tenggelam tapi dimakan buaya. Kalau Jakarta, banyak yang sengsara karena air. 

Kemudian (sungai-sungai) yang masuk dalam kota dinormalisir. Tidak usah mengusir penduduk tetap saja di situ. Perumahannya tidak boleh horisontal mulailah vertikal. 

Sehingga di sisi-sisi sungai ada lahan yang luas. Katakan, Ciliwung yang dekat Tebet, nanti di pengkolannya, kampungnya masih Kampung Tebet, Kelurahannya masih Kelurahan Tebet, kecamatannya masih Kecamatan Tebet. Mereka tidak usah diusir karena sumber budaya ada di kampung-kampung itu. 

Baru dibuat perumahan ke atas. Ada 1.000 kepala keluarga (KK) dalam satu rumah vertikal yang tadinya mendiami 200 meter lahan. Maka lahan yang ditinggalkan, 200 meter kali 1.000 KK sama dengan 200.000 meter persegi itu dijadikan halaman, tempat sekolah, tempat olah raga, tempat rekreasi, tempat penghijauan lingkungan. Rumah cukup naik ke atas untuk 1.000 KK. Untuk pengontrolan kependudukan lebih aman dan lebih terkontrol. 

Jadi andainya seperti itu maka di dalam kota ada pilihan jalan. Ah, saya mau lewat Ciliwung saja, oh, saya mau lewat Ciliwung, pinggiran kanan atau kiri. Maka tidak ada kesulitan jalan raya. Jadi bukan karena banyaknya kendaraan Jakarta macet, tapi manajemennya yang kurang tertata. 

“Oh, biayanya mahal“ (kata orang), oh memang mahal. Tapi lebih mahal jiwa satu orang yang terendam air daripada kita menata seperti itu. 

Katakan, “diperlukan puluhan miliar dollar“, oh sekali hutang saja 40 miliar (dollar), nah mengapa bukan itu. “Oh, darimana dananya“, oang Indonesia kaya. Karena jumlah penduduknya 240 juta. Ambil 10 persen yang punya uang diam, masing-masing 100 ribu dollar. Atau juallah obligasi kepada anak-anak bangsa jangan ke luar negeri. Jangan pula mencetak obligasi yang cincai-cincai satu dollar dua dollar. Paling murah 1.000 dollar satu surat berharga, banyak orang yang bisa membelinya. 

Lha, sejumlah itu apakah mungkin mengumpulkan 100 milar dollar AS. Sangat mungkin. Bisakah kembali dengan tempo cepat? Sangat bisa, mengapa tidak? Sebab air berjalan. Ada transportasi air, ada wisata air, kemudian ada ketenangan jiwa. Terjadilah Ibukota menjadi tenang. 

Kemudian tidak usah digembar-gemborkan istilah megapolitan dan sebagainya. Setelah dibuat seperti itu maka diputuskanlah oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Ibukota Negara Indonesia adalah Jakarta yang dibatasi oleh sungai baru “Letter U“. Selesai. Rakyat tidak berdebat. 

Gubenur Jawa Barat tidak akan melawan, Gubernur Banten tidak akan melawan. Gubernur Jakarta tidak akan bangga la wong keputusan, menjadilah Ibukota Negara Republik Indonesia. Jakarta perbatasannya sungai yang baru dibuat, katakanlah atau misalnya diberi nama “Tirta Sangga Jaya“ atau “Air Yang Menyangga Jakarta Raya“

Tirta Sangga Jaya bermanfaat untuk Jakarta? 

Bermanfaat sebagai Ibukota Negara. 

Hiterland-nya turut memperoleh manfaat, untuk wisata misalnya? 

Untuk wisata, kemudian air untuk pertanian diambil oleh Jawa Barat dan oleh Banten. Kan, asyik. Di sungai Nil ada wisata air tengah malam sambil menari-nari, di sungai Tirta Sangga Jaya pun bisa nanti keliling. 

Sungai Nil Cuma beberapa kilo, ini 240 kilometer. Sedangkan, satu malam Cuma 12 jam nggak cukup, “ah, besok lagi“, datang lagi, karcis lagi, masuk retribusi. 

Nanti orang tidak hanya datang ke Bali. Ke Bali suatu waktu tapi Tirta Sangga Jaya tidak boleh dilupakan, kan begitu nanti. Kemana wisatanya, “Ke Tirta Sangga Jaya“. 

Pendanaan, apakah lewat APBN?

Ya...APBN dong. Kalalu nanti non-budgeter jadi rusak negara. Ditetapkan bahwa akan membuat obligasi jumlahnya sekian, masukkan anggaran belanja negara dan pendapatan, dikontrol, kalau tidak nanti ko and rup and si. Dan untuk pembuatan itu jangan ditenderkan. Buatkan keputusan tertentu ditunjuk ataupun dilaksanakan oleh negara, dikontrol oleh masyarakat, negara luar pun menghormati, “oh, putusan Majelis.“ 

Perlu dibentuk semacam Otorita? 

Ya, otorita khusus supaya ter-manage apa saja bentuknya. Integrated nanti dengan hiterland-nya. Dilindungi oleh payung yang sangat kuat yaitu keputusan Majelis sebagai keputusan politik. Kalau tidak, saling berkuasa nanti. Kota Jakarta, “Oh, ini milik saya“. Kata Jawa Barat, “Milik Saya“, kata Banten “Milik saya“. 

Berapa lama mewujudkannya sejak pelaksanaan? 

Ah, kalau negara satu dua tahun selesai asal pendekatannya bagus. Sekarang rakyat tidak mau karena mereka memang tinggal di situ. Nanti, mereka tetap tinggal di situ. 

Dikasih ganti untung? 

Bukan dikasih ganti, disediakan. Rumahmu tetap ini, tapi dinaikkan, lebih bagus, bisa tahu bulan lebih dekat. Kalau dari bumi kan jauh. Mungkin tingkat 30, “Lebih dekat kamu ke bulan“. Jadi kalau angin lebih dekat ke angin yang lebih segar. 

Pembebasan lahannya mungkin yang sulit? 

Jangan pernah dibebaskan lahan itu. Kalau dibebaskan tidak mau orang, bertahan. Ini dibuat sungai, rumahmu tetap disini, lebih bagus, kampungmu tetap di sini, karena, Indonesia tanah airku/tanah tumpah darahku. (Syakh nyanyi dengan suara merdu). 

Lah tanah tumpah darahnya dibuang, nanti ditanya dimana, “itu sungai“. Tanah tumpah darahku di kampung ini, bercerita, dulu kampung saya di sini, yang sekarang dibuat sungai. “Lho, kok namanya tetap“. Iya, namanya tetap, nggak boleh dirubah. 

Jadi, kalau dia orang di Tebet ya tetap di Tebet. Cuma dulu Tebetnya sini, sekarang Tebet sini (rumah vertikal). Jadi KTPnya enak. Ngontrolnya enak. Yang punya KTP jelas. Yang tidak punya KTP-pun jelas. Budaya bisa ditata dengan baik. Bhineka Tunggal Ika bisa dimasukkan di situ. Jadi bukan hanya simbol, tapi ilmunya dan amalnya. 

Bagaimana dengan Banjir Kanal Timur atau Kanal Barat yang sedang dikerjakan? 

Itu tidak memadai, sama saja dengan ini ada kudis, tet, dipencet terus keluar, pindah ke sini, tet, keluar. Kalau ini nggak. Kasih jalan air, “kamu“ lewat sini. Oh terlalu melimpah, buka sedikit pintunya masuk, dalam kota. Kotanya sudah lurus, air sungainya bisa disambung dengan sungai Cikeas, bisa disambug dengan sungai Ciliwung, interdependen. Nanti dibuat interdependen. Kan asyik dalam kota ada perahu, ada boat seperti di negara-negara besar lainnya. 

Mimpi yang sangat orisinil dari Syakh? 

Ya, Tidak tahu, namanya juga mimpi. 

Konsep Belanda dulu, masih konsep feodal Banjir Kanal Barat di bangun untuk melindungi Menteng saja? 

Karena dulu batasannya kecil maka dikatakan orang kampung Kali Deres. “Deres“ itu cepat larinya. Begitu masuk Banjir Kanal Timur sekarang dinamakan Kali Malang. Dinamakan Kali Malang karena melintang masuk kota. Mestinya utara-selatan, ini lari ke barat menjadi timur-barat malang-melintang, Kali Malang. 

Di mana-mana sungai itu ke timur, ini ke barat. “Ah, sudah, kali malang-melintang“, gampang saja orang Indonesia kasih nama. 

Sekarang ada nama bagus Tirta Sangga Jaya? 

Kalau Tirta Sangga Jaya aga sedikit pantas daripada Kali Deres atau Kali Malang. Masak orang segar-segar dikatakan Malang. Pantas banjir terus sebab kalinya malang. Coba kalau kalinya mujur. 

Waduk Windu Kencana mungkin bisa menjadi wujud awal Tirta Sangga Jaya? 

Itu, aplikasi mimpi. Sebelum yang besar kan yang kecil dulu, 

Waduk Windu Kencana akan menjadi objek wisata juga? 

Ya. Pembangunan itu harus punya nilai ekonomi, nilai hiburan, nilai rekreasi, nilai arsitektur, nilai kelestarian, baru namanya sustainable. Kalau cuma air, ya kaku. 

Selain menyangkut ketahanan terpadu pertanian, ada manfaat Waduk Windu Kencana untuk masyarakat sekitar? 

Oh, pasti. Kalau Al-Zaytun tinggal di belantara padang pasir Azwan sana ya…mungkin beda manfaatnya atau malah ga ada manfaatnya. Ini kan tinggal di masyarakat. Kalau berbicara Al-Zaytun bicara masyarakat sekalipun agak jauh letaknya. Sungai itu kan air, tidak diam, dia merambat. Setiap yang dirambati air pasti bagus karena air itu sumber kehidupan. 

Tirta Sangga Jaya sepertinya bukan mimpi sebab miniaturnya Windu Kencana sudah ada? 

Yah, kalau bagi saya itu mimpi. Karena kita di sini. 

Jakarta akan mengadakan Pilkada pada Agustus 2007. Tirta Sangga Jaya mestinya bisa menjadi isu andalan setiap kandidat? 

Kalau sekedar oleh gubenur juga kurang. Harus oleh negara. Karena harus ada political will dari atas, kokoh sebagai payung yaitu MPR. 

Secara politis Al-Zaytun bisa berperan mendorong political will dari atas tadi? 

Oh, kalau peranan, semua bangsa. Al-Zaytun kan sebagian kecil dari warga bangsa. 

Paling tidak calon gubenur Jakarta datang ke sini memperoleh masukan konsep membangun Jakarta? 

Biasanya kalau datang ke sini, “Oh ini kan tempat kecil, jadi gampang. Jakarta itu besar, jadi susah“. Selalu mengedepankan susah. 

Kalau kita selalu mengedepankan, semua tidak ada yang susah kalau dikerjakan. Dan tidak ada besar tidak ada kecil pekerjaan itu. Karena nilainya sama. Kecil tidak selesai ya tambah rusak. Besar tidak dikerjakan juga susah. 

Jadi pada intinya jangan membuat sesuatu itu dilihat sebagai hal besar atau kecilnya, akan tetapi lihat inti dari permasalahan tersebut, mudah, enak dan praktis kan... Juga jangan kita mengukur persentase pencapaian mimpinya, sudah berapa besar? 

Kalau dipersentase kecil, wong mimpi itu besar. Kalau mimpi kecil ya sudah selesai. 

Mimpi kita kan besar. Dari pada mimpi kecil meding mimpi besar. Tercapai sudutnya, lumayan. Jadi jangan pernah memprosentase pekerjaan. Lepaskan saja prosentase itu tapi terus perbesar mimpinya. 

Karena mimpi besar belum terlaksana pun sudah gembira, “Ah, saya tadi malam mimpi,“ Ya, itu Mimpi. Jadi asyik, mimpi itu bisa jadi obat. 

Kalau mimpi ciptakan yang riil dalam konsep yang bisa dilaksanakan. Kalau suatu negara mimpinya tuangkan dalam keputusan majelis yang tertinggi. Kalau (diputuskan) oleh Presiden yang berjalan itu kan terbatas cuma lima tahun belum tentu dipilih lagi. 

Itu “Visi” sebetulnya kampanye. Kampanye kan bisa saja ngomong setumpuk akan tetapi pelaksanaannya belum ada. 

Demikianlah beberapa ide yang sempat saya rangkum dengan sedikit editor. 

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa di Negara ”Indonesia” ini, dari dulu hingga abad 20 “millennium” ini masih kurang mendengar dan belum bisa menampung aspirasi dari ide para putera-puteri penerus generasi bangsa ini, namun yang saya amati lebih banyak mendengar ide maupun usulan dari “individu/corporate dari negara lain, padahal dimanapun ada ide berarti ada kepentingan, dan sudah jelas mereka menginginkan pundi-pundi rupiah di dalamnya yang alih-alih dengan kata “investasi”. Apakah tidak lebih baik partisipasi seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai bidang pembangunan di kedepankan…? Ataukah anak bangsa ini sudah tidak dapat dipercaya dengan seringnya terdengar berita-berita manipulasi nilai suatu proyek, istilah yang tidak asing lagi bagi kita yakni kata “korupsi”. 

Bagaimanapun adanya, saya akan lebih sependapat apabila lebih banyak bidang pembangunan di danai dan dilaksanakan oleh putera-puteri harapan bangsa sebagai bentuk dari “investasi” serta kemandirian untuk negaranya sendiri…? hanya tinggal pelaksanaan kontrol negara dan partisipasi dari seluruh elemen masyarakat harus ditingkatkan sesuai dengan kemajuan jaman dan teknologi pendukung yang ada.

Tentu semua bentuk kebijakan yang diambil harus benar-benar matang dan telah ditinjau ulang dengan berbagai kajian yang mendukungnya. 

Bila ada kritik, saran dan apresiasinya, silahkan ajukan komentar sopan dibawah ini terima kasih...

Salam hangat… 

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

1 komentar:

  1. Betul bro...daripada pindahnya nuggu benar2 g bsa bergerak, jadi lebih cepat lebih baik...

    ReplyDelete

Item Reviewed: Solusi Sederhana Penaggulangan Banjir di Ibukota Jakarta Rating: 5 Reviewed By: widjaja
×
Judul