Kehidupan yang teratur...
Demikianlah keinginan dan cita-cita setiap insan dalam hidupnya, yang dimulai dari lingkup bertetangga, bermasyarakat maupun dalam skala yang lebih luas, yakni bernegara.
Demikianlah keinginan dan cita-cita setiap insan dalam hidupnya, yang dimulai dari lingkup bertetangga, bermasyarakat maupun dalam skala yang lebih luas, yakni bernegara.
Kehidupan yang teratur tentu memerlukan sebuah pijakan yang membuatnya tertib dan harmonis, oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari, tentu kita telah mengenal sebuah peraturan yang sangat sederhana dan tidak tertulis, yakni peraturan yang berasal dari adat-istiadat atau budaya. Sedangkan peraturan tertulis yang selalu mengiringi perjalanan ummat manusia dari jaman ke jaman adalah peraturan yang datang dari Sang pemilik alam semesta ini dalam bentuk kitab suci yang menjadi landasan bagi insan ciptaanNYA, yang bernama manusia agar bermartabat.
Peraturan yang berasal dari adat-istiadat atau budaya merupakan cikal-bakal dari sebuah peraturan hidup yang lebih kompleks, hal ini terjadi disebabkan oleh pergeseran peradaban manusia kearah kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan yang mendukungnya. Oleh karena itu pada alam modern seperti sekarang ini berbagai peraturan hidup manusia telah mengalami bermacam bentuk transformasi peraturan pada setiap sisinya, sehingga pada akhirnya juga menciptakan sebuah kehidupan bermasyarakat yang sangat kompleks atau penuh dengan warna-warni.
Nah... dari berbagai perkembangan adat-istiadat atau budaya dan peradaban manusia tersebut, kini peraturan yang mengatur berbagai sisi kehidupan manusia dalam bermasyarakat lebih dikenal dengan istilah kerennya sebagai produk-produk “hukum”.
Produk hukum inilah yang senantiasa digunakan sebagai patokan dalam mengatur berbagai macam aktivitas manusia kepada keteraturan manusia dalam bertetangga, bermasyarakat hingga selevel berbangsa dan bernegara.
Dan disadari ataupun tidak, apapun rutinitas anda sudah pasti tidak akan lepas dengan sebuah peraturan yang telah ada pada produk hukum ataupun peraturan tidak tertulis dari adat-istiadat (norma) membumi yang telah mengalami masa transformasi tadi, oleh karena itu mau tidak mau, suka tidak suka, kita sebagai masyarakat harus mulai membuka diri untuk senantiasa mencari informasi dari produk-produk hukum yang ada, baik yang berhubungan dengan aktivitas dan atau rutinitas yang kita jalani sehari-hari maupun yang tidak berhubungan dengan aktivitas sehari-hari, sebagai tambahan ilmu dan wawasan kita dalam pergaulan di tengah-tengah masyarakat.
Dengan cara yang demikian ini, maka dikemudian hari akan tercipta sebuah “kadar” pemahaman sebagai landasan dalam menyelami kehidupan dalam berbangsa dan bernegara atau lebih umum orang menyebutnya sebagai individu yang “melek” hukum.
Dunia hukum sebenarnya bukanlah "dunia" yang asing bagi masyarakat kita, karena kembali seperti telah disampaikan diatas bahwa adat-istiadat atau budaya yang telah membumi sebagai rambu-rambu atau norma hidup sudah ada bersamaan hadirnya makhluk bernama manusia dimuka bumi, hanya saja jaman dan peradaban yang terus berganti sehingga seolah-olah "produk hukum" sudah berubah sehingga pada umumnya masih ada anggota masyarakat kita yang masih beranggapan "miring", bahwa “produk hukum” tersebut hanya bisa diakses oleh hanya sekelompok dan atau orang-orang tertentu saja yang berhak untuk mempelajari dan atau mengetahuinya.
Padahal apabila hal ini yang terjadi, maka akan dapat menimbulkan segolongan masyarakat dan atau sebuah bangsa (Negara) dapat mengalami ke"mundur"an peradaban, ini disebabkan masyarakat luas tidak bisa mengapresiasikan dirinya lagi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, karena masyarakat tidak mempunyai keinginan untuk "belajar" sehingga dapat menimbulkan ke“buta”an terhadap peraturan hidup yang seharusnya diketahui dan dipegang teguh dalam hubungannya dengan aktivitas sosial dalam bertetangga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Efek lain yang dapat timbul dari sikap masyarakat yang tidak mau tahu dengan segala produk hukum yang ada pada Negaranya adalah, adanya segolongan dan atau individu tertentu yang “bisa” memainkan perannya untuk hal-hal yang tidak diinginkan dan atau untuk tujuan tertentu, sebagai misal adanya ketidak-tahuan dari seorang individu dalam hal suatu penyelesaian masalah, maka dapat menimbulkan kerentanan “salah-paham” dalam hal-hal yang menyangkut “hukum” yang sedang dihadapi tersebut, belum lagi beberapa hal yang dapat menimbulkan unsur kerugian materiil dan immateriil yang bisa menimpa dikemudian hari.
Apakah anda mau seperti ini…?
Oleh karena itu, guna menghindari kerentanan salah-paham, kesalahan tafsir serta hal-hal lainnya, yang tidak diinginkan tapi mungkin dapat terjadi, maka marilah kita (masyarakat) sebagai bagian dari suatu Negara harus bisa sedikit demi sedikit mau "belajar" untuk memahami apa saja sebenarnya produk-produk hukum yang ada dinegara kita saat ini, yang tentu telah mengalamai berbagai macam transformasi budaya dari generasi ke generasi.
Satu permasalahan yang akan saya angkat pada artikel ini, adalah mengenai produk hukum yang menyangkut pemilihan umum yang ada di negeri kita Indonesia, sebentar lagi bangsa Indonesia akan mengadakan pemilu kan?
Benar adanya Bung...?! Dan saya yakin anda sudah pasti kenal dengan berbagai hal mengenai kata “pemilu” atau pemilihan umum, bukan….?
Benar adanya Bung...?! Dan saya yakin anda sudah pasti kenal dengan berbagai hal mengenai kata “pemilu” atau pemilihan umum, bukan….?
Yup…tentu, "pemilu" atau "pemilihan umum" adalah unsur penting atau merupakan “ruh”nya model pemerintahan yang menganut system demokrasi, oleh karena itu tidak mungkin ada suatu Negara dengan paham demokrasi tapi tidak mempunyai metode "seleksi" calon wakil dan atau pemimpin sebagai abdi Negara tanpa sebuah proses “pesta” demokrasi bernama "pemilu", sekalipun pada system pemerintahan yang tidak menganut system demokrasi juga telah mempunyai “pesta”, akan tetapi peraturan dan cara pelaksanaannya sudah tentu berbeda.
Seperti telah disebutkan diatas, maka hal yang pertama dan terpenting dari penerapan system demokrasi pada pemerintahan suatu Negara adalah adanya model "pesta" demokrasi, atau lebih kita kenal dengan istilah "pemilu".
Indonesia merupakan salah satu Negara didunia yang telah lama menganut system demokrasi dalam menjalankan pemerintahannya, oleh karena itu "pesta" demokrasi adalah rutinitas "wajib" yang harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang telah disepakati.
Berikut ini adalah sedikit gambaran dari pengertian kata "pemilu",
Pengertian Pemilu menurut teori demokrasi klasik menganggap pemilu itu "adalah sebagai suatu “transmission belts of power” sehingga kekuasaan yang berasal dari rakyat beralih menjadi kekuasaan negara yang kemudian menjelma menjadi wewenang pemerintah untuk memerintah dan mengatur rakyat".
Pengertian Pemilu menurut teori demokrasi klasik menganggap pemilu itu "adalah sebagai suatu “transmission belts of power” sehingga kekuasaan yang berasal dari rakyat beralih menjadi kekuasaan negara yang kemudian menjelma menjadi wewenang pemerintah untuk memerintah dan mengatur rakyat".
Menurut mantan Presiden Soeharto pemilihan umum adalah ”ukuran, barometer kemampuan bangsa yang menjunjung tinggi asas demokrasi dalam menyalurkan aspirasi rakyat secara demokratis dan realistis. Menjadi ukuran sampai dimana pelaksanaan asas demokrasi itu sendiri”.
Pemilu merupakan suatu alat, bukan tujuan. Manfaat dan tujuannya adalah untuk menciptakan stabilitas politik dan melaksanakan salah satu wujud demokrasi yang sehat.
Pemilu merupakan suatu alat, bukan tujuan. Manfaat dan tujuannya adalah untuk menciptakan stabilitas politik dan melaksanakan salah satu wujud demokrasi yang sehat.
Adapun pengertian pemilu lainnya, yaitu :
"Pemilu adalah dimana semua warga negara yang berhak memilih, menyatakan kehendak politisnya dengan mendukung atau mengganti personalia dalam lembaga-lembaga legislatif (dewan perwakilan rakyat pada tingkat yang berbeda) yang menurut mayoritas akan menentukan pemegang-pemegang kekuasaan eksekutif (pemerintah) untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku". (Kamus politik, 2002: 410)
Pengertian secara sederhana.
"Pemilihan Umum adalah merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, dimana rakyat dapat memilih pemimpin politik secara langsung.
Yang dimaksud dengan Pemimpin Politik disini adalah wakil-wakil rakyat yang duduk dilembaga perwakilan rakyat (parlemen) baik, di tingkat pusat maupun daerah dan pemimpin lembaga eksekutif atau kepala pemerintahan seperti Presiden, Gubernur, Walikota dan Bupati".
Yang dimaksud dengan Pemimpin Politik disini adalah wakil-wakil rakyat yang duduk dilembaga perwakilan rakyat (parlemen) baik, di tingkat pusat maupun daerah dan pemimpin lembaga eksekutif atau kepala pemerintahan seperti Presiden, Gubernur, Walikota dan Bupati".
"Pemilu adalah suatu proses di mana para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu".
Jabatan-jabatan yang disini beraneka-ragam, mulai dari Presiden, wakil rakyat di pelbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan.
Jabatan-jabatan yang disini beraneka-ragam, mulai dari Presiden, wakil rakyat di pelbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan.
Pemilihan umum bagi suatu Negara demokrasi
berkedudukan sebagai sarana untuk menyalurkan hak asasi politik rakyat.
Pemilihan umum memiliki arti penting sebagai berikut :
- Untuk mendukung atau mengubah personel dalam lembaga legislative.
- Membentuk dukungan yang mayoritas rakyat dalam menentukan pemegang kekuasaan eksekutif untuk jangka tertentu.
- Rakyat melalui perwakilannya secara berkala dapat mengoreksi atau mengawasi kekuatan eksekutif.
Tujuan Pemilihan Umum
Pada pemerintahan yang demokratis, pemilihan umum merupakan pesta demokrasi. Dan secara umum tujuan pemilihan umum adalah :
Pada pemerintahan yang demokratis, pemilihan umum merupakan pesta demokrasi. Dan secara umum tujuan pemilihan umum adalah :
- Melaksanakan kedaulatan rakyat.
- Sebagai perwujudan hak asas politik rakyat.
- Untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif serta memilih Presiden dan Wakil Presiden.
- Melaksanakan pergantian personel pemerintahan secara aman, damai dan tertib.
- Menjamin kesinambungan pembangunan nasional.
Menurut Ramlan Surbakti, kegiatan pemilihan umum
berkedudukan sabagai :
- Mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin dan alternatif kebijakan umum.
- Makanisme untuk memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat ke lembaga-lembaga perwakilan melalui wakil rakyat yang terpilih, sehingga integrasi masyarakat tetap terjaga.
- Sarana untuk memobilisasikan dukungan rakyat terhadap Negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik.
Dari beberapa uraian mengenai pengertian, tujuan dan manfaat pemilu diatas, maka dapat disarikan bahwa pemilu merupakan sarana untuk mengapresiasikan pendapat rakyat sehubungan dengan calon pemimpin dan atau wakil rakyat yang diberi mandat untuk mengemban sebuah amanah Negara dari anggota masyarakatnya.
Dari berbagai pemahaman diatas, marilah kita bersama mencoba melihat produk-produk hukum sebagai pijakan dasar dalam pelaksanaan “pesta” demokrasi di negeri ini.
Salah satu produk hukum yang digunakan dalam menjalankan "pesta" demokrasi adalah yang sudah kita kenal sebagai "undang-undang pemilu". Dengan adanya Undang-undang pemilu ini, maka sudah tentu kita sebagai masyarakat harus bersama-sama menjalankan apa yang sudah diamanatkan dalam undang-undang pemilu tersebut sebagai manifestasi dari kata "taat peraturan" yang telah disepakai bersama.
Namun demikian, perlu dicermati kembali bahwa undang-undang pemilu kita ternyata masih banyak yang harus diperbaiki atau masih adanya banyak "celah" yang menimbulkan kerentanan pada proses “pesta” demokrasi, salah satu diantara yang sangat-sangat berperan “penting” adalah fenomena munculnya bakal calon legislatif (bacaleg) secara “instan” yang berasal dari berbagai kalangan diluar system yang seharusnya berjalan. Ini merupakan fenomena keterputusan antara proses kaderisasi dan rekrutmen (pengamat politik Hanta Yudha).
Salah satu produk hukum yang digunakan dalam menjalankan "pesta" demokrasi adalah yang sudah kita kenal sebagai "undang-undang pemilu". Dengan adanya Undang-undang pemilu ini, maka sudah tentu kita sebagai masyarakat harus bersama-sama menjalankan apa yang sudah diamanatkan dalam undang-undang pemilu tersebut sebagai manifestasi dari kata "taat peraturan" yang telah disepakai bersama.
Namun demikian, perlu dicermati kembali bahwa undang-undang pemilu kita ternyata masih banyak yang harus diperbaiki atau masih adanya banyak "celah" yang menimbulkan kerentanan pada proses “pesta” demokrasi, salah satu diantara yang sangat-sangat berperan “penting” adalah fenomena munculnya bakal calon legislatif (bacaleg) secara “instan” yang berasal dari berbagai kalangan diluar system yang seharusnya berjalan. Ini merupakan fenomena keterputusan antara proses kaderisasi dan rekrutmen (pengamat politik Hanta Yudha).
Seharusnya, antara keduanya berhubungan, dimana partai semestinya merekrut "bacaleg" dari proses “kaderisasi”.
“Di Indonesia memang aneh, antara “kaderisasi” dan “rekrutmen” tidak nyambung, diluar proses memberikan peluang seluas-luasnya kepada banyak dan atau beberapa pendatang baru seperti artis,
pengusaha, para profesional dan lain sebagainya yang bukan kader, sehingga banyak kader yang agak menjadi "ngambek" karena tidak mempunyai kesempatan lagi menjadi caleg.
Dengan keadaan yang demikian maka, bisa dikatakan bahwa perpolitikan di negeri ini, seperti terjebak pada 'gaya' dan 'pola pikir' yang berkonsep pada “popularitas” guna menciptakan “elektabilitas”. Padahal, yang terpenting dalam sebuah "proses" demokrasi dan bernegara adalah adanya sebuah “integritas” anggota legislatif.
Dan hal ini yang seringkali diabaikan oleh partai-partai politik, mengapa demikian….?”
Inti permasalahan yang sebenarnya adalah bagaimanapun dan apapun adanya kita harus menyadari bahwa pepatah "jadoel" ini tidak bisa lepas begitu saja dari kehidupan alam fana, yakni pepatah “jer basuki mowo beo”, namun demikian peng"optimal"an sarana dan prasarana yang ada juga harus dimaksimalkan, sehingga kesan "pamer' kekuatan secara financial yang sudah "seperti" hal sangat lumrah dan "harus" dilaksanakan tanpa memperhitungkan sebab-akibat yang bakal diderita dimasa mendatang dapat diminimalisir.
Padahal dan andai saja semua perangkat dan produk-produk hukum yang ada dioptimalkan secara maksimal, yang kemudian saling mensinergikan antar lembaga yang berkepentingan serta senantiasa berusaha untuk terus memperbaharui sesuai dengan perkembangan peradaban manusia, niscaya suasana "pesta" demokrasi yang ada dinegara kita ini, tidak akan "saling memanfaatkan kesempatan" yang kurang bermartabat, yakni disaat dan atau setelah terpilih.
Padahal dan andai saja semua perangkat dan produk-produk hukum yang ada dioptimalkan secara maksimal, yang kemudian saling mensinergikan antar lembaga yang berkepentingan serta senantiasa berusaha untuk terus memperbaharui sesuai dengan perkembangan peradaban manusia, niscaya suasana "pesta" demokrasi yang ada dinegara kita ini, tidak akan "saling memanfaatkan kesempatan" yang kurang bermartabat, yakni disaat dan atau setelah terpilih.
Harus diingat juga bahwa individu yang kuat secara financial adalah pribadi yang tidak pernah mengharap "lebih" dan atau mengambil "kesempatan" atas milik Negara, dimana kesemuanya itu berasal dari seluruh rakyat.
Berbagai polemik demokrasi yang “instan”, seperti yang terjadi diatas merupakan sebab-akibat yang ditimbulkan oleh karena belum adanya peraturan yang salah satunya memuat “kata” dan atau “kalimat” secara eksplisit membatasi dan atau menutup “celah” kerentanan yang ada pada perundang-undangan yang sedang berlaku saat ini, yakni mengenai hal yang mengatur "standar" alat publikasi atau pemakaian media sebagai sarana penyampaian dalam pengenalan calon-calon wakil rakyat dan atau Presiden, Gubernur dan Bupati Kepala Daerah semacam “alat peraga” seperti baliho, spanduk, bendera dan lain-lain.
Dengan tidak adanya peraturan yang memuat “kata” dan atau “kalimat” yang menyebutkan secara eksplisit membatasi “alat peraga” sesuai standar yang telah ditentukan (juknis), maka sudah dapat dipastikan merupakan sebuah “celah” yang dapat dimanfaatkan dikemudian hari oleh para oknum-oknum yang tidak ber"hati" Indonesia dari para calon-calon peserta "pesta" demokrasi di negeri ini. Dan ini pada akhirnya dapat memperburuk “citra” para anggota dewan “terhormat” dan atau pemangku "pejabat" Negara itu sendiri, disebabkan bermasalah dan atau terindikasi melakukan penyelewengan saat proses dan atau setelah terpilih.
Pesta rakyat gaya “demokrasi” merupakan sebuah proses dalam mengaktualisasikan cita-cita masyarakat menuju pembangunan yang adil dan makmur, oleh karena itu (juknis) dari "pesta" demokrasi sebaiknya juga mengatur masalah pembatasan dan atau standar dari "alat peraga" sehingga dalam kemeriahan “pesta” demokrasi ini, benar-benar berlangsung secara demokratis tanpa adanya intrik-intrik yang menyimpang, "gema dari rakyat dan untuk rakyat"pun sedikit demi sedikit dapat diwujudkan secara nyata. Dan yang sangat terpenting adalah tidak terkesan “jor-joran” dalam mengumumkan seorang “indidivu” sebagai calon wakil rakyat dan atau calon pemimpin rakyatnya.
Tidak adanya pembatasan sesuai standar yang ditentukan (juknis) dari "alat peraga" semacam baliho, spanduk, bendera dan lain-lainnya oleh lembaga yang berwenang selain dianggap berlebihan dan dapat merusak keindahan kota, juga merupakan salah satu “cermin” nyata dari penerapan budaya “rimba raya” perpolitikan yang berlaku dinegeri ini, ditengah gedung-gedung pencakar langit nan elok, megah dan menawan.
Kedepan peran lembaga yang berwenang harus dapat dioptimalkan agar jalannya “pesta” gaya demokrasi di negara kita ini lebih “bermartabat” dimasa yang akan datang, seperti telah dikemukakan juga oleh salah satu anggota komisi II DPR, Nurul Arifin, yang mengusulkan aturan (juknis) tersebut bahkan meminta KPU membuat peraturan yang mengatur berbagai hal sehubungan dengan sarana dan prasarana (alat peraga) menuju “pesta” demokrasi yang lebih "transparan".
Kedepan peran lembaga yang berwenang harus dapat dioptimalkan agar jalannya “pesta” gaya demokrasi di negara kita ini lebih “bermartabat” dimasa yang akan datang, seperti telah dikemukakan juga oleh salah satu anggota komisi II DPR, Nurul Arifin, yang mengusulkan aturan (juknis) tersebut bahkan meminta KPU membuat peraturan yang mengatur berbagai hal sehubungan dengan sarana dan prasarana (alat peraga) menuju “pesta” demokrasi yang lebih "transparan".
Dengan melihat begitu pentingnya peraturan ini (juknis), dan merupakan sebuah keharusan (syarat mutlak), maka sudah sepantasnya para pemilik kebijakan yang memiliki wewenang dapat merumuskan sebuah pembatas dan atau "standar" alat peraga “pesta” demokrasi, sehingga proses awal menuju gaya demokrasi dalam hubungannya dengan kegiatan “kampanye” pengenalan diri dari para calon-calon anggota wakil rakyat dan atau calon-calon pemimpin di negeri ini dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Dan dengan adanya penerapan "standar" alat peraga (juknis), juga dapat meminimalkan kesan “jual” produk seperti yang sering berlaku pada berbagai macam media promosi pada produk-produk hasil produksi pabrik dari sebuah korporasi, dalam usahanya menarik minat sebanyak mungkin calon konsumen untuk membeli produk-produknya (yang bahkan kadang bisa lebih bermartabat).
Akan menjadi sangat "aneh" apabila para calon-calon pemimpin dan atau para calon-calon wakil rakyat dan para wakil rakyat yang telah terpilih juga menyadari sekaligus mengetahui bahwa prediksi "dana kampanye" dari tahun ke tahun akan selalu meningkat secara "drastis" namun "seperti" tidak ada usaha yang gigih untuk memperbaiki "peraturan" dari cara kerja "gaya" demokrasi yang telah berjalan selama ini.
Sedang pada sisi lain, sebagai wakil rakyat dan atau pemimpin, tentu harus dapat mengakomodasi, mengapresiasi masukan-masukan dari seluruh rakyatnya, dan serta wakil rakyat dan atau sebagai pemimpin sudah seharusnya, jika terpilih akan dituntut untuk dapat mengoptimalkan jumlah anggaran Negara yang akan digunakan dalam proses pembangunan, bukan memaksimalkan dalam tanda "petik".
Akan menjadi sangat "aneh" apabila para calon-calon pemimpin dan atau para calon-calon wakil rakyat dan para wakil rakyat yang telah terpilih juga menyadari sekaligus mengetahui bahwa prediksi "dana kampanye" dari tahun ke tahun akan selalu meningkat secara "drastis" namun "seperti" tidak ada usaha yang gigih untuk memperbaiki "peraturan" dari cara kerja "gaya" demokrasi yang telah berjalan selama ini.
Sedang pada sisi lain, sebagai wakil rakyat dan atau pemimpin, tentu harus dapat mengakomodasi, mengapresiasi masukan-masukan dari seluruh rakyatnya, dan serta wakil rakyat dan atau sebagai pemimpin sudah seharusnya, jika terpilih akan dituntut untuk dapat mengoptimalkan jumlah anggaran Negara yang akan digunakan dalam proses pembangunan, bukan memaksimalkan dalam tanda "petik".
Apakah memang peraturan seperti ini sangat "tabu" apabila diusulkan....?
Dalam hukum ekonomi sudah jelas menyebutkan bahwa, “Dengan biaya sekecil mungkin, untuk mendapatkan hasil yang maksimal”. Dengan kata lain, kedepan harapan masyarakat kepada para anggota dewan yang "terhormat" dan atau pemimpin yang terpilih adalah dapat menggunakan anggaran Negara secara efisien, untuk mencapai hasil pembangunan yang optimal.
Bukan berlaku sebaliknya, merogoh “kocek” sedalam mungkin untuk pemenangan kampanye berikutnya...
Dan apabila ini yang terjadi, maka ukuran "demokrasi" bukan dari rakyat untuk rakyat, akan tetapi merupakan sebuah ukuran modal “dagang” yang diterapkan dalam sebuah negara.
Bagaimana mungkin menyatukan dua sisi mata uang, yakni nominal dan logo yang tercetak dalam satu keping logam menjadi satu sisi yang berjalan beriringan.
Efek kedepan dan kebelakang yang sudah pasti ditimbulkan apabila "juknis" alat peraga demokrasi tidak ada adalah adanya penggunaan “kesempatan” dan atau kata “mumpung” untuk tujuan-tujuan yang tidak mengarah kepada sebuah penerapan “demokrasi”. Yang pada akhirnya masyarakatlah yang secara terus menerus akan dijadikan korban dari kata "demokrasi" yang sering di"gema"kan sebagai sebuah system pemerintahan yang sangat membela rakyatnya. Walaupun berbagai "argument" disampaikan dari para pemimpin dan atau para wakil rakyat, akan tetapi tetap saja efeknya belum dapat meminimalkan "citra" negative yang selama ini sudah tersemat apalagi untuk menghilangkan.
Berita-berita “miring” yang menimpa beberapa oknum-oknum anggota dewan dan atau aparatur Negara merupakan hal yang seharusnya dapat diminimalkan bahkan sebisa mungkin dihilangkan sama-sekali guna memperbaiki “citra” aparatur Negara itu sendiri sebagai individu yang menjadi panutan, baik sebagai abdi Negara maupun sebagai individu makhluk sosial di tengah-tengah masyarakat.
Berita-berita “miring” yang menimpa beberapa oknum-oknum anggota dewan dan atau aparatur Negara merupakan hal yang seharusnya dapat diminimalkan bahkan sebisa mungkin dihilangkan sama-sekali guna memperbaiki “citra” aparatur Negara itu sendiri sebagai individu yang menjadi panutan, baik sebagai abdi Negara maupun sebagai individu makhluk sosial di tengah-tengah masyarakat.
Mestinya ini sebagai pembelajaran bagi para pemangku kepentingan dan atau para wakil rakyat kita, bagaimana wajah "pembuka" dari salah satu produk “peraturan” yang sudah kita buat dan disepakati bersama, yang semestinya dapat menjadi acuan serta rujukan pertama dalam berbangsa dan bernegara, namun masih terlihat “antik” sebagai landasan pelaksana kegiatan sebuah "pesta".
Kepada para stakeholder yang membidangi, semestinya merupakan sebuah "PR besar" namun sangat "mudah" untuk segera diselesaikan jalan keluarnya agar kedepan system dari "gaya" demokrasi kita dapat lebih tertata dan tidak berlaku kembali kepada hukum “rimba raya”.
Kepada para stakeholder yang membidangi, semestinya merupakan sebuah "PR besar" namun sangat "mudah" untuk segera diselesaikan jalan keluarnya agar kedepan system dari "gaya" demokrasi kita dapat lebih tertata dan tidak berlaku kembali kepada hukum “rimba raya”.
Demkian artikel blog ini, saya sampaikan kepada para pengunjung semua.
Semoga lebih bermanfaat….
Salam hangat.
0 komentar:
Post a Comment