Apa kabarnya gan dan bro semua...
Begini lho... dalam kesempatan kali ini, saya akan mencoba mengulas sebuah topik yang berkenaan dengan suasana hiruk-pikuk menjelang "pesta" demokrasi yang akan berlangsung masih sekitar..., yah...hitung satu tahunan kedepan ya...?
Suasana pesta ini tentu belum terasa pada lingkungan disekitar kita masing-masing, akan tetapi pada beberapa media elektronik, kita bisa mendapati sudah banyak "penampakan" yang berseliweran dari tokoh-tokoh anak bangsa yang berniat maju dalam usahanya meramaikan bursa calon dari pesta demokrasi bernama "pemilu".
Dari suasana ini, maka tidak ada salahnya kalau saya ingin berbagi pendapat kepada saudara-saudara sebangsa dan setanah air dalam sebuah artikel yang memuat judul "Pak Lurah… ini pesan kami untuk hari esok", judul artikel ini mungkin sangat sederhana namun bagi saya merupakan hal yang sangat menarik, mudah-mudahan ada sedikit manfaat yang terkandung didalamnya.
Kan sekarang lagi rame-ramenya cari teman... hmmm..
Apakah anda lagi perlu teman juga...? hahaha....
Para pengunjung blog yang setia... ternyata, tak terasa bangsa Indonesia telah sampai pada penghujung tahun dimana pasangan Presiden dan Wakil Presiden kita sekarang, Bapak Susilo Bambang Yudoyono dan Bapak Budiono melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya kepada Negara dan bangsa sebagai Presiden dan Wakil Presiden priode jabatan tahun 2009-2013, yang juga merupakan priode jabatan ke-2 bagi Bapak Susilo Bambang Yudoyono sebagai Presiden Republik Indonesia, yang dalam periode jabatan pertama berpasangan dengan Bapak Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden.
Itulah sepenggal perjalanan sejarah Negara Indonesia dalam mengarungi "lautan" kehidupan di planet bumi ini, yang merupakan salah satu dari puluhan Negara di dunia yang menganut system pemerintahan gaya “demokrasi” diplanet bumi, oleh karena itu sesuai dengan UU yang telah dibuat dan disepakati bersama, maka untuk setiap 5 tahun, pemangku jabatan Presiden dan Wakil Presiden harus ada pemilihan kembali, betul bro…?!
Kalo begitu, bagi anda dan saudara-saudara sebangsa dan setanah air, yang sekarang ini masih belum dapat ‘pekerjaan’, hahaha…. Atau belum bisa punya usaha mandiri, ini sebenarnya merupakan ‘lowongan kerja’ yang dikategorikan kesempatan "emas", karena bukan hanya bonafid di seantero jagat ini akan tetapi juga merupakan sebuah rutinitas kegiatan yang memuat tugas dan tanggungjawab yang sangat "istimewa", khsususnya dihamparan negeri berjuluk Nusantara.
Kenapa bisa istimewa ya…? karena apabila dalam suatu proses seleksi calon “pemimpin” ini, saudara-saudara bisa “lulus” dalam berbagai tahapan test “kepatutan” dan “kelayakan” yang diadakan oleh lembaga yang ditunjuk dan atau diberi kewenangan, maka setelah itu secara otomatis (biasanya) seluruh masyarakat akan mengagumi sekaligus menghormati. Bayang-bayang dielu-elukan oleh jutaan penduduk bumi "Nusantara" dari Sabang sampai Merauke sudah pasti bakal anda raih, apalagi yang mengistimewakan bukan hanya kalangan dari masyarakat biasa saja akan tetapi juga turut serta kalangan “high end”, para teknokrat sampai kaum cerdik pandai akan menjadikan saudara sebagai sebuah “ikon” kebanggaan bangsa dan Negara. Berbagai bentuk pengawalanpun akan dihadirkan sesuai peraturan dan perundangan yang berlaku dinegeri ini.
Padahal ini belum benar-benar terpilih lho Bung..., jadi dapat saudara bayangkan sendiri “andai” saudara sendiri yang akhirnya menduduki singgasananya “Lurah” Indonesia.
Jadi tunggu apa lagi…?
Ayo gan and bro…silahkan berpartisipasi menjadi nominatornya…!
Anda menginginkan jalan-jalan gratis ke berbagai belahan dunia di planet bumi ini kan…?, hahaha….
Oleh karena itu, jangan sia-siakan kesempatan ini Bung…. Tunjukan keberanian dan kemampuan saudara untuk menjadi yag terbaik.
Apalagi bagi yang merasa alumni “cum laude” dari sebuah institusi pendidikan ternama, apakah segi financial sangat mutlak berperan…? Saya yakin, masyakarat Indonesia bukanlah masyarakat yang mengutamakan “mata uang” walaupun kalo diberi masih mau, wakawakawaka……
Ayo Bung tunggu apalagi, maju terus Bung…!
Betul dan memang benar... ini bukan satu-satunya jalan menuju sukses namun perlu anda renungkan kembali karena apabila anda termasuk sebagai orang yang memiliki hoby ber“ambisi” besar, apa salahnya berbagi “ide” kepada seluruh komponen masyarakat Indonesia yang sekarang ini sedang menantikan sosok pemimpin laksana “satrio piningit” yang bukan hanya mau dihormati, namun mempunyai sifat "arif bijaksana" membawa kepada pembangunan yang merata dan berkeadilan sosial dari Sabang sampai Merauke, sehingga disegani dan terkenang oleh bangsa-bangsa lain diseluruh penjuru dunia. Dan ini merupakan salah satu puncak "karier" seseorang sekaligus merupakan mahkota kehormatan tertinggi “dunia” yang ada di negeri ini.
Bagaimana Bung….
Harapan masyarakat Indonesia itu sangat-sangat "sederhana", kan... ‘hanya’ menginginkan anda mau berbagi "tips" mengenai bagaimana “masyarakat bisa sejahtera” secara “merata” pada seluruh "lapisan" dari Sabang sampai Merauke…sangat “simple” kan?
Pesan lainnya mungkin masih ada hubungannya dengan istilah pemimpin yang dicita-citakan oleh masyarakat dalam berbangsa dan bernegara yang sering diibaratkan sebagai sosok “satrio piningit” seperti telah disebutkan diatas, yang senantiasa dielu-elukan sepanjang masa (walaupun banyak juga dihujatnya), yakni kita tentu masih ingat akan ketegasan "Bung Karno" dan keluwesan "Soeharto" pada negeri tetangga kita, yang dahulu hendak berniat kurang adjar kepada bangsa dan tanah tumpah darah Indonesia.
Ini ulasan singkatnya bro...
Zaman Soekarno dan Soeharto,
Malaysia tak berani sebut 'indon' Orang Malaysia kerap menyebut Indonesia dengan sebutan 'indon'. Kata-kata ini terasa sebagai pelecehan. Dalam salah satu bahasa, indon bisa diartikan sebagai pelacur. Sebutan indon pun dianggap identik dengan "TKI" dan "pembantu".
Jika orang Indonesia marah, orang Malaysia “mengeles”. Mereka mengatakan sebutan ‘Indon’ hanya merupakan singkatan. Indonesia dinilai terlalu panjang, sehingga disingkat Indon. Dulu mana berani negeri jiran itu lecehkan Indonesia dengan sebutan ‘indon’. Masih jelas teriakan Presiden Soekarno mengobarkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) untuk berperang di perbatasan Sabah dan Serawak tahun 1963. Sejak itulah semboyan “ganyang Malaysia” menjadi populer.
"Kalau kita lapar itu biasa
Kalau kita malu itu djuga biasa
Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang adjar!
Kerahkan pasukan ke Kalimantan, kita hadjar tjetjunguk Malayan itu! Pukul dan sikat djangan sampai tanah dan udara kita diindjak-indjak oleh Malaysian keparat itu..." teriak Soekarno.
Zaman Presiden Soeharto, Indonesia juga dihormati oleh Malaysia. Bahkan di ASEAN, Indonesia dikenal sebagai 'The Big Brother' atau kakak tertua yang dihormati. Hubungan Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Tun Mahatir bin Mohamad juga baik. Mahatir sangat menghormati Presiden Soeharto.
"Pak Harto adalah seorang presiden dari sebuah negara yang besar, tetapi dirinya tidak pernah lupa bahwa antara dua buah negara adalah serumpun bangsa sehingga tidak ingin bermusuhan. Saya merasa terhormat dapat diterima Pak Harto sebagai sahabat", kenang Mahatir dalam buku 'Pak Harto The Untold Stories' terbitan Gramedia Pustaka Utama.
"Kita tidak boleh membandingkan Indonesia dengan Malaysia. Indonesia adalah negara yang luas dengan banyak pulau, jumlah penduduk yang besar dengan suku-suku yang dimiliki. Sedangkan Malaysia adalah negara kecil sehingga kami lebih mudah mengurus sesuatu. Jadi kejayaan Pak Harto lebih besar dibandingkan kejayaan di Malaysia", kata Mahatir tulus.
Kalau sekarang, masihkah pemimpin Malaysia memuji para pemimpin di Indonesia? Atau setidaknya saling menghormati sebagai sesama bangsa yang sederajat…?
Jangan ada lagi kejadian “sipadan” dan “ligitan” yang menerpa bangsa ini.
Karena pada kenyataannya hingga era demokrasi ini, wilayah laut kita… bahkan wilayah udara kita masih belum sepenuhnya dikuasai oleh Bangsa dan Negara Indonesia (coba anda tanyakan pada menteri BUMN sekarang, apa iya...?), apalagi sebagai penyumbang kesejahteraan yang pantas dinikmati sepenuhnya oleh seluruh lapisan masyarakat bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Demikianlah, cuplikan betapa tegas dan beraninya para “founding father” kita dahulu terhadap bangsa dan Negara manapun yang hendak berlaku sekehendak hati kepada Indonesia. kisah ini disarikan dari sini juga disini.
Nah... karena artikel ini berjudul “Pak Lurah… ini pesan kami untuk hari esok”, maka saya akan sedikit mengulas arti "Lurah"nya Indonesia, yakni sesuai fungsi dan tugasnya sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan sesuai UU yang berlaku, dengan saya akan mencoba membandingkan dengan bentuk pemerintahan terkecil yang ada di Negara kita, yang sudah umum kita sebut dengan pemerintahan tingkat “desa”.
Ulasan ini hanya sebagian kecil saja, dan saya hanya melihatnya dari sisi manajemen secara “sederhana”, karena saya berpedoman bahwa bagaimanapun rumitnya sebuah system, itu semua merupakan produk dan kreatifitas manusia sendiri, semua tinggal tergantung kita masing-masing dalam menghadapi dan menyikapinya, karena kalau semua mempunyai tujuan yang sama, dalam pemerintahan ataupun organisasi, yakni sebagai sebuah pengabdian tanpa pamrih, bukan karena menginginkan jabatan tertentu apalagi hanya untuk mencari “uang sampingan” semata, pasti semuanya akan berjalan dengan normal, (kalo sedikit pamrih, pasti ada, wakawakawaka… namanya juga riak-riak kehidupan, ya… sudah pasti ada! dan karena hanya sebatas riak, maka tingkatannyapun tidak bermaksud untuk me”rugi”kan rakyat apalagi sampai me"rugi"kan Negara, dan apalagi dapat membuat "gaduh" suasana berbangsa dan bernegara kita. Yang terpenting jangan sengaja dibuat riak OK…?
Oleh karena itu, marilah kita tanamkan dalam perilaku kita bahwa keberhasilan adalah sebuah proses, baik dari keberuntungan maupun dari hasil kerja keras individu masing-masing, "bukan" karena mem"bodohi" dan atau apalagi saling mem"politik"i sesama bangsa sendiri... wakawakawaka…
Dalam kesempatan ini juga saya ingin sekadar mengingatkan kembali kepada segenap lapisan masyarakat Indonesia, jangan terpancing aksi-aksi "provokasi" apalagi terseret kepada aksi "anarkis", segera konfirmasi kepada pihak-pihak yang saudara anggap lebih mengetahui apabila ada isu-isu negatif, tahan emosi dan amarah sesaat, kemudian bagi para elit politik yang mengikuti lomba "catur", silahkan apabila hendak bermanuver politik tapi hendaknya gunakan cara-cara yang "bermartabat" jangan ada upaya saling menjatuhkan. Berjiwalah ksatria karena apabila yang terjadi saling sikut atau saling menjatuhkan, maka sudah pasti salah satu dan atau beberapa pihak akan dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan tertentu, jagalah kebersamaan "hajatan" kita untuk hari esok yang lebih adil dan sejahtera.
Terkhusus kepada para elite politik, harus sadar "jangan terlalu haus" kekuasaan, karena bangsa Indonesia harus "cukup" dengan pengalaman masa lalu yang kelam dan memilukan, yakni tragedi "G 30 September" yang merupakan "hasil" dari permainan "konspirasi asing" dengan melihat situasi dan keadaan generasi Bangsa Indonesia yang "sangat haus" kekuasaan pada waktu itu.
Dan cara adu-domba kaum imperialis, Kolonialisme sudah diterapkan dibanyak negara (juga dalam perusahaan), prahara negeri Palestina adalah pemandangan nyata, dimana sang "motor" dari Liga Arab, Negara dengan cadangan minyak bumi terbesar dunia, Saudi Arabia "tidak pernah bersuara" walaupun ketidak adilan terjadi didepan hidung. Juga tragedi tuntutan demokrasi yang terjadi secara berantai dinegara-negara kawasan tersebut (Timur Tengah), apa semua itu terjadi tanpa adanya pembuat "api", siapa "aktor" dan siapa yang diuntungkan dikawasan kaya akan cadangan minyak bumi tersebut, jelas... tidak lain dan tidak bukan adalah perusahaan minyak asing, memanfaatkan keadaan "chaos", untuk memungkinkan "sedot" minyak seenaknya, "mumpung" yang punya lagi pada kelahi sendiri, jadi tak mengherankan jika sebuah negara "bisa dijual" dan "terjual" kepada pihak "asing" kalau pemimpin dan para elit politiknya sudah di".?.?.?", walaupun huru-hara terjadi didepan mata, namun "tidak melihat". Semoga Indonesia dalam skala kecil pun tidak terjadi.
Sekali lagi marilah kita sama-sama tanamkan kesadaran pada diri masing-masing akan peran yang telah digariskan oleh Sang Maha Pemberi Hidup dalam kehidupan ini. Yang terutama dan terpenting adalah selalu berusaha dengan cara-cara "bermartabat" yang disertai dengan semangat “kerja keras”, walaupun sering jatuh tapi harus siap untuk bangun kembali.
Ok...mari kita mulai…
Gambaran "Lurah" Indonesia
Presiden
Untuk daftar Presiden Indonesia lihat disini, lihat Daftar Wakil Presiden Indonesia.
Presiden Indonesia (nama jabatan resmi: Presiden Republik Indonesia) adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan Indonesia. Sebagai kepala negara, Presiden adalah simbol resmi negara Indonesia di dunia. Sebagai kepala pemerintahan, Presiden dibantu oleh wakil presiden dan menteri-menteri dalam kabinet, memegang kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintah sehari-hari. Presiden (dan Wakil Presiden) menjabat selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan. Ia digaji sekitar 60 juta per bulan.[1]
Wewenang, kewajiban dan hak
Wewenang, kewajiban, dan hak Presiden antara lain:
Pemilihan
Menurut Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 6A, Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). Sebelumnya, Presiden (dan Wakil Presiden) dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dengan adanya Perubahan UUD 1945, Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, dan kedudukan antara Presiden dan MPR adalah setara.
Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelumnya. Pilpres pertama kali di Indonesia diselenggarakan pada tahun 2004. Jika dalam Pilpres didapat suara >50% jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20% di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari separuh jumlah provinsi Indonesia, maka dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Jika tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, maka pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam Pilpres mengikuti Pilpres Putaran Kedua. Pasangan yang memperoleh suara terbanyak dalam Pilpres Putaran Kedua dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih.
Pemilihan Wakil Presiden yang lowong
Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, Presiden mengajukan 2 calon Wapres kepada MPR. Selambat-lambatnya, dalam waktu 60 hari MPR menyelenggarakan Sidang MPR untuk memilih Wapres.
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang lowong
Dalam hal Presiden dan Wakil Presiden keduanya berhalangan tetap secara bersamaan, maka partai politik (atau gabungan partai politik) yang pasangan Calon Presiden/Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam Pilpres sebelumnya, mengusulkan pasangan calon Presiden/Wakil Presiden kepada MPR. Selambat-lambatnya dalam waktu 30 hari, MPR menyelenggarakan Sidang MPR untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Gambaran "Lurah dan atau Kepala Desa" sebagai kepala pemerintahan terkecil di Negara kita
Lurah
Lurah merupakan pimpinan dari Kelurahan sebagai Perangkat Daerah Kabupaten atau Kota. Seorang Lurah berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Camat.
Tugas Lurah adalah melaksanakan Kewenangan Pemerintah yang dilimpahkan oleh Camat sesuai karakteristik wilayah dan kebutuhan Daerah serta melaksanakan Pemerintahan lainnya berdasarkan ketentuan Peraturan perundang-undangan.
Istilah Lurah seringkali rancu dengan jabatan Kepala Desa. Memang, di Jawa pada umumnya, secara historis pemimpin dari sebuah desa dikenal dengan istilah Lurah. Namun dalam konteks Pemerintahan Indonesia, sebuah Kelurahan dipimpin oleh Lurah, sedang Desa dipimpin oleh Kepala Desa. Tentu saja keduanya berbeda, karena Lurah adalah Pegawai Negeri Sipil yang bertanggungjawab kepada Camat; sedang Kepala Desa bisa dijabat siapa saja yang memenuhi syarat, dan dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Desa (Pilkades).
Hak, Wewenang dan Kewajiban Kepala Kelurahan
Desa
Desa, atau udik, menurut definisi "universal", adalah sebuah aglomerasi permukiman di area perdesaan (rural). Di Indonesia, istilah desa adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah kecamatan, yang dipimpin oleh Kepala Desa. Sebuah desa merupakan kumpulan dari beberapa unit pemukiman kecil yang disebut kampung (Banten, Jawa Barat) atau dusun (Yogyakarta) atau banjar (Bali) atau jorong (Sumatera Barat). Kepala Desa dapat disebut dengan nama lain misalnya Kepala Kampung atau Petinggi di Kalimantan Timur, Klèbun di Madura, Pambakal di Kalimantan Selatan, Hukum Tua di Sulawesi Utara.
Sejak diberlakukannya "otonomi daerah", istilah "desa" dapat disebut dengan nama lain, misalnya di Sumatera Barat disebut dengan istilah "nagari", di Aceh dengan istilah "gampong", di Papua dan Kutai Barat, Kalimantan Timur disebut dengan istilah "kampung". Begitu pula segala istilah dan institusi di desa dapat disebut dengan nama lain sesuai dengan karakteristik adat istiadat desa tersebut. Hal ini merupakan salah satu pengakuan dan penghormatan Pemerintah terhadap asal-usul dan adat istiadat setempat.
Desa di Indonesia
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, disebut bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desa bukanlah bawahan kecamatan, karena kecamatan merupakan bagian dari perangkat daerah kabupaten/kota, dan desa bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda dengan Kelurahan, Desa memiliki hak mengatur wilayahnya lebih luas. Namun dalam perkembangannya, sebuah desa dapat diubah statusnya menjadi kelurahan.
Kewenangan desa adalah:
Pemerintahan Desa
Desa memiliki pemerintahan sendiri. Pemerintahan Desa terdiri atas Pemerintah Desa (yang meliputi Kepala Desa dan Perangkat Desa) dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Salah satu contoh hak, wewenang dan kewajiban kepala desa sesuai perda pada salah satu daerah tingkat II di Indonesia (Maluku Tenggara), perda NOMOR 18 TAHUN 1992, tentang hak, wewenang dan kewajiban kepala desa/kepala kelurahan sebagai pimpinan pemerintahan desa/pemerintahan kelurahan.
Hak, Wewenang dan Kewajiban Kepala Desa
1. Kepala Desa sebagai Pimpinan Pemerintahan Desa berhak, berwewenang dan berkewajiban menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dan merupakan penyelenggara dan penanggungjawab utama di bidang Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan dalam rangka penyelenggaraan urusan Pemerintahan Desa, Pemerintahan Daerah dan urusan Pemerintahan Umum termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menumbuhkan serta mengembangkan jiwa gotong royong masyarakat sebagai sendi utama pelaksanaan Pemerintahan Desa;
Begini lho... dalam kesempatan kali ini, saya akan mencoba mengulas sebuah topik yang berkenaan dengan suasana hiruk-pikuk menjelang "pesta" demokrasi yang akan berlangsung masih sekitar..., yah...hitung satu tahunan kedepan ya...?
Suasana pesta ini tentu belum terasa pada lingkungan disekitar kita masing-masing, akan tetapi pada beberapa media elektronik, kita bisa mendapati sudah banyak "penampakan" yang berseliweran dari tokoh-tokoh anak bangsa yang berniat maju dalam usahanya meramaikan bursa calon dari pesta demokrasi bernama "pemilu".
Dari suasana ini, maka tidak ada salahnya kalau saya ingin berbagi pendapat kepada saudara-saudara sebangsa dan setanah air dalam sebuah artikel yang memuat judul "Pak Lurah… ini pesan kami untuk hari esok", judul artikel ini mungkin sangat sederhana namun bagi saya merupakan hal yang sangat menarik, mudah-mudahan ada sedikit manfaat yang terkandung didalamnya.
Kan sekarang lagi rame-ramenya cari teman... hmmm..
Apakah anda lagi perlu teman juga...? hahaha....
Para pengunjung blog yang setia... ternyata, tak terasa bangsa Indonesia telah sampai pada penghujung tahun dimana pasangan Presiden dan Wakil Presiden kita sekarang, Bapak Susilo Bambang Yudoyono dan Bapak Budiono melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya kepada Negara dan bangsa sebagai Presiden dan Wakil Presiden priode jabatan tahun 2009-2013, yang juga merupakan priode jabatan ke-2 bagi Bapak Susilo Bambang Yudoyono sebagai Presiden Republik Indonesia, yang dalam periode jabatan pertama berpasangan dengan Bapak Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden.
Itulah sepenggal perjalanan sejarah Negara Indonesia dalam mengarungi "lautan" kehidupan di planet bumi ini, yang merupakan salah satu dari puluhan Negara di dunia yang menganut system pemerintahan gaya “demokrasi” diplanet bumi, oleh karena itu sesuai dengan UU yang telah dibuat dan disepakati bersama, maka untuk setiap 5 tahun, pemangku jabatan Presiden dan Wakil Presiden harus ada pemilihan kembali, betul bro…?!
Kalo begitu, bagi anda dan saudara-saudara sebangsa dan setanah air, yang sekarang ini masih belum dapat ‘pekerjaan’, hahaha…. Atau belum bisa punya usaha mandiri, ini sebenarnya merupakan ‘lowongan kerja’ yang dikategorikan kesempatan "emas", karena bukan hanya bonafid di seantero jagat ini akan tetapi juga merupakan sebuah rutinitas kegiatan yang memuat tugas dan tanggungjawab yang sangat "istimewa", khsususnya dihamparan negeri berjuluk Nusantara.
Kenapa bisa istimewa ya…? karena apabila dalam suatu proses seleksi calon “pemimpin” ini, saudara-saudara bisa “lulus” dalam berbagai tahapan test “kepatutan” dan “kelayakan” yang diadakan oleh lembaga yang ditunjuk dan atau diberi kewenangan, maka setelah itu secara otomatis (biasanya) seluruh masyarakat akan mengagumi sekaligus menghormati. Bayang-bayang dielu-elukan oleh jutaan penduduk bumi "Nusantara" dari Sabang sampai Merauke sudah pasti bakal anda raih, apalagi yang mengistimewakan bukan hanya kalangan dari masyarakat biasa saja akan tetapi juga turut serta kalangan “high end”, para teknokrat sampai kaum cerdik pandai akan menjadikan saudara sebagai sebuah “ikon” kebanggaan bangsa dan Negara. Berbagai bentuk pengawalanpun akan dihadirkan sesuai peraturan dan perundangan yang berlaku dinegeri ini.
Padahal ini belum benar-benar terpilih lho Bung..., jadi dapat saudara bayangkan sendiri “andai” saudara sendiri yang akhirnya menduduki singgasananya “Lurah” Indonesia.
Jadi tunggu apa lagi…?
Ayo gan and bro…silahkan berpartisipasi menjadi nominatornya…!
Anda menginginkan jalan-jalan gratis ke berbagai belahan dunia di planet bumi ini kan…?, hahaha….
Oleh karena itu, jangan sia-siakan kesempatan ini Bung…. Tunjukan keberanian dan kemampuan saudara untuk menjadi yag terbaik.
Apalagi bagi yang merasa alumni “cum laude” dari sebuah institusi pendidikan ternama, apakah segi financial sangat mutlak berperan…? Saya yakin, masyakarat Indonesia bukanlah masyarakat yang mengutamakan “mata uang” walaupun kalo diberi masih mau, wakawakawaka……
Ayo Bung tunggu apalagi, maju terus Bung…!
Betul dan memang benar... ini bukan satu-satunya jalan menuju sukses namun perlu anda renungkan kembali karena apabila anda termasuk sebagai orang yang memiliki hoby ber“ambisi” besar, apa salahnya berbagi “ide” kepada seluruh komponen masyarakat Indonesia yang sekarang ini sedang menantikan sosok pemimpin laksana “satrio piningit” yang bukan hanya mau dihormati, namun mempunyai sifat "arif bijaksana" membawa kepada pembangunan yang merata dan berkeadilan sosial dari Sabang sampai Merauke, sehingga disegani dan terkenang oleh bangsa-bangsa lain diseluruh penjuru dunia. Dan ini merupakan salah satu puncak "karier" seseorang sekaligus merupakan mahkota kehormatan tertinggi “dunia” yang ada di negeri ini.
Bagaimana Bung….
Harapan masyarakat Indonesia itu sangat-sangat "sederhana", kan... ‘hanya’ menginginkan anda mau berbagi "tips" mengenai bagaimana “masyarakat bisa sejahtera” secara “merata” pada seluruh "lapisan" dari Sabang sampai Merauke…sangat “simple” kan?
Pesan lainnya mungkin masih ada hubungannya dengan istilah pemimpin yang dicita-citakan oleh masyarakat dalam berbangsa dan bernegara yang sering diibaratkan sebagai sosok “satrio piningit” seperti telah disebutkan diatas, yang senantiasa dielu-elukan sepanjang masa (walaupun banyak juga dihujatnya), yakni kita tentu masih ingat akan ketegasan "Bung Karno" dan keluwesan "Soeharto" pada negeri tetangga kita, yang dahulu hendak berniat kurang adjar kepada bangsa dan tanah tumpah darah Indonesia.
Ini ulasan singkatnya bro...
Zaman Soekarno dan Soeharto,
Malaysia tak berani sebut 'indon' Orang Malaysia kerap menyebut Indonesia dengan sebutan 'indon'. Kata-kata ini terasa sebagai pelecehan. Dalam salah satu bahasa, indon bisa diartikan sebagai pelacur. Sebutan indon pun dianggap identik dengan "TKI" dan "pembantu".
Jika orang Indonesia marah, orang Malaysia “mengeles”. Mereka mengatakan sebutan ‘Indon’ hanya merupakan singkatan. Indonesia dinilai terlalu panjang, sehingga disingkat Indon. Dulu mana berani negeri jiran itu lecehkan Indonesia dengan sebutan ‘indon’. Masih jelas teriakan Presiden Soekarno mengobarkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) untuk berperang di perbatasan Sabah dan Serawak tahun 1963. Sejak itulah semboyan “ganyang Malaysia” menjadi populer.
"Kalau kita lapar itu biasa
Kalau kita malu itu djuga biasa
Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang adjar!
Kerahkan pasukan ke Kalimantan, kita hadjar tjetjunguk Malayan itu! Pukul dan sikat djangan sampai tanah dan udara kita diindjak-indjak oleh Malaysian keparat itu..." teriak Soekarno.
Zaman Presiden Soeharto, Indonesia juga dihormati oleh Malaysia. Bahkan di ASEAN, Indonesia dikenal sebagai 'The Big Brother' atau kakak tertua yang dihormati. Hubungan Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Tun Mahatir bin Mohamad juga baik. Mahatir sangat menghormati Presiden Soeharto.
"Pak Harto adalah seorang presiden dari sebuah negara yang besar, tetapi dirinya tidak pernah lupa bahwa antara dua buah negara adalah serumpun bangsa sehingga tidak ingin bermusuhan. Saya merasa terhormat dapat diterima Pak Harto sebagai sahabat", kenang Mahatir dalam buku 'Pak Harto The Untold Stories' terbitan Gramedia Pustaka Utama.
"Kita tidak boleh membandingkan Indonesia dengan Malaysia. Indonesia adalah negara yang luas dengan banyak pulau, jumlah penduduk yang besar dengan suku-suku yang dimiliki. Sedangkan Malaysia adalah negara kecil sehingga kami lebih mudah mengurus sesuatu. Jadi kejayaan Pak Harto lebih besar dibandingkan kejayaan di Malaysia", kata Mahatir tulus.
Kalau sekarang, masihkah pemimpin Malaysia memuji para pemimpin di Indonesia? Atau setidaknya saling menghormati sebagai sesama bangsa yang sederajat…?
Jangan ada lagi kejadian “sipadan” dan “ligitan” yang menerpa bangsa ini.
Karena pada kenyataannya hingga era demokrasi ini, wilayah laut kita… bahkan wilayah udara kita masih belum sepenuhnya dikuasai oleh Bangsa dan Negara Indonesia (coba anda tanyakan pada menteri BUMN sekarang, apa iya...?), apalagi sebagai penyumbang kesejahteraan yang pantas dinikmati sepenuhnya oleh seluruh lapisan masyarakat bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Demikianlah, cuplikan betapa tegas dan beraninya para “founding father” kita dahulu terhadap bangsa dan Negara manapun yang hendak berlaku sekehendak hati kepada Indonesia. kisah ini disarikan dari sini juga disini.
Nah... karena artikel ini berjudul “Pak Lurah… ini pesan kami untuk hari esok”, maka saya akan sedikit mengulas arti "Lurah"nya Indonesia, yakni sesuai fungsi dan tugasnya sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan sesuai UU yang berlaku, dengan saya akan mencoba membandingkan dengan bentuk pemerintahan terkecil yang ada di Negara kita, yang sudah umum kita sebut dengan pemerintahan tingkat “desa”.
Ulasan ini hanya sebagian kecil saja, dan saya hanya melihatnya dari sisi manajemen secara “sederhana”, karena saya berpedoman bahwa bagaimanapun rumitnya sebuah system, itu semua merupakan produk dan kreatifitas manusia sendiri, semua tinggal tergantung kita masing-masing dalam menghadapi dan menyikapinya, karena kalau semua mempunyai tujuan yang sama, dalam pemerintahan ataupun organisasi, yakni sebagai sebuah pengabdian tanpa pamrih, bukan karena menginginkan jabatan tertentu apalagi hanya untuk mencari “uang sampingan” semata, pasti semuanya akan berjalan dengan normal, (kalo sedikit pamrih, pasti ada, wakawakawaka… namanya juga riak-riak kehidupan, ya… sudah pasti ada! dan karena hanya sebatas riak, maka tingkatannyapun tidak bermaksud untuk me”rugi”kan rakyat apalagi sampai me"rugi"kan Negara, dan apalagi dapat membuat "gaduh" suasana berbangsa dan bernegara kita. Yang terpenting jangan sengaja dibuat riak OK…?
Oleh karena itu, marilah kita tanamkan dalam perilaku kita bahwa keberhasilan adalah sebuah proses, baik dari keberuntungan maupun dari hasil kerja keras individu masing-masing, "bukan" karena mem"bodohi" dan atau apalagi saling mem"politik"i sesama bangsa sendiri... wakawakawaka…
Dalam kesempatan ini juga saya ingin sekadar mengingatkan kembali kepada segenap lapisan masyarakat Indonesia, jangan terpancing aksi-aksi "provokasi" apalagi terseret kepada aksi "anarkis", segera konfirmasi kepada pihak-pihak yang saudara anggap lebih mengetahui apabila ada isu-isu negatif, tahan emosi dan amarah sesaat, kemudian bagi para elit politik yang mengikuti lomba "catur", silahkan apabila hendak bermanuver politik tapi hendaknya gunakan cara-cara yang "bermartabat" jangan ada upaya saling menjatuhkan. Berjiwalah ksatria karena apabila yang terjadi saling sikut atau saling menjatuhkan, maka sudah pasti salah satu dan atau beberapa pihak akan dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan tertentu, jagalah kebersamaan "hajatan" kita untuk hari esok yang lebih adil dan sejahtera.
Terkhusus kepada para elite politik, harus sadar "jangan terlalu haus" kekuasaan, karena bangsa Indonesia harus "cukup" dengan pengalaman masa lalu yang kelam dan memilukan, yakni tragedi "G 30 September" yang merupakan "hasil" dari permainan "konspirasi asing" dengan melihat situasi dan keadaan generasi Bangsa Indonesia yang "sangat haus" kekuasaan pada waktu itu.
Dan cara adu-domba kaum imperialis, Kolonialisme sudah diterapkan dibanyak negara (juga dalam perusahaan), prahara negeri Palestina adalah pemandangan nyata, dimana sang "motor" dari Liga Arab, Negara dengan cadangan minyak bumi terbesar dunia, Saudi Arabia "tidak pernah bersuara" walaupun ketidak adilan terjadi didepan hidung. Juga tragedi tuntutan demokrasi yang terjadi secara berantai dinegara-negara kawasan tersebut (Timur Tengah), apa semua itu terjadi tanpa adanya pembuat "api", siapa "aktor" dan siapa yang diuntungkan dikawasan kaya akan cadangan minyak bumi tersebut, jelas... tidak lain dan tidak bukan adalah perusahaan minyak asing, memanfaatkan keadaan "chaos", untuk memungkinkan "sedot" minyak seenaknya, "mumpung" yang punya lagi pada kelahi sendiri, jadi tak mengherankan jika sebuah negara "bisa dijual" dan "terjual" kepada pihak "asing" kalau pemimpin dan para elit politiknya sudah di".?.?.?", walaupun huru-hara terjadi didepan mata, namun "tidak melihat". Semoga Indonesia dalam skala kecil pun tidak terjadi.
Sekali lagi marilah kita sama-sama tanamkan kesadaran pada diri masing-masing akan peran yang telah digariskan oleh Sang Maha Pemberi Hidup dalam kehidupan ini. Yang terutama dan terpenting adalah selalu berusaha dengan cara-cara "bermartabat" yang disertai dengan semangat “kerja keras”, walaupun sering jatuh tapi harus siap untuk bangun kembali.
Ok...mari kita mulai…
Gambaran "Lurah" Indonesia
Presiden
Untuk daftar Presiden Indonesia lihat disini, lihat Daftar Wakil Presiden Indonesia.
Presiden Indonesia (nama jabatan resmi: Presiden Republik Indonesia) adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan Indonesia. Sebagai kepala negara, Presiden adalah simbol resmi negara Indonesia di dunia. Sebagai kepala pemerintahan, Presiden dibantu oleh wakil presiden dan menteri-menteri dalam kabinet, memegang kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintah sehari-hari. Presiden (dan Wakil Presiden) menjabat selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan. Ia digaji sekitar 60 juta per bulan.[1]
Wewenang, kewajiban dan hak
Wewenang, kewajiban, dan hak Presiden antara lain:
- Memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD Memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara
- Mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
- Presiden melakukan pembahasan dan pemberian persetujuan atas RUU bersama DPR serta mengesahkan RUU menjadi UU.
- Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (dalam kegentingan yang memaksa)
- Menetapkan Peraturan Pemerintah.
- Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri.
- Menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan DPR.
- Membuat perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan DPR Menyatakan keadaan bahaya.
- Mengangkat duta dan konsul. Dalam mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR.
- Menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR.
- Memberi grasi, rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung
- Memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR
- Memberi gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lainnya yang diatur dengan UU
- Meresmikan anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah
- Menetapkan hakim agung dari calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dan disetujui DPR
- Menetapkan hakim konstitusi dari calon yang diusulkan Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung
- Mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial dengan persetujuan DPR.
Pemilihan
Menurut Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 6A, Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). Sebelumnya, Presiden (dan Wakil Presiden) dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dengan adanya Perubahan UUD 1945, Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, dan kedudukan antara Presiden dan MPR adalah setara.
Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelumnya. Pilpres pertama kali di Indonesia diselenggarakan pada tahun 2004. Jika dalam Pilpres didapat suara >50% jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20% di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari separuh jumlah provinsi Indonesia, maka dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Jika tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, maka pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam Pilpres mengikuti Pilpres Putaran Kedua. Pasangan yang memperoleh suara terbanyak dalam Pilpres Putaran Kedua dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih.
Pemilihan Wakil Presiden yang lowong
Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, Presiden mengajukan 2 calon Wapres kepada MPR. Selambat-lambatnya, dalam waktu 60 hari MPR menyelenggarakan Sidang MPR untuk memilih Wapres.
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang lowong
Dalam hal Presiden dan Wakil Presiden keduanya berhalangan tetap secara bersamaan, maka partai politik (atau gabungan partai politik) yang pasangan Calon Presiden/Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam Pilpres sebelumnya, mengusulkan pasangan calon Presiden/Wakil Presiden kepada MPR. Selambat-lambatnya dalam waktu 30 hari, MPR menyelenggarakan Sidang MPR untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Gambaran "Lurah dan atau Kepala Desa" sebagai kepala pemerintahan terkecil di Negara kita
Lurah
Lurah merupakan pimpinan dari Kelurahan sebagai Perangkat Daerah Kabupaten atau Kota. Seorang Lurah berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Camat.
Tugas Lurah adalah melaksanakan Kewenangan Pemerintah yang dilimpahkan oleh Camat sesuai karakteristik wilayah dan kebutuhan Daerah serta melaksanakan Pemerintahan lainnya berdasarkan ketentuan Peraturan perundang-undangan.
Istilah Lurah seringkali rancu dengan jabatan Kepala Desa. Memang, di Jawa pada umumnya, secara historis pemimpin dari sebuah desa dikenal dengan istilah Lurah. Namun dalam konteks Pemerintahan Indonesia, sebuah Kelurahan dipimpin oleh Lurah, sedang Desa dipimpin oleh Kepala Desa. Tentu saja keduanya berbeda, karena Lurah adalah Pegawai Negeri Sipil yang bertanggungjawab kepada Camat; sedang Kepala Desa bisa dijabat siapa saja yang memenuhi syarat, dan dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Desa (Pilkades).
Hak, Wewenang dan Kewajiban Kepala Kelurahan
- Kepala Kelurahan sebagai Pimpinan Pemerintahan Kelurahan menyelenggarakan Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan dalam rangka penyelenggaraan urusan Pemerintahan Daerah dan urusan Pemerintahan Umum termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya Kepala Kelurahan sebagai penanggungjawab utama dibidang pembangunan dibantu oleh Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa.
- Kepala Kelurahan dalam penyelenggaraan urusan Pemerintahan Umum mempunyai hak, wewenang dan kewajiban yang sama sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 Peraturan Daerah ini.
Desa
Desa, atau udik, menurut definisi "universal", adalah sebuah aglomerasi permukiman di area perdesaan (rural). Di Indonesia, istilah desa adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah kecamatan, yang dipimpin oleh Kepala Desa. Sebuah desa merupakan kumpulan dari beberapa unit pemukiman kecil yang disebut kampung (Banten, Jawa Barat) atau dusun (Yogyakarta) atau banjar (Bali) atau jorong (Sumatera Barat). Kepala Desa dapat disebut dengan nama lain misalnya Kepala Kampung atau Petinggi di Kalimantan Timur, Klèbun di Madura, Pambakal di Kalimantan Selatan, Hukum Tua di Sulawesi Utara.
Sejak diberlakukannya "otonomi daerah", istilah "desa" dapat disebut dengan nama lain, misalnya di Sumatera Barat disebut dengan istilah "nagari", di Aceh dengan istilah "gampong", di Papua dan Kutai Barat, Kalimantan Timur disebut dengan istilah "kampung". Begitu pula segala istilah dan institusi di desa dapat disebut dengan nama lain sesuai dengan karakteristik adat istiadat desa tersebut. Hal ini merupakan salah satu pengakuan dan penghormatan Pemerintah terhadap asal-usul dan adat istiadat setempat.
Desa di Indonesia
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, disebut bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desa bukanlah bawahan kecamatan, karena kecamatan merupakan bagian dari perangkat daerah kabupaten/kota, dan desa bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda dengan Kelurahan, Desa memiliki hak mengatur wilayahnya lebih luas. Namun dalam perkembangannya, sebuah desa dapat diubah statusnya menjadi kelurahan.
Kewenangan desa adalah:
- Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa
- Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, yakni urusan pemerintahan yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan masyarakat.
- Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
- Urusan pemerintahan lainnya yang diserahkan kepada desa.
Pemerintahan Desa
Desa memiliki pemerintahan sendiri. Pemerintahan Desa terdiri atas Pemerintah Desa (yang meliputi Kepala Desa dan Perangkat Desa) dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Salah satu contoh hak, wewenang dan kewajiban kepala desa sesuai perda pada salah satu daerah tingkat II di Indonesia (Maluku Tenggara), perda NOMOR 18 TAHUN 1992, tentang hak, wewenang dan kewajiban kepala desa/kepala kelurahan sebagai pimpinan pemerintahan desa/pemerintahan kelurahan.
Hak, Wewenang dan Kewajiban Kepala Desa
1. Kepala Desa sebagai Pimpinan Pemerintahan Desa berhak, berwewenang dan berkewajiban menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dan merupakan penyelenggara dan penanggungjawab utama di bidang Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan dalam rangka penyelenggaraan urusan Pemerintahan Desa, Pemerintahan Daerah dan urusan Pemerintahan Umum termasuk pembinaan ketentraman dan ketertiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menumbuhkan serta mengembangkan jiwa gotong royong masyarakat sebagai sendi utama pelaksanaan Pemerintahan Desa;
2. Kepala Desa dalam menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri dibidang Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan mempunyai hak, wewenang dan Kewajiban sebagai berikut:
· Hak Kepala Desa:
· Wewenang Kepala Desa:
3. Dalam melakukan tugas dan kewajibannya Kepala Desa sebagai penanggungjawab utama dibidang Pembangunan dibantu oleh Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa.
4. Kepala Desa sebagai penyelenggara dan penanggungjawab utama dibidang Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan dalam rangka menyelenggarakan urusan Pemerintahan Daerah dan Pemerintahan Umum mempunyai hak, wewenang dan Kewajiban sebagai berikut:
· Hak Kepala Desa:
· Wewenang Kepala Desa:
· Kewajiban Kepala Desa:
Dari kedua gambaran bentuk pemerintahan yang ada pada Negara Indoesia diatas, maka bisa digaris bawahi bahwa, inti tugas dan tanggungjawabnya terlihat tidak begitu jauh berbeda, hanya lingkup dan skala saja yang membuat tingkat "kerumitan" dan "ekstra" kehati-hatian yang lebih, begitu juga pada bentuk pemerintahan pada daerah tingkat I dan daerah tingkat II.
Dengan gambaran ini pula apabila anda sempat memperhatikan susunan dalam berbagai struktur organisasi pemerintahan, maka ada benang merah yang dapat ditarik menjadi garis lurus, karena ini merupakan sebuah jabatan 'strategis' dari sebuah 'komando', baik pada tingkatan kecil (Desa dan atau Kelurahan) maupun pada tingkatan yang lebih tinggi (Kenegaraan), yang tentu lebih luas dari tingkatan pasukan dalam kedinasan militer maupun pada tingkatan kedinasan sipil diberbagai bidang yang ada.
Inti benang merahnya adalah, adanya individu pemangku jabatan "strategis" sebagai penentu sebuah "komando" pada suatu Negara. Dengan adanya pemahaman seperti ini, maka kita sudah pasti akan terbawa kepada sebuah istilah “kalau kepalanya lempeng`, maka lempeng` juga anggota badan dan kakinya”, dalam arti luasnya adalah andai individu sebagai calon pemimpin (kepala) mengalami proses menjadi pemimpin (kepala) dengan proses yang bersih, jujur, adil serta berjiwa "intelek", maka bisa dipastikan “anggota badan” dan “kaki”nya akan sama atau tidak jauh berbeda dengan proses yang terjadi pada pemimpin pemangku "strategis" tersebut sebagai “kepala”.
Lho ga luchu kan...?! kalau kepalanya "lurus", anak buahnya berkelok-kelok?, bisa me"malukan...
Suatu jabatan memang masih sangat digandrungi oleh sebagian masyarakat kita, apalagi jabatan “lurah” atau “kepala desa” di masyarakat yang merupakan jabatan tertinggi dalam lingkup bentuk pemerintahan terkecil di Negara kita... Indonesia, walaupun jaman sudah mulai bergeser kearah keterbukaan informasi yang transparan, namun semua ini belum berpengaruh di umumnya masyarakat kita. Dan ini biasanya juga dikaitkan dengan adanya tanda "ketokohan" dari individu tersebut dan atau memiliki status sosial yang berbeda dari lingkungan sekitarnya. Posisi inipun masih lebih ber"gengsi" dari sebutan “saudagar” kaya pada suatu wilayah yang sama, mengapa demikian…?
Cobalah anda tanyakan kepada para ahli dibidang ilmu Sosiologi, mungkin akan mendapatkan jawaban yang pasti… kalau pendapat saya seperti ini, kultur budaya masyarakat kita adalah lebih dekat pada system kerajaan atau system "monarki", dimana pada jaman dahulu keagungan "sang raja” adalah segala-galanya ini berbeda dengan budaya pada masyarakat di negara-negara barat yang telah bergeser kepada budaya masyarakat yang lebih mengedepankan kemandirian diri-sendiri (korporasi) daripada bekerja ataupun mengabdi kepada Negara, walaupun di negara-negara maju tersebut, posisi-posisi dalam pemerintahan masih juga menjadi incaran anggota masyarakat akan tetapi prosentasenya lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara yang termasuk dalam kategori negara berkembang, yang masih menganggap jabatan pada pemerintahan merupakan jabatan “prestisius” dan mempunyai nilai “gengsi” tinggi, apalagi kalau mendapat sebutan kata "pejabat".
Dengan pemahaman umum yang "kadang" masih seperti ini, maka bagi anggota masyarakat yang bisa mendapatkan posisi ber”gengsi” tersebut, kadang dapat melahirkan pemikiran atau pemahaman untuk meminta di”hormati” bahkan ada yang berlaku seperti tahan “kritik” dari anggota masyarakatnya seperti layaknya jaman raja-raja dahulu. Kemudian untuk mendapatkan posisi inipun kadang masih ada yang menempuh dengan "menghalalkan" segala cara. Nauzubillah...
Akibat yang lebih tidak mengenakan hati dari pemahaman seperti ini adalah peran dan posisi sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat menjadi bisa “kabur” dan “buram”, sehingga kadang masyarakat dapat dianggap sebagai “sapi perah” yang harus membayar “upeti” dalam setiap urusan yang menyangkut dengan pengurusan berbagai dokumen kenegaraan.
Sifat pemberi informasi sebagai pelayan publikpun terkadang seperti "gelap" dengan minimnya tingkat sosialisasi pada suatu permasalahan. Seolah-olah semua bagian bahan-bahan pelayanan public yang ada pada Negara, hanya milik segelintir individu saja yang diperbolehkan mengakses. Ini sangat disayangkan karena Negara ini katanya sudah memakai system pemerintahan yang “demokratis” akan tetapi dalam pelaksanaan tugasnya (pelayanan public), masih ada sebagian individu abdi Negara dan abdi masyarakat yang lebih lekat ke cara kerja jaman “monarki” dahulu.
Peran pemimpin sebagai pengendali "strategis" masih jauh dari harapan masyarakat pada umumnya apalagi pada daerah-daerah perbatasan atau pulau-pulau terluar dari kepulauan nusantara ini. Bangsa Indonesia yang memiliki bentangan pulau-pulau yang begitu luas, namun tingkat kemajuannya masih terasa “timpang” antara daerah perkotaan dan "kota besar" dengan daerah terpencil apalagi untuk daerah-daerah pinggiran dan atau perbatasan masih sangat terasa, minimnya "perhatian pengendali strategis" baik pada tingkatan Nasional yang ber"sinergi" dengan tingkatan di daerah-daerah merupakan faktor penghambat "utama" dalam upayanya menuju pemerataan hasil-hasil pembangunan.
Kejadian rusuh “puncak jaya” di propinsi Irian Jaya (salah satu daerah kaya sumber daya alam) beberapa bulan yang lalu merupakan salah satu dari “gunung es” persoalan kesenjangan sosial ekonomi yang ada. Oleh karena itu perlu adanya langkah nyata pembangunan kearah “pemerataan” sehingga hasil-hasil pembangunan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat pada seluruh wilayah Negara Indonesia, sehingga ini merupakan langkah untuk meminimalkan adanya "sumbu" pemicu kesenjangan sosial terutama untuk daerah-daerah pelosok dan atau perbatasan yang masih minim rasa keadilannya dalam pembangunannya.
Pola pembangunan pada "sentra-sentra" ekonomi dan perdagangan yang dahulu lebih ke sentralistik seharusnya pada era otonomi daerah sekarang ini dapat lebih ditekan dan di”pecah” dengan cara “perhatian” pemimpin sebagai "pengendali strategis" yang lebih intens kepada wilayah-wilayah pinggiran (batas tanah negara ini dengan Negara lain). Dengan adanya perhatian yang intens dari pemangku pengendali "strategis" ini, maka berbagai hasil-hasil pembangunan dapat dinikmati dengan mudah dan “merata” oleh seluruh lapisan masyarakat.
Disisi lain pihak para investor, baik PMDN maupun PMA juga tidak ragu untuk ikut serta menggerakan sektor perekonomian di daerah-daerah, sehingga pusat-pusat ekomomi dan pengembangan kawasan industry dapat cepat merata pelaksanaannya diberbagai wilayah.
Semestinya dan sudah seharusnya seluruh potensi wilayah Negara harus mendapatkan perhatian yang sama, bahkan kalau pendapat saya pribadi, potensi wilayah-wilayah terpencil dan atau di “patok” tanah perbatasan dengan Negara lain merupakan "pintu" dan sekaligus "ladang emas” bagi penyangga kemajuan dan berkembangan perekonomian masyarakat secara luas, hal ini dikarenakan alam Negara Indonesia merupakan alam yang lebih ramah dalam mendukung kemajuan pembangunan diberbagai bidang kehidupan bermasyarakat, hal ini berbeda dengan alam di negara-negara pada Benua Afrika misalnya, yang kalau kita melihat dan membaca sepintas, baik dari pemberitaan mupun dalam buku-buku geografi, alamnya sangat kurang bersahabat dengan para penghuninya, sebagai contoh hanya untuk mendapatkan air bersih saja ada sebuah Negara yang senantiasa dirundung kekurangan gizi setiap tahunnya, misal Ethiopia, belum beberapa negara-negara lainnya.
Oleh karena itu “aneh bin ajaib" rasanya kalau pada masyarakat kepulauan “nusantara” ini masih ada penderita "gizi buruk", apalagi sampai tersiar kabar ada kasus keluarga dan atau seseorang “kelaparan”. Di "Negeri gemah ripah loh jinawi" ini, siapa yang malas...?, individu dan atau keluarga tersebut...? atau pemerintahnya yang masih “sibuk” dan hanya "seperti terfocus” pada wilayah-wilayah yang sudah berkembang tanpa melihat daerah pelosok apalagi pada wilayah-wilayah perbatasan.
Dari beberapa hal diatas, intinya saya tetap kurang sepaham khususnya bagi kalangan anggota dewan yang "terhormat", kalau sebentar-bentar ada ‘study banding’ keluar negeri dengan pertimbangan kalau hanya mengandalkan bidang keilmuan yang ada didalam negeri serta pengetahuan dari jaringan “internet” yang sudah “menjamur” di Negeri ini, katanya Negara ini tidak akan maju-maju.
Apakah untuk meniru peraturan dari di Negara maju, kita harus secara langsung "resmi" dan "sering dan atau harus" melaksanakan kunjungan ke negara-negara maju tersebut dan apakah yang ada di Negara maju tersebut sudah pasti "cocok" dengan budaya dan geografi yang ada di Negara kita.
Padahal didalam negeri, apa yang masih kurang…?.
Berbagai tingkat disiplin keilmuan sudah bukan milik segelitir orang, lembaga riset, keilmuan, penelitian pun sudah ada, lembaga akademik juga tak terhitung lagi, jadi sebenarnya "apa" yang sedang dicari...?.
Harapan saya dan "mungkin" harapan berjuta-juta orang dari masyarakat Indonesia, yang kadang tidak cukup mempunyai "keberanian" atau memang aksesnya lebih "ribet" atau mungkin ya... sudah lebih enak "ngrundel" saja dalam hati, yang pada akhirnya hanya "nrimo ing pandum" keadaan sekitarnya dengan keadaan seadanya saja.
Beberapa catatan sederhana diatas, hendaknya untuk mulai sekarang dan kedepannya para pemangku kepentingan seperti para anggota dewan, dan unsur-unsur pemerintah yang ada perbanyaklah "blusukan" atau lebih kerennya “kunker”lah ke daerah-daerah pelosok, daerah-daerah perbatasan serta desa-desa terpencil. Saya yakin daerah-daerah yang anda kunjungi tidak akan menagih "janji-janji" sewaktu anda berkampanye dahulu, mereka malah akan "senang" dan "bangga" karena para wakilnya di "parlemen" bisa sering datang... mereka umumnya sudah mulai paham dan mahfum, bahwasannya untuk tahap "realisasi" bidang pembangunan pada suatu daerah "tidak bisa" serta-merta, karena Indonesia bukanlah sebuah Negara dengan luas wilayah yang kecil, jadi mereka mengetahui sekaligus memahami bahwa tahapan "realisasi" berbagai bidang pembangunan "pasti" mendapatkan, hanya saja "bergantian" dan secara "bertahap" dengan daerah lainnya.
Pemimpin adalah sebagai pengendali “strategis”, layaknya seorang “imam” dalam tata cara ibadah shalat bagi pemeluk agama Islam, oleh karena itu pemimpin sama dengan sebagai penentu bagi "sah tidaknya" atau benar tidaknya roda pemerintahan berjalan, dengan demikian harus bisa mengedepankan kebersamaan yang ber”sinergi” antar berbagai bidang disiplin ilmu yang ada dan atau tersedia dalam hubungannya dengan berbagai kegiatan berbangsa dan bernegara pada wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia.
Peran pemimpin “strategis” ini, baik pada tingkat nasional maupun tingkatan lokal mestinya sudah dilaksanakan dengan “semestinya”, atau hendaknya para calon pemimpin tidak perlu “malu” apalagi “gengsi” untuk menyerap ataupun meniru ide-ide kreatif termasuk dari warganya sendiri dan atau walaupun harus ikut bergaya “blusukan” ala pasangan Jokowi-Ahok yang rela mengobrak-abrik seluruh pelosok “gang” dari wilayah propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta tanpa terkecuali dalam rangka “penataan” daerah kekuasaannya kepada keadaan yang lebih harmonis dengan membangun komunikasi yang intens antar sesama pemangku "jabatan strategis" pada wilayah-wilayah yang berbatasan dengan daerah kekuasaannya.
Saudara semua dan saya pasti sama-sama merindukan sosok “pemimpin” yang bisa menunjukan, ini lho… “patok” dari tanda batas wilayah Tanah Air Negara kita, Indonesia sebagaimana pernah ada dan hadir pada cerita masa presiden Soekarno-Soeharto diatas.
Oleh karena itu apabila ada dari para pengunjung blog ini yang sempat menangkap "inti" dari isi artikel ini dapat menginformasikan kepada yang berkepentingan bahkan kepada para individu calon penerima mandat menjadi “LURAH”nya Indonesia, sebagai salah satu warga negara Indonesia, saya hanya mempunyai pesan kecil,
“Dimana sejatinya batas-batas wilayah dari negeri ini;
Dan bagaimana keadaan saudara-saudara kita disana;
Apakah mereka sudah dapat menikmati layanan seperti yang ada pada wilayah-wilayah pusat pemerintahan dan pusat ekonomi yang ada di negeri ini, walaupun hanya segelas ‘susu….”
Mari... berdayakan seluruh potensi wilayah yang ada pada Negara kesatuan Republik Indonesia ini, dengan selalu mengingat semangat dan janji Bung Karno;
"Kalau kita lapar itu biasa, Kalau kita malu itu djuga biasa;
Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang adjar!
Kerahkan pasukan ke Kalimantan, kita hadjar tjetjunguk Malayan itu!
Pukul dan sikat djangan sampai tanah dan udara kita diindjak-indjak oleh Malaysian keparat itu..." teriak Soekarno.
Ini bukan hanya kepada Negara tetangga dekat saja yang berlaku kurang santun dengan mengindjak-indjak tanah air Indonesia, akan tetapi segala bentuk kepentingan "asing" yang tidak mengindahkan norma-norma berbangsa dan bernegara, merupakan salah satu bentuk mengindjak-indjak harkat dan martabat kita sebagai generasi anak bangsa dan Negara dari Tanah Air tercinta Indonesia...
Merdeka Bung ...! belum merdeka ...?!
Semoga lebih bermanfaat…
Salam hangat.
· Hak Kepala Desa:
- Mengajukan pencalonan pengangkatan/pemberhentian Perangkat Desa kepada Pejabat yang berwenang mengangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Mewakili Desanya didalam dan diluar pengadilan; Menunjuk seorang kuasa atau lebih untuk mewakili Desanya didalam dan diluar pengadilan;
- Mengatur tata tertib penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan dan Pembangunan Desa, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
- Mewakili Desanya dalam rangka kerja sama dengan Desa atau Kelurahan lain.
· Wewenang Kepala Desa:
- Menyelenggarakan rapat Lembaga Musyawarah Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Menggerakan partisipasi masyarakat dalam pembangunan melalui Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa;
- Melaksanakan pungutan terhadap masyarakat Desa baik berupa uang maupun benda dan atau barang untuk keperluan penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan dengan memperhatikan keadaan Sosial Ekonomi masyarakat Desa yang bersangkutan dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Menumbuhkan dan mengembangkan serta membina jiwa gotong-royong masyarakat sebagai sendi utama pelaksanaan Pemerintahan dan Pembangunan Desa;
- Melaksanakan pembinaan dan pengembangan Adat Istiadat di Desanya;
- Menetapkan Keputusan Kepala Desa sebagai pelaksanaan dari Keputusan Desa dan kebijaksanaan Pimpinan Pemerintahan Desa sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Melaksanakan tertib Administrasi Pemerintahan ditingkat Desa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Melaksanakan pembangunan dan pembinaan masyarakat;
- Melaksanakan pembinaan terhadap organisasi-organisasi kemasyarakatan yang ada di Desa;
- Menggali dan memelihara sumber-sumber pendapatan dan kekayaan Desa;
- Bertanggung jawab atas jalannya penyelenggaraan Pemerintahan, pelaksanaan Pembangunan dan Pembinaan Masyarakat di Desa yang bersangkutan;
- Melaksanakan keputusan-keputusan Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang terjadi di desa yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Menyusun Rencana Program Kerja Tahunan dan Program Kerja Lima Tahunan sebagai dasar pelaksanaan tugas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Menyusun Rencana Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Keuangan Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Memberikan pertanggung jawaban kepada Bupati Kepala daerah melalui camat;
- Memberikan keterangan pertanggung jawaban kepada Lembaga Musyawarah Desa.
3. Dalam melakukan tugas dan kewajibannya Kepala Desa sebagai penanggungjawab utama dibidang Pembangunan dibantu oleh Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa.
4. Kepala Desa sebagai penyelenggara dan penanggungjawab utama dibidang Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan dalam rangka menyelenggarakan urusan Pemerintahan Daerah dan Pemerintahan Umum mempunyai hak, wewenang dan Kewajiban sebagai berikut:
· Hak Kepala Desa:
- Melaksanakan peraturan perundang-undangan dari Pemerintah dan Pemerintahan Daerah;
- Menyelenggarakan tugas-tugas Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan yang dibebankan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
- Mendapatkan bimbingan dan pembinaan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
· Wewenang Kepala Desa:
- Pembinaan ketentraman dan ketertiban di wilayah Desanya;
- Pembinaan Ideologi Negara, Politik dalam Negeri dan Kesatuan bangsa diwilayah Desanya;
- Pembinaan tertib Pemerintahan di wilayah Desanya;
- Pembinaan tugas-tugas Pemerintahan lainnya yang ditugaskan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
- Menyelenggarakan koordinasi fungsional di Desanya.
· Kewajiban Kepala Desa:
- Memelihara dan meningkatkan ketentraman dan ketertiban di wilayah Desanya;
- Memelihara dan meningkatakan hasil-hasil pembangunan yang ada diwilayahnya;
- Melaksanakan tugas-tugas lain dibidang Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan yang ditugaskan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Dari kedua gambaran bentuk pemerintahan yang ada pada Negara Indoesia diatas, maka bisa digaris bawahi bahwa, inti tugas dan tanggungjawabnya terlihat tidak begitu jauh berbeda, hanya lingkup dan skala saja yang membuat tingkat "kerumitan" dan "ekstra" kehati-hatian yang lebih, begitu juga pada bentuk pemerintahan pada daerah tingkat I dan daerah tingkat II.
Dengan gambaran ini pula apabila anda sempat memperhatikan susunan dalam berbagai struktur organisasi pemerintahan, maka ada benang merah yang dapat ditarik menjadi garis lurus, karena ini merupakan sebuah jabatan 'strategis' dari sebuah 'komando', baik pada tingkatan kecil (Desa dan atau Kelurahan) maupun pada tingkatan yang lebih tinggi (Kenegaraan), yang tentu lebih luas dari tingkatan pasukan dalam kedinasan militer maupun pada tingkatan kedinasan sipil diberbagai bidang yang ada.
Inti benang merahnya adalah, adanya individu pemangku jabatan "strategis" sebagai penentu sebuah "komando" pada suatu Negara. Dengan adanya pemahaman seperti ini, maka kita sudah pasti akan terbawa kepada sebuah istilah “kalau kepalanya lempeng`, maka lempeng` juga anggota badan dan kakinya”, dalam arti luasnya adalah andai individu sebagai calon pemimpin (kepala) mengalami proses menjadi pemimpin (kepala) dengan proses yang bersih, jujur, adil serta berjiwa "intelek", maka bisa dipastikan “anggota badan” dan “kaki”nya akan sama atau tidak jauh berbeda dengan proses yang terjadi pada pemimpin pemangku "strategis" tersebut sebagai “kepala”.
Lho ga luchu kan...?! kalau kepalanya "lurus", anak buahnya berkelok-kelok?, bisa me"malukan...
Suatu jabatan memang masih sangat digandrungi oleh sebagian masyarakat kita, apalagi jabatan “lurah” atau “kepala desa” di masyarakat yang merupakan jabatan tertinggi dalam lingkup bentuk pemerintahan terkecil di Negara kita... Indonesia, walaupun jaman sudah mulai bergeser kearah keterbukaan informasi yang transparan, namun semua ini belum berpengaruh di umumnya masyarakat kita. Dan ini biasanya juga dikaitkan dengan adanya tanda "ketokohan" dari individu tersebut dan atau memiliki status sosial yang berbeda dari lingkungan sekitarnya. Posisi inipun masih lebih ber"gengsi" dari sebutan “saudagar” kaya pada suatu wilayah yang sama, mengapa demikian…?
Cobalah anda tanyakan kepada para ahli dibidang ilmu Sosiologi, mungkin akan mendapatkan jawaban yang pasti… kalau pendapat saya seperti ini, kultur budaya masyarakat kita adalah lebih dekat pada system kerajaan atau system "monarki", dimana pada jaman dahulu keagungan "sang raja” adalah segala-galanya ini berbeda dengan budaya pada masyarakat di negara-negara barat yang telah bergeser kepada budaya masyarakat yang lebih mengedepankan kemandirian diri-sendiri (korporasi) daripada bekerja ataupun mengabdi kepada Negara, walaupun di negara-negara maju tersebut, posisi-posisi dalam pemerintahan masih juga menjadi incaran anggota masyarakat akan tetapi prosentasenya lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara yang termasuk dalam kategori negara berkembang, yang masih menganggap jabatan pada pemerintahan merupakan jabatan “prestisius” dan mempunyai nilai “gengsi” tinggi, apalagi kalau mendapat sebutan kata "pejabat".
Dengan pemahaman umum yang "kadang" masih seperti ini, maka bagi anggota masyarakat yang bisa mendapatkan posisi ber”gengsi” tersebut, kadang dapat melahirkan pemikiran atau pemahaman untuk meminta di”hormati” bahkan ada yang berlaku seperti tahan “kritik” dari anggota masyarakatnya seperti layaknya jaman raja-raja dahulu. Kemudian untuk mendapatkan posisi inipun kadang masih ada yang menempuh dengan "menghalalkan" segala cara. Nauzubillah...
Akibat yang lebih tidak mengenakan hati dari pemahaman seperti ini adalah peran dan posisi sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat menjadi bisa “kabur” dan “buram”, sehingga kadang masyarakat dapat dianggap sebagai “sapi perah” yang harus membayar “upeti” dalam setiap urusan yang menyangkut dengan pengurusan berbagai dokumen kenegaraan.
Sifat pemberi informasi sebagai pelayan publikpun terkadang seperti "gelap" dengan minimnya tingkat sosialisasi pada suatu permasalahan. Seolah-olah semua bagian bahan-bahan pelayanan public yang ada pada Negara, hanya milik segelintir individu saja yang diperbolehkan mengakses. Ini sangat disayangkan karena Negara ini katanya sudah memakai system pemerintahan yang “demokratis” akan tetapi dalam pelaksanaan tugasnya (pelayanan public), masih ada sebagian individu abdi Negara dan abdi masyarakat yang lebih lekat ke cara kerja jaman “monarki” dahulu.
Peran pemimpin sebagai pengendali "strategis" masih jauh dari harapan masyarakat pada umumnya apalagi pada daerah-daerah perbatasan atau pulau-pulau terluar dari kepulauan nusantara ini. Bangsa Indonesia yang memiliki bentangan pulau-pulau yang begitu luas, namun tingkat kemajuannya masih terasa “timpang” antara daerah perkotaan dan "kota besar" dengan daerah terpencil apalagi untuk daerah-daerah pinggiran dan atau perbatasan masih sangat terasa, minimnya "perhatian pengendali strategis" baik pada tingkatan Nasional yang ber"sinergi" dengan tingkatan di daerah-daerah merupakan faktor penghambat "utama" dalam upayanya menuju pemerataan hasil-hasil pembangunan.
Kejadian rusuh “puncak jaya” di propinsi Irian Jaya (salah satu daerah kaya sumber daya alam) beberapa bulan yang lalu merupakan salah satu dari “gunung es” persoalan kesenjangan sosial ekonomi yang ada. Oleh karena itu perlu adanya langkah nyata pembangunan kearah “pemerataan” sehingga hasil-hasil pembangunan dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat pada seluruh wilayah Negara Indonesia, sehingga ini merupakan langkah untuk meminimalkan adanya "sumbu" pemicu kesenjangan sosial terutama untuk daerah-daerah pelosok dan atau perbatasan yang masih minim rasa keadilannya dalam pembangunannya.
Pola pembangunan pada "sentra-sentra" ekonomi dan perdagangan yang dahulu lebih ke sentralistik seharusnya pada era otonomi daerah sekarang ini dapat lebih ditekan dan di”pecah” dengan cara “perhatian” pemimpin sebagai "pengendali strategis" yang lebih intens kepada wilayah-wilayah pinggiran (batas tanah negara ini dengan Negara lain). Dengan adanya perhatian yang intens dari pemangku pengendali "strategis" ini, maka berbagai hasil-hasil pembangunan dapat dinikmati dengan mudah dan “merata” oleh seluruh lapisan masyarakat.
Disisi lain pihak para investor, baik PMDN maupun PMA juga tidak ragu untuk ikut serta menggerakan sektor perekonomian di daerah-daerah, sehingga pusat-pusat ekomomi dan pengembangan kawasan industry dapat cepat merata pelaksanaannya diberbagai wilayah.
Semestinya dan sudah seharusnya seluruh potensi wilayah Negara harus mendapatkan perhatian yang sama, bahkan kalau pendapat saya pribadi, potensi wilayah-wilayah terpencil dan atau di “patok” tanah perbatasan dengan Negara lain merupakan "pintu" dan sekaligus "ladang emas” bagi penyangga kemajuan dan berkembangan perekonomian masyarakat secara luas, hal ini dikarenakan alam Negara Indonesia merupakan alam yang lebih ramah dalam mendukung kemajuan pembangunan diberbagai bidang kehidupan bermasyarakat, hal ini berbeda dengan alam di negara-negara pada Benua Afrika misalnya, yang kalau kita melihat dan membaca sepintas, baik dari pemberitaan mupun dalam buku-buku geografi, alamnya sangat kurang bersahabat dengan para penghuninya, sebagai contoh hanya untuk mendapatkan air bersih saja ada sebuah Negara yang senantiasa dirundung kekurangan gizi setiap tahunnya, misal Ethiopia, belum beberapa negara-negara lainnya.
Oleh karena itu “aneh bin ajaib" rasanya kalau pada masyarakat kepulauan “nusantara” ini masih ada penderita "gizi buruk", apalagi sampai tersiar kabar ada kasus keluarga dan atau seseorang “kelaparan”. Di "Negeri gemah ripah loh jinawi" ini, siapa yang malas...?, individu dan atau keluarga tersebut...? atau pemerintahnya yang masih “sibuk” dan hanya "seperti terfocus” pada wilayah-wilayah yang sudah berkembang tanpa melihat daerah pelosok apalagi pada wilayah-wilayah perbatasan.
Sebagai contoh, pertimbangan apa Permendag No 7 tahun 2013 "tentang Pengembangan Kemitraan dalam Waralaba Bidang Usaha Makanan dan Minuman", yang salah satu isi pasalnya membatasi waralaba asing "hanya" sampai 250 gerai, apa karena menteri yang sekarang "menjabat" pernah menjadi karyawan McDonald. (250 gerai itu banyak Lho…, McDonald yang mulai beroperasi pada tahun 1990an hingga tahun 2013 ini saja belum sampai jumlah tersebut...?, jadi bagaimana usaha kecil milik rakyat sendiri bisa berkembang, ya...jangan pakai "standar amrik/eropa" dulu lah...?!), suarapengusaha.com. Ada juga undang-undang nomor 23/1999 "tentang Bank Indonesia", yang memperbolehkan pihak asing menguasai 99% saham pada bank Nasional, sedangkan pada beberapa negara, Hongkong, Singapura serta China yang telah hanya memperbolehkan asing berinvestasi sekitar 30%. Juga undang-undang tahun 1997, "Devisa bebas" yang memungkinkan pihak asing bebas keluar-masuk, dengan dengan UU ini asingpun bisa dengan seenaknya mempermainkan rupiah (nilai tukar rupiah tak stabil)., belum lagi pada UU Agraria yang sering masih menimbulkan berbagai polemik
tumpang-tindih kepemilikan lahan ditengah-tengah masyarakat kita.
Bagaimana dengan produk hukum yang lainnya, saya yakin anda lebih mengetahui daripada saya…?
Bagaimana dengan produk hukum yang lainnya, saya yakin anda lebih mengetahui daripada saya…?
Apakah untuk meniru peraturan dari di Negara maju, kita harus secara langsung "resmi" dan "sering dan atau harus" melaksanakan kunjungan ke negara-negara maju tersebut dan apakah yang ada di Negara maju tersebut sudah pasti "cocok" dengan budaya dan geografi yang ada di Negara kita.
Padahal didalam negeri, apa yang masih kurang…?.
Berbagai tingkat disiplin keilmuan sudah bukan milik segelitir orang, lembaga riset, keilmuan, penelitian pun sudah ada, lembaga akademik juga tak terhitung lagi, jadi sebenarnya "apa" yang sedang dicari...?.
Harapan saya dan "mungkin" harapan berjuta-juta orang dari masyarakat Indonesia, yang kadang tidak cukup mempunyai "keberanian" atau memang aksesnya lebih "ribet" atau mungkin ya... sudah lebih enak "ngrundel" saja dalam hati, yang pada akhirnya hanya "nrimo ing pandum" keadaan sekitarnya dengan keadaan seadanya saja.
Beberapa catatan sederhana diatas, hendaknya untuk mulai sekarang dan kedepannya para pemangku kepentingan seperti para anggota dewan, dan unsur-unsur pemerintah yang ada perbanyaklah "blusukan" atau lebih kerennya “kunker”lah ke daerah-daerah pelosok, daerah-daerah perbatasan serta desa-desa terpencil. Saya yakin daerah-daerah yang anda kunjungi tidak akan menagih "janji-janji" sewaktu anda berkampanye dahulu, mereka malah akan "senang" dan "bangga" karena para wakilnya di "parlemen" bisa sering datang... mereka umumnya sudah mulai paham dan mahfum, bahwasannya untuk tahap "realisasi" bidang pembangunan pada suatu daerah "tidak bisa" serta-merta, karena Indonesia bukanlah sebuah Negara dengan luas wilayah yang kecil, jadi mereka mengetahui sekaligus memahami bahwa tahapan "realisasi" berbagai bidang pembangunan "pasti" mendapatkan, hanya saja "bergantian" dan secara "bertahap" dengan daerah lainnya.
Pemimpin adalah sebagai pengendali “strategis”, layaknya seorang “imam” dalam tata cara ibadah shalat bagi pemeluk agama Islam, oleh karena itu pemimpin sama dengan sebagai penentu bagi "sah tidaknya" atau benar tidaknya roda pemerintahan berjalan, dengan demikian harus bisa mengedepankan kebersamaan yang ber”sinergi” antar berbagai bidang disiplin ilmu yang ada dan atau tersedia dalam hubungannya dengan berbagai kegiatan berbangsa dan bernegara pada wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia.
Peran pemimpin “strategis” ini, baik pada tingkat nasional maupun tingkatan lokal mestinya sudah dilaksanakan dengan “semestinya”, atau hendaknya para calon pemimpin tidak perlu “malu” apalagi “gengsi” untuk menyerap ataupun meniru ide-ide kreatif termasuk dari warganya sendiri dan atau walaupun harus ikut bergaya “blusukan” ala pasangan Jokowi-Ahok yang rela mengobrak-abrik seluruh pelosok “gang” dari wilayah propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta tanpa terkecuali dalam rangka “penataan” daerah kekuasaannya kepada keadaan yang lebih harmonis dengan membangun komunikasi yang intens antar sesama pemangku "jabatan strategis" pada wilayah-wilayah yang berbatasan dengan daerah kekuasaannya.
Saudara semua dan saya pasti sama-sama merindukan sosok “pemimpin” yang bisa menunjukan, ini lho… “patok” dari tanda batas wilayah Tanah Air Negara kita, Indonesia sebagaimana pernah ada dan hadir pada cerita masa presiden Soekarno-Soeharto diatas.
Oleh karena itu apabila ada dari para pengunjung blog ini yang sempat menangkap "inti" dari isi artikel ini dapat menginformasikan kepada yang berkepentingan bahkan kepada para individu calon penerima mandat menjadi “LURAH”nya Indonesia, sebagai salah satu warga negara Indonesia, saya hanya mempunyai pesan kecil,
“Dimana sejatinya batas-batas wilayah dari negeri ini;
Dan bagaimana keadaan saudara-saudara kita disana;
Apakah mereka sudah dapat menikmati layanan seperti yang ada pada wilayah-wilayah pusat pemerintahan dan pusat ekonomi yang ada di negeri ini, walaupun hanya segelas ‘susu….”
Mari... berdayakan seluruh potensi wilayah yang ada pada Negara kesatuan Republik Indonesia ini, dengan selalu mengingat semangat dan janji Bung Karno;
"Kalau kita lapar itu biasa, Kalau kita malu itu djuga biasa;
Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang adjar!
Kerahkan pasukan ke Kalimantan, kita hadjar tjetjunguk Malayan itu!
Pukul dan sikat djangan sampai tanah dan udara kita diindjak-indjak oleh Malaysian keparat itu..." teriak Soekarno.
Ini bukan hanya kepada Negara tetangga dekat saja yang berlaku kurang santun dengan mengindjak-indjak tanah air Indonesia, akan tetapi segala bentuk kepentingan "asing" yang tidak mengindahkan norma-norma berbangsa dan bernegara, merupakan salah satu bentuk mengindjak-indjak harkat dan martabat kita sebagai generasi anak bangsa dan Negara dari Tanah Air tercinta Indonesia...
Merdeka Bung ...! belum merdeka ...?!
Semoga lebih bermanfaat…
Salam hangat.
0 komentar:
Post a Comment