Salam sejahtera...
Apa kabarnya dunia blogger...?
Telah lamo ta' bajumpo...semoga sehat selalu...
Yah...begitulah suasana hatimoe dan hatikoe semestinya...
Dan inilah cerita kami...
Suasana hidup yang tenang, dapat menikmati hamparan pemandangan
yang asri, sejuk
dalam lingkungan yang ramah adalah impian semua insan Tuhan dari spesies bernama manusia diberbagai strata pada alam semesta ini, namun untuk
mewujudkan lingkungan yang “sesuai” hati bukanlah hal mudah, perlu perjuangan,
kerja keras dan berbagai jenis pengorbanan yang tidak sedikit.
Bagi anda yang telah sampai pada tangga kesuksesan,
tentu hal ini bukanlah cerita baru, sebab kesuksesan adalah “buah” dari kerja
keras, perjuangan, berbagai pengorbanan dan seluruh rangkaian pujian do’a.
Dari mukodimah diatas, tentu tidaklah mengherankan
apabila saat ini, dalam usia kemerdekaannya yang ke-70 tahun seluruh elemen
masyarakat di negeri tercinta Nusantara sedang dalam “proses” perjuangan dan
kerja keras agar dapat menemukan jalan keluar dari berbagai persoalan, seperti
bidang ekonomi yang saat ini sedang tertatih-tatih disebabkan ekonomi global
yang kian memanas akibat “currency war” yang telah berlangsung dalam beberapa tahun
ini.
Dengan akibat “currency war” secara global diatas,
tentulah tidak mudah bagi Indonesia agar terlepas dari suasana ‘kegentingan’
ekonomi Nasional, apalagi sudah kita ketahui bersama, bahwa dalam skala
industry, sebagian besar bahan baku bagi jalannya industry manufaktur & bahan
pangan dinegeri ini, masih sangat tergantung dengan bahan baku dari import (belum “berdikari”),
belum lagi dengan sifat “kegotong-royongan” masyarakat yang hanya berlaku
secara terkotak-kotak pada lingkungan masyarakat tertentu, tidak bahu-membahu
lintas bidang, lintas strata sosial, dan disamping itu masih ada sebagian
masyarakat Indonesia (mengaku bangga menjadi WNI) namun kurang PD menggunakan
dan menyimpan “rupiah” pertiwi.
Kemudian ditambah dengan kementerian terkait yang hingga saat
ini “seperti” tidak
sunguh-sungguh dalam menerapkan ‘system’ ekonomi milik kearifan lokal Bangsa
Indonesia sendiri, yakni system per“koperasi”an, yang telah nyata dapat
ber“tahan” di tengah berbagai krisis ekonomi dunia selama ini, siapa menjegal pengaplikasian system Koperasi…?
Dan pada sisi lain, Negara juga harus terus
melaksanakan “estafet”
pembangunan dalam bidang penataan lingkungan di berbagai kota Indonesia agar berbagai
masalah yang timbul dapat dibenahi secara bertahap dari generasi ke generasi, seperti
diantaranya yang sering ditemui dibanyak kota-kota seluruh Indonesia, yakni munculnya
pemukiman “liar” namun telah lama diakui oleh Negara, sehingga disadari maupun
tidak pada bidang lain akan berakibat menimbulkan berbagai macam masalah sosial
sangat
kompleks, seperti kebersihan lingkungan yang terabaikan, bahkan dapat terpotong
dari mata “rantai” ataupun overload yang pada akhirnya dapat mengakibatkan
menurunnya tingkat kesehatan masyarakat, keteraturan lalu-lintas dan serta tentu
kualitas pendidikan dapat terganggu, hingga penurunan lingkungan berhawa asri
dan lain sebagainya.
Dengan beberapa problem diatas, tentulah sebuah beban
yang tidak ringan bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi team “punggawa”
pemerintahan yang saat ini sedang bekerja keras.
Dan dengan berbagai persoalan yang telah terurai diatas,
maka dapat digambarkan bahwa setiap pemerintahan/negara di belahan bumi manapun berada, tentu berbagai penataan dan
perbaikan akan selalu ada, seperti perbaikan kualitas dalam system pelayanan
Negara, peningkatan kualitas SDM yang ada, perbaikan dan peningkatan sarana dan
prasarana Negara termasuk perbaikan penataan pada berbagai wilayah peruntukan,
seperti model penataan wilayah perkotaan yang akan dibahas dalam topik kali ini,
yakni problem yang banyak ditemui pada negara-negara yang baru “belajar” menjalani
rangkaian
kehidupan di dunia, seperti negeri tercinta “gemah ripah loh jinawi,
tata titi tentrem karta raharja” Indonesia ini.
Indonesia, memang saat ini sedang "sangat"
bergairah dalam geliat “meneruskan” pembangunan dari estafet periode sebelumnya
setelah beberapa bulan yang lalu telah mengarungi puncak “pesta” demokrasi
pergantian pemimpin Bangsa dari kepemimpinan ke-6, Bapak Susilo Bambang
Yudhoyono ke generasi kepemimpinan ke-7, Bapak Joko Widodo.
Ingat… siapapun pemimpin NKRI… seluruh rakyat
Indonesia harus bisa mendukung (jika tidak… mari dewasa dalam "gaya" demokrasi
melalui tata cara berkompetisi yang sehat dan berjiwa gentle), sebab
musuh bangsa Indonesia bukanlah para negarawan Indonesia, namun siapapun yang
berusaha menciptakan ketergantungan kebutuhan hidup rakyat Indonesia dengan
melemahkan dan atau monopoli per“ekonomi”an rakyat serta bermaksud menguasai
sepenuhnya berbagai sumber daya alam milik Negara Indonesia, itulah musuh nyata
seluruh rakyat Indonesia… (UUD pasal 33)
Nah kembali ke topik bahasan kali ini, yakni “Rusunawa Nyaman, Indonesia
Sejahtera...”, sebenarnya topik ringan yang terangkat dalam posting blog kali
ini disebabkan betapa turut perihatin dan sedih melihat beberapa penyelesaian
masalah pembangunan NKRI era
reformasi namun “seperti” masih ada mata "rantai"
musyawarah yang terpenggal dalam penyelesaiannya, hal ini terdeteksi dari sikap dan tindakan sebagian
rakyat Indonesia yang menyikapinya dengan seperti ada “amarah” terhadap
pemerintah sebagai Ayah-Bundanya sendiri.
Jadi benarkah pemerintah, khususnya pemerintah daerah
tidak berperan sebagai orangtua, yakni “Ayah” & “Bunda” bagi putera-puterinya,
rakyat Indonesia… atau betulkah masih ada sebagian rakyat Indonesia yang tidak
“legowo” untuk di tata lingkungannya…?
Mari saling introspeksi…
Dengan belajar dari ‘tragedi’ kampung Pulo di provinsi
DKI Jakarta beberapa hari yang lalu, dalam usahanya untuk meningkatkan minat
masyarakat perkotaan pada program “hunian” vertical yang digagas pemerintah
(pusat) saat ini, yakni model “rusunawa” diberbagai kota (besar) di seluruh
Indonesia, alangkah “bijak” apabila dimasa yang akan datang, pemerintah daerah dalam
melaksanakan kegiatan "sosialisasi" program harus seawal mungkin
dengan pendekatan dari “hati ke hati” kepada seluruh anggota masyarakat, yakni
secara terus-menerus membangun hubungan laksana hubungan “orangtua dan anak”
(saling ngemong), sebab dengan cara membuka ruang “dialogue” musyawarah mufakat
yang melibatkan seluruh elemen masyarakat dari cerdik pandai, akademisi,
lembaga penelitian, para pengamat tata kota & lingungan, LSM, ormas dan
serta berbagai pihak pemerhati sosial lainnya dalam menggali ide, pendapat,
saran, masukan yang membangun, maka diharapkan semua pihak tidak dirugikan baik
secara materiil maupun non materiil dan serta tidak adanya unsur tebang-pilih dan
atau ada hal yang disembunyikan dalam mewujudkan program penataan kota menuju
keindahan Indonesia dimasa datang.
Dengan demikian pemerintah sebagai “operator” pembangunan, semua
kebijakannya harus dapat mengakomodir sekaliagus dapat menjaga seluruh peri
kehidupan masyarakatnya walaupun tentu gesekan kebijakan dengan sikap bijak
kadang tidak bisa terhindarkan, dan tindakan minimalisasi gesekan merupakan
satu bukti perwujudan ke"bijak"sanaan anda sebagai pelaksana UU,
demikianlah putaran dunia...
Kemudian dalam
pelaksanaan sosialisasi melalui pendekatan dari “heart to heart” yang
dilaksanakan oleh pemerintah daerah kepada anggota masyarakat, hal pendukung
lainnya
adalah dengan melibatkan peran serta berbagai 'media' yang berfungsi untuk
melancarkan arus komunikasi dari para stakeholder pemerintah dan para “pakar”
dibidangnya kepada masyarakat dalam menggali & membangun “pemahaman”
bersama, sehingga isi “komunikasi” akar masalah yang dihadapi dan ragam solusi
yang akan ditempuh oleh pemerintah (Negara) tersampai dengan baik dan terjamin
kebenarannya diterima
oleh seluruh lapisan masyarakat.
Dengan proses panjang-pendek ini, tentu harapannya
adalah dapat meminimalisasi cara-cara kurang dewasa dalam berdemokrasi
“Pancasila”, dan ini merupakan satu bagian dari budaya kerja “gotong-royong”
yang selama ini (akan) harus diperkuat kembali dalam hubungannya dengan
“nguri-uri” budaya adiluhung bumi Nusantara, perhatikan bagaimana Bangsa Korea,
Chinese, Jepang dan beberapa Bangsa di Benua Amerika Latin, Europa yang selalu
konsisten menjaga budaya eksotik nenek moyangnya.
Dengan saling sinergy lintas bidang melibatkan
berbagai pakar dan tokoh masyarakat ini pula, pemerintah daerah “seolah” tidak
sendirian dalam mengadapi kesemprawutan lingkungan perkotaan namun dilaksanakan
dengan penuh kebersamaan dari dan untuk “keindahan” seluruh elemen masyarakat Indonesia
(tidak adigang, adigung, adiguna).
Dan pesan “bijak” yang tersampai adalah, khususnya
pada wilayah perkotaan yang masyarakatnya cenderung berperilaku individual dan
tentu bagi seluruh masyarakat Indonesia dalam melaksanakan penataan lingkungan
dapat menumbuhkan jiwa “pahlawan” atau merasa ikut memiliki “handar beni”
lingkungan asri, berhasrat menjaga, melestarikan demi kemanfaatan antar
generasi bumi pertiwi Indonesia.
Kemudian dari berbagai kejadian yang kadang ada, kami
berharap seyogyanya kepada (pejabat) abdi Negara yang berwenang dibidangnya
dapat mensinkronkan aturan UU dengan riil dilapangan sehingga tidak terulang
kembali persoalan yang belum terselesaikan di era sebelumnya, seperti halnya
“ada” tanah milik Negara namun setelah ada pemukiman tidak resmi oleh
sekelompok masyarakat, namun pungutan pajak (NJOP) masih ada dikeluarkan atas
nama pemilik pemukiman yang sejatinya tanah tersebut adalah tanah milik Negara.
Haruskah pungutan pajak (NJOP) “sementara” dikeluarkan
dengan catatan tertentu, ataukah seharusnya pemerintah daerah menggunakan opsi
lain dalam meminimalisir tumpah tindih aturan ini…?
Atas berbagai langkah perbaikan kualitas hidup seluruh
masyarakat Indonesia yang sedang dan akan dilaksanakan oleh pemerintah
Indonesia, maka sebagai wujud peran serta dalam penataan lingkungan di seluruh
wilayah NKRI, bagi kalangan usahawan yang memiliki (tempat) perijinan usaha
yang tidak pada tempat peruntukannya dan serta anggota masyarakat yang bermukim
pada wilayah-wilayah yang tidak seharusnya sebagai pemukiman layak, maka harus
berbesar hati dengan sikap “legowo” bersedia ditertibkan & direlokasi,
sebab apapun “argument” dari seluruh elemen masyarakat yang dikemukakan dalam
hubungannya dengan semua pemukiman yang tidak pada peruntukannya, apalagi
Negara sedang berupaya melaksanakan penataan wilayah, baik perkotaan maupun
wilayah lainnya, maka tentu tidak dibenarkan sesuai UU yang telah disepakati
bersama (berlaku), oleh karena itu membantu proses kebangitan “indahnya”
Indonesia dalam berbagai penataan wilayah (perkotaan), tentu sebuah sikap “bijak”
& “mulia” dari seluruh anggota masyarakat yang sepakat & menyetujui
penertiban & relokasi pemukiman dengan cara-cara manusiawi. Dengan cara ini
pula, seluruh komponen masyarakat telah ikut berpartisipasi dalam membangun
Negara Indonesia menuju bangsa yang beradab, sehat, indah, rapi tertata di mata
pergaulan bangsa-bangsa dunia.
Selanjutnya bagi media yang berperan serta dalam
menginformasikan berbagai hal tentang berbagai program-program pemerintah
termasuk salah satunya mengenai program hunian vertical, model “rusunawa” pada
wilayah perkotaan di seluruh Indonesia, seyogyanya harus menggunakan kata dan
kalimat yang tepat dalam pemberitaannya, sehingga pencerahan kepada para
pemirsanya (seluruh elemen masyarakat) mempunyai efek membangun, seperti: seharusnya
lebih banyak menggunakan kata “penertiban” wilayah…. dan harus “meminimalisir”
pemakaian kata “penggusuran” wilayah… dengan demikian kesan yang ada bukan
“pemaksaan” kepada lingkungan masyarakat yang telah ada, namun lebih kepada
penataan lingkungan masyarakat secara manusiawi & dewasa dalam berdemokrasi
sesuai hukum yang (berlaku) telah disepakati bersama.
Dan setelah berbagai rutinitas kegiatan diatas telah
dilalui, maka kegiatan selanjutnya adalah menjaga keasrian lingkungan,
ketenangan dan serta keberlangsungan “sejahtera” seluruh elemen masyarakat
Indonesia, terlebih bagi para penguni "rusunawa", oleh karena itu
alangkah "elok" apabila pemerintah pusat melalui kementerian dan serta
kantor kedinasan terkait sebagai “pengelola” rusunawa di seluruh Indonesia membentuk
satu "Koperasi" Induk sebagai pengendali koperasi-koperasi (toserba)
yang di”siap”kan pada tiap-tiap hunian rusunawa yang tentu masyarakat penghuni
rusunawa secara otomatis menjadi anggota koperasi tersebut disamping
masyarakat sekitar pada umumnya, seperti
halnya “seharusnya” telah ada dan berfungsinya lembaga “koperasi” di tiap desa
hingga dusun, pasar-pasar traditional, perkampungan nelayan, daerah petani
garam, sentra home industry (UKM) dan sebagainya, dengan pengaplikasian “system”
perkoperasian ini dalam penataan ulang (revolusi) kehidupan bermasyarakat,
terlebih pada lokasi baru, masyarakat bukan hanya di “tata” secara lingkungan
kemasyarakatan semata, namun penataan lingkungan dapat berfungsi sebagai “basis”
ketahanan ekonomi kerakyatan yang mengacu pada perwujudan pasal 33 UUD 1945
(apa masih ada…?) dalam rangka mewujudkan ketahanan ekonomi secara Nasional.
Anda masih ingat kan...?
Setiap lini kekuasaan merupakan salah satu jalan menuju pintu kebajikan,
berlaku arif bijaksana akan sangat lebih terhormat.
Setiap penguasaan terhadap kebutuhan hajat hidup masyarakat luas
merupakan satu bentuk keserakahan para "fir'aun" yang bertransformasi
disetiap rentang jaman.
Setiap keputusan yang penuh dengan "model" pemaksaan adigang-adigung-adiguna
dan serta intrik ketidakjujuran merupakan satu bukti nyata dari
"gaya" penjajah.
Mangayubagyo dan guyub-rukun merupakan budaya
Nusantara yang mesti terpupuk ditengah masyarakat Indonesia dalam hubungannya
dengan kebersamaan ambangun Negoro.
Demikianlah gambaran mimpi “Rusunawa Nyaman, Indonesia
Sejahtera...” yang sedang dibangun oleh seluruh stakeholder pemerintah Indonesia,
oleh karena itu…
mari bersama wujudkan masyarakat Indonesia yang ramah, gotong-royong dan sejahtera…
Salam hangat
0 komentar:
Post a Comment