Eng ing eng…
Lagi-lagi dan sekali lagi…
Bangsa Indonesia dikejutkan oleh sebuah tragedi Raffles dan atau Daendels "modern" yang menorehkan kisah kepiluan baru Bangsa ini.
Di beberapa pekan yang telah lalu, ada kabar infotainment kita yang berseteru, yakni Mbah google…eh Mbah google, Mbah Subur… dengan salah satu mantan bintang cilik Indonesia era 80an, Adi Bing Slamet beserta kawan-kawan yang ditengarai berseteru karena merasa ada unsur ‘petunjuk jalan lain….’
Sangat aneh… mengapa baru saat ini muncul kepermukaan, kalau ditilik dari beberapa pokok permasalahan yang muncul maka kesemuanya akan mengacu pada istilah dan atau sebutan sebagai “guru spiritual”, padahal sepengetahuan kami untuk memperoleh kemudahan rejeki dari Sang Pemilik Alam Semesta ini tidak ada guru khusus, yang ada hanyalah berguru dengan melihat, mencontoh sekaligus meniru dan atau mempraktekan cara-cara dari orang-orang yang telah sukses, yakni bekerja keras, selalau mau belajar dan membagi waktu secara ketat, kemudian jangan lupa perbanyaklah doa.
Lain cerita, apabila berguru ilmu pada sekolah formal dan non formal, memang benar harus ada mentor, guru dan mbah gurunya… bisa ditanya’in lho ke ABeGe2 atau ke para santri…?
Hmm……
Setelah kabar diatas sedikit berlalu, kini era teknologi digital dikejutkan oleh kemunculan kabar adanya generasi penerus Raffles dan para “Firaun”, walaupun levelnya baru tingkat “kampung”, namun telah membuat berdiri bulu badan.
Tidak disangka, daerah yang begitu dekat dengan pusat kegiatan ekonomi penting sebuah Negara sekaligus sebagai pusat pemerintahan sebuah Bangsa, memilih jalan terkenal kepada “dunia”, dengan cara yang kurang mencerminkan sebuah tatanan masyarakat yang beradab.
Desa Lebak Wangi, demikianlah daerah ini disapa...
Sebuah daerah pedesaan yang luasnya tidak sampai “ribuan” hektar apalagi kata jutaan, dan lagi dekat dengan sebuah Bandar Udara International di negeri ini, Bandar Udara Soetta, jadi bisa dikatakan masih daerah perkotaan, namun lepas dari perhatian yang seharusnya...
Dan yang tidak sepantasnya adalah meninggalkan keharuman nama "wangi" dari para leluhurnya.
Dan yang tidak sepantasnya adalah meninggalkan keharuman nama "wangi" dari para leluhurnya.
Dari kampung inilah para “Raffles Modern” asli Indonesia ini berasal, dengan letaknya tidak begitu jauh dengan Ibu Kota sebuah Negara, seharusnya dapat menjadi penyangga kemajuan kota dan atau sebagai daerah yang mendapat kemakmuran disebabkan tidak jauh dari pusat kekuasaan, namun semuanya berbanding terbalik, “malah” memberikan sebuah kado bagi “hari buruh” yang baru dirayakan beberapa hari yang lalu tanpa perhelatan “manis” dan senyum dunia usaha dan Negara kepada rakyatnya.
Apa yang sebenarnya sedang terjadi ditengah-tengah masyarakat kita…?
Hanya Tuhan saja Yang Maha Mengetahui…
Terbukti sampai terbongkarnya tragedi sang “Daendels Modern” ala “Lebak Wangi” juga bukan peran aparat Negara yang mempunyai semboyan “melayani, mengayomi serta melindungi masyarakat” juga bukan peran abdi Negara yang jelas-jelas sebagai pelayan masyarakat bagi "terang"nya sebuah jalan untuk mendapatkan hak-haknya sebagai warga Negara.
Dengan satu persatu kejadian yang terbuka, maka kita dapat mengetahui sebenarnya bagaimana cara kerja yang tengah dipertontonkan oleh para pelaku kebijakan pada level dua dan tiga yang lebih sering mengandalkan data “statistik” yang kurang mendasar dari sebuah study “blusukan” lapangan yang nyata.
Dengan pemahaman masyarakat yang masih rendah akan arti sebuah kemajuan jaman, yang kadang ada istilah “jaman saiki jaman edan, ga edan ga keduman”, maka kesemuanya semakin memperkeruh suasana bermasyarakat kita.
Padahal sejatinya kalimat diatas harus ditutup dengan sebuah kalimat "Nanging sabejo-bejone lelaku yo...sing eling lan waspodo".
Akhirnya saya menjadi sangat perihatin karena ternyata, cara dan perilaku “instan” dari masyarakat kita telah sangat menggurita bukan hanya pada tatanan perpolitikan tingkat tinggi akan tetapi juga telah hadir ditengah-tengah lingkungan kecil kita.
Apakah ini merupakan salah satu efek dari media hiburan kita yang banyak menghadirkan topik dan fiksi yang bernuansa “khayangan....?”.
Apakah juga karena penyebaran bidang ekonomi masih hanya dimiliki oleh segelitir kaum tertentu…?
Ataukah memang masyarakat kita yang masih banyak sikap "pemalas"nya ?
Ataukah memang masyarakat kita yang masih banyak sikap "pemalas"nya ?
Apakah fenomena-fenomena perilaku instan “korupsi” pada tatanan masyarakat kelas mapan dan menengah memang senantiasa berputar dengan memanfaatkan “ketidakberdayaan” dan “kebodohan” dari anggota masyarakat kelas bawah kita…?
Entahlah…
Padahal kita harus mengakui bahwa budaya kita adalah budaya masyarakat ketimuran yang katanya sudah ternama dengan istilah sopan-santun dan ramah-tamah, apalagi masyarakat kita terkenal sebagai salah satu pemilik mayoritas masyarakat penganut salah satu agama besar dunia, yakni “islam”.
Bagaimana ini bisa terjadi, tapi sungguh-sungguh telah terjadi…
Mungkinkah hanya satu kejadian ini, ataukah masih banyak kejadian serupa…? kami takut…. dengan minimnya pengawasan ke daerah-daerah pelosok, bisa jadi... bahkan ada yang lebih besar skalanya.
Apakah kita pernah peduli dengan pemilik tembok-tembok tinggi yang menjulang dan juga bentangan luas lahan-lahan usaha (perkebunan dll) nun jauh ditengah belantara hutan sana… Yang jauh dari keramaian sebuah kelompok umum masyarakat, namun tentu telah menyumbang aneka komoditas eksport dunia…?
Saat ini, seharusnya kita bisa lebih tahu bukan hanya pada arti “kemewahan" dunia semata yang nampak pada lahiriah, namun sudah sewajarnya kita mempunyai tingkat kepedulian, sikap kritis serta daya nalar lainnya sehingga dikemudian hari akan timbul suatu pemahaman dan mempunyai sebuah pertanyaan awal “apakah dia orang baik”, bukan seperti keadaan sekarang ini yang hanya mengedepankan sebuah kalimat "apakah dia orang kaya…?"
Dan bukan karena sebuah ajaran agama saja yang menjadi tulang punggung, akan tetapi memang sudah secara logika akal dari "sunnattullah", bahwasanya sudah saatnya lingkungan masyarakat kita harus dibawa ke paradigma "awal" yang sebenarnya bukan hal yang "baru" yakni, "dunia dan isinya bukanlah tujuan akhir, akan tetapi sebuah alat dan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih agung".
Kemudian untuk memberikan wawasan bagi pemahaman sikap kehati-hatian bagi seluruh masyarakat, marilah kita senantiasa membangun cara komunikasi yang intens walaupun hanya sepatah kata, sebab dengan komunikasi timbal-balik dapat meminimalkan “kondisi” dari istilah “rambut sama hitam, dalamnya hati siapa yang tahu”.
Sehingga dikemudian hari, sebagian masyarakat kita dapat lebih mengenali apa dan bagaimana lingkungan yang ‘sejuk’ bagi tumbuh kembangnya sebuah keceriaan bersama.
Sebagai anggota masyarakat, marilah kita bersama menjadikan sebuah tujuan bermasyarakat yang bermartabat, bersahabat dengan cara-cara mulia.
Para abdi Negara, aparat Negara, tokoh masyarakat serta kaum cerdik pandai, marilah tunjukan kepada publik, sebagai peribadi-peribadi panutan dan teladan yang menjadi salah satu ‘impian’ bagi kemajuan individu-individu anggota masyarakat sekitarnya.
Karena dengan memiliki masyarakat yang makin cerdas, kritis dan berbudaya merupakan cerminan dari keberhasilan para pemimpin dan tokoh masyarakat itu sendiri dalam hubungannya dengan pergaulan berbangsa dan bernegara pada level pergaulan dunia yang lebih luas.
Orang berada itu… mudah untuk dikenali
Orang beradab juga… mudah untuk dikenali
Yang susah dikenali adalah… orang berada yang kurang beradab.
Bangsa yang besar bukan Bangsa yang tidak menghormati sesamanya, akan tetapi Bangsa dan Negara yang besar adalah Bangsa dengan komunitas masyarakat yang memiliki hati untuk saling mengerti dan memahami.
Semoga lebih bermanfaat…
Salam hangat.
0 komentar:
Post a Comment