Selamat menyambut ulang tahun Jakarta ke-486...
Saat ini dalam rangka memperingati hari
jadi kota Jakarta, yang djatuh pada setiap tanggal 22 Juni, Ibukota Negara Indonesia sedang mengadakan sebuah
"event" bergengsi yang senantiasa hadir pada tiap-tiap tahun, hal ini guna
memperkenalkan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai oleh berbagai
lapisan masyarakat dan kemudian dapat diketahui, dinikmati oleh khalayak
luas masyarakat Indonesia.
Sebuah event
melegenda "kemeriahan pasar rakyat" dari acara "Pekan Raya Jakarta"
atau lebih familiar dengan istilah singkat PRJ, tentu bukan Pertemuan
Raja2 Jakarta lho Gan...?!.
Yah... memasuki awal bulan juni tentu adalah hal yang cukup dinanti, ini bukan hanya oleh masyarakat Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan sekitarnya saja akan tetapi juga oleh para pelaku dunia bisnis, baik bisnis makanan, pakaian, aksesoris dan sebagainya untuk menjadi salah satu tujuan mengadu nasib dengan menawarkan produk-produk yang dimilikinya dalam sebuah event tahunan yang diberi nama "Pekan Raya Jakarta" atau yang biasa kita kenal dengan PRJ. Nah berikut adalah sejarah singkat mengenai PRJ yang dikutip dari Jakarta Fair 2007.
"Pekan Raya Jakarta" (PRJ) dari sejarahnya, pertama kali digelar di Kawasan Monas tanggal 5
Juni hingga 20 Juli tahun 1968 dan dibuka oleh Presiden Soeharto dengan
melepas merpati pos. PRJ pertama ini disebut DF yang merupakan
singkatan dari Djakarta Fair (Ejaan Lama). Lambat laun ejaan tersebut
berubah menjadi Jakarta Fair yang kemudian lebih popular dengan sebutan
"Pekan Raya Jakarta".
Idenya muncul atau digagas pertama kali oleh Pemerintah DKI yang kala
itu dipimpin oleh Gubernur "penuh kontroversial" Ali Sadikin atau yang lebih dikenal oleh "Bang
Ali" pada tahun 1967. Gagasan atau ide ini, karena Pemerintah DKI waktu
itu ingin membuat suatu pameran besar yang terpusat dan berlangsung
dalam waktu yang lama.
Pemerintah DKI waktu itu juga ingin menyatukan berbagai “pasar malam”
yang ketika itu masih menyebar di sejumlah wilayah Jakarta. Pasar Malam
Gambir yang tiap tahun berlangsung di bekas Lapangan Ikada (kini
kawasan Monas), juga merupakan inspirasi dari Pameran yang diklaim
sebagai “Pameran Terbesar” saat ini.
Menurut sejarah, tahun 1945 di lapangan Ikada ini pernah berkumpul
300.000 orang atau massa dari berbagai wilayah Jakarta dan tetangganya
seperti Tangerang dan Bekasi untuk menentang pemerintah Jepang.
Terinspirasi oleh Pasar Malam Gambir yang dari dulunya sudah ramai
dikunjungi, Pemerintah DKI ingin membuat gebrakan dengan langsung
membentuk panitia sementara yang dipercayakan kepada Kamar Dagang dan
Industri (Kadin).
Agar lebih sah atau resmi, Pemerintah DKI mengeluarkan Peraturan Daerah
(Perda) no. 8 tahun 1968 yang antara lain menetapkan bahwa PRJ akan
menjadi agenda tetap tahunan dan diselenggarakan menjelang Hari Ulang
Tahun Jakarta yang dirayakan setiap tanggal 22 Juni.
Sebuah yayasan yang diberikan nama Yayasan Penyelenggara Pameran dan
Pekan Raya Jakarta juga dibentuk sebagai badan pengelola PRJ. Sesuai
Perda no. 8/1968 tersebut tugas yayasan ini bukan hanya menyelenggarakan
PRJ saja tetapi juga sebagai penyelenggara Arena promosi dan Hiburan
Jakarta (APHJ) yang dijadwalkan berlangsung sepanjang tahun.
Syamsudin Mangan, Ketua Kadin Indonesia ketika itu dinilai berjasa dalam
menyelenggarakan Pekan Raya Jakarta yang merubah wajah Pasar Malam
Gambir yang kemudian terkenal dengan Djakarta Fair yang “bermutasi”
menjadi Jakarta Fair atau lebih dikenal dengan "Pekan Raya Jakarta".
Karena kegigihan Syamsuddin Mangan Djakarta Fair mendapat dukungan dari
berbagai pihak. Sayang, sebelum melihat ide dan gagasannya terwujud
Syamsuddin Mangan dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
PRJ 1968 atau DF 68 berlangsung mulus dan boleh dikatakan sukses. Perhelatan akbar ini mampu menyedot pengunjung tidak kurang dari 1,4 juta
orang.
PRJ 1969 atau DF 69 “memecahkan” rekor penyelenggaran PRJ terlama karena
memakan waktu penyelenggaraan 71 hari. PRJ pada umumnya berlangsung 30 –
35 hari. Bahkan Presiden AS pada waktu itu Richard Nixon datang ke
Indonesia, sempat mampir ke DF 69.
Penyelenggaraan PRJ atau Jakarta Fair ini, dari tahun ke tahun mulai
mengalami perkembangan pengunjung dan pesertanya bertambah dan
bertambah. Dari sekedar pasar malam, “bermutasi” menjadi ajang pameran
modern yang menampilkan berbagai produk. Areal yang dipakai juga
bertambah. Dari hanya tujuh hektar di Kawasan Monas kini semenjak tahun
1992 dipindah ke Kawasan Kemayoran Jakarta Pusat yang menempati area
seluas 44 hektar.
Dengan adanya "Pekan Raya Jakarta" ini, diharapkan para pelaku "bisnis lokal" mampu meningkatkan daya saingnya terhadap produk-produk lainnya
yang ditawarkan.
Demikianlah alur sejarah singkat mengenai "Pekan Raya Jakarta" yang kita tahu dan telah berlangsung selama beberapa dekade.
Dari sini kita dapat menyelami apa sebenarnya "pesan" dan "tujuan" diadakannya event "Pekan Raya Jakarta" di masa awal-awalnya, namun kembali apabila kita cermati serta bagi saudara-saudara yang telah berkunjung setiap tahunnya maka akan didapati sebuah konsep atau mudahnya kesan yang “aneh bin ajaib” dari sebuah kalimat “Pekan Raya”.
Kalau kita mendengar kata “Pekan Raya”, maka hal yang ada pada fikiran kita adalah sebuah kegiatan dengan tema "pasar rakyat" yang murah meriah, seharusnya….?! atau kita dapat mengingat sebuah event yang lekat dan ngetren pada era Orde Baru, yang pelaksanaannya hingga ke daerah-daerah yakni sebuah acara “Pameran Pembangunan” yang dikemudian hari mengantarkan nama Soeharto sebagai “Bapak pembangunan”.
Dari sini kita dapat menyelami apa sebenarnya "pesan" dan "tujuan" diadakannya event "Pekan Raya Jakarta" di masa awal-awalnya, namun kembali apabila kita cermati serta bagi saudara-saudara yang telah berkunjung setiap tahunnya maka akan didapati sebuah konsep atau mudahnya kesan yang “aneh bin ajaib” dari sebuah kalimat “Pekan Raya”.
Kalau kita mendengar kata “Pekan Raya”, maka hal yang ada pada fikiran kita adalah sebuah kegiatan dengan tema "pasar rakyat" yang murah meriah, seharusnya….?! atau kita dapat mengingat sebuah event yang lekat dan ngetren pada era Orde Baru, yang pelaksanaannya hingga ke daerah-daerah yakni sebuah acara “Pameran Pembangunan” yang dikemudian hari mengantarkan nama Soeharto sebagai “Bapak pembangunan”.
Tak salah memang….walaupun tidak dapat dipungkiri, masa orde baru mempunyai dosa-dosanya tidak sedikit, akan tetapi di mata masyarakat masih ada bekas dan sisa-sisanya, semoga ada yang lebih terinspiratif…
Jadi mengapa kita menjadi bangsa yang ajaib….? Padahal di Negara manapun, apabila ada sebuah kata “Pekan Raya” pasti suasana yang ditimbulkan adalah suasana merakyat alias kesan “ndeso, jadul atawa kuno” yang tentu dimasa kini berbalut dengan kemodernitasan peradaban, apalagi Indonesia adalah Negara "Bhineka Tunggal Ika" yang memiliki berbagai macam khasanah budaya dan hasil-hasil seni, cipta dan karya anak bangsa yang beragam, ada berbagai kerajinan dan produk UKM/UMKM, berbagai kreasi kuliner khas Nusantara, ada berbagai hasil seni dan budaya daerah, ada berbagai hasil cipta teknologi anak negeri seperti mobil ESEMKA, mobil listrik, robotika, berbagai hasil-hasil penelitian ilmiah dll, dan hal ini terbukti lebih beradab sepertinya, apalagi baru-baru ini Timnas Belanda (orange) yang datang ke Indonesia untuk melakukan “pertandingan persahabatan” disela-sela waktunya lebih memilih "hanya" mengunjungi daerah bersejarah “Kota Tua” di Jakarta, daripada "melongok" deretan etalase kulkas, televisi dan berbagai hal produk-produk konsumtif yang kurang memberikan pesan mendidik, apalagi bagi masyarakat kita, Indonesia.
Semestinya ini menjadi perhatian bagi seluruh masyarakat Indonesia, apalagi bagi para pemangku kebijakan di negeri ini, mengingat kita seluruh elemen bangsa ini telah dibawa berikrar dengan sebuah kalimat penuh pesona “visit indonesian year”.
Dan bagi kalangan pengusaha semestinya senantiasa menjaga "konsep" yang telah di sepakati bersama dengan pemerintah sebagai salah satu bentuk partisipasi warga negara terhadap kemajuan pembangunan Bangsa dan Negara, tidak memanfaatkannya "hanya" untuk mendapatkan keuntungan usaha semata.
Dan bagi kalangan pengusaha semestinya senantiasa menjaga "konsep" yang telah di sepakati bersama dengan pemerintah sebagai salah satu bentuk partisipasi warga negara terhadap kemajuan pembangunan Bangsa dan Negara, tidak memanfaatkannya "hanya" untuk mendapatkan keuntungan usaha semata.
Sebenarnya pada tiap-tiap daerah di seluruh wilayah Indoesia sudah ada benih-benih "Pekan Raya" hanya saja masih minimnya perhatian dan tingkat koordinasi menuju skala yang bisa setaraf PRJnya Jakarta, maka yang ada hanyalah sebuah "pasar malam" yang kadang dapat menimbulkan kesan kurang "estetik" bagi lingkungan sekitar, padahal apabila ini terkelola dengan baik tentu akan menambah semarak dan makin diminati oleh seluruh lapisan masyarakat, sehingga disamping dapat menghangatkan suasana bermasyarakat dan bernegara bagi warga Negara Indonesia itu sendiri, juga dapat menghidupkan kalimat menggoda “visit Indonesian year” di daerahnya masing-masing. Dan akan lebih elok lagi apabila ada sebuah rangkaian kegiatan sejenis “pasar rakyat” yang dilaksanakan secara bergantian antar provinsi, sehingga dapat menimbulkan keakraban antar suku bangsa, budaya dan adat istiadat yang dimilikinya.
Event-event seperti ini, tentu merupakan sebuah daya tarik wisatawan, baik wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara seperti halnya yang telah banyak terjadi di Negara-negara maju, tentu anda pernah mendengar ada perayaan panen raya dengan pesta melempar tomat di salah satu Negara di Benua Amerika Latin, pesta panen ikan di sebuah negara Benua Afrika, festival tahunan mandi lumpur di kota Boryeong Korea Selatan atau mandi lumpur di danau Tus, Rusia, dan tentu anda pasti telah mengingatnya akan sebuah festival yang telah mendunia, yakni ajang adu banteng dengan para gladiator dalam festival matador di negara Spanyol, dan lain sebagainya.
Kita adalah Negara dengan luasan wilayah yang sangat luar biasa serta kaya akan budaya, seni, cipta anak negeri dari "Sabang sampai Merauke", dengan masyarakat yang semakin maju dan pemberdayaan yang lebih proaktif, maka diharapkan Indonesia dapat lebih dikenal bukan hanya karena pulau “Bali” semata, namun ada Irian Jaya, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera serta Jawa tentu bukan hanya kota "pelajar dan seni" Jogja saja.
Demikianlah… negeri-negeri maju dan telah modern tersebut senantiasa menjaga, melestarikan dan terus berusaha menciptakan sebuah "event" yang unik dan menarik guna menghangatkan suasana serta menggembirakan seluruh masyarakatnya, jadi bukan hanya sekedar event “dagang” yang pada akhirnya dapat menimbulkan efek pemilahan bagi masyarakat itu sendiri.
Semoga para pemilik kebijakan masih mengingat “visi dan misi” dari gema jargon dahulu, sehingga masyarakat tidak lagi bertanya-tanya “sebenarnya mau dibawa kemana masyarakat kita ini… . . .?”
Demikianlah sedikit oleh-oleh "penerawangan saya" he2.... mengenai salah satu rangkaian jenis kegiatan yang pantas menjadi pendukung dari pesona kata "visit indonesian year".
Semoga lebih bermanfaat…
Salam hangat
0 komentar:
Post a Comment