Selamat atas tersusun'y dewan komisaris-direksi NKRI Holding....

728x90 AdSpace

Kolamz Post
Theme images by Colonel. Powered by Blogger.
Thursday, 13 October 2016

Memahami Budaya dan Karakter Bangsa

Budaya...

Sarana ambudidoyo... itulah ungkapan sederhana umat manusia dalam menggapai kualitas hidup di dunia.

Dan inilah awal ceritanya...

Memahami sejarah bangsa sangat penting agar diperoleh gambaran tentang perkembangan evolusi kecerdasan kehidupan sosial suatu bangsa dari aspek spiritual budaya, kelembagaan maupun keorganisasiannya beserta karakteristik keperilakuan masyarakat dan elit pemimpinnya termasuk berbagai penyebab penyakit ataupun krisis sosial bahkan tragedi yang pernah melanda.

Dengan metode ini, kita bisa memahami kekuatan dan kelemahan bangsa guna menciptakan sejarah yang lebih baik atas dasar nilai-nilai keleluhuran kejayaannya masa lampau untuk ditranformsi dan diadaptasikan sesuai alam jaman kekinian.

Dan patut disayangkan sejarah negeri ini seolah-olah diawali tatkala wilayah negeri ini gung lewang lewung menjadi ribuan pulau setelah terjadi bencana alam yang sangat dahsyat hanya dihuni oleh sisa-sisa penduduk pribumi yang selamat dengan kategori rakyat biasa yang tidak memiliki intelektual maupun peninggalan kitab Iptek, hanya tinggal memiliki sistem spiritual jati diri kemanusian serta kitab mintaraga (laku spiritual mesu barata/bertapa) yang selanjutnya berdatanganlah kaum imigran dari berbagai negeri, Arab, Jepang, Belanda, India, China dll yang beralkuturasi budaya, baik dalam sifat sebagai penjajah maupun dalam sikap sebagai media persahabatan.

Kemudian dalam tempo beberapa abad kemudian, jadilah Indonesia sebagai negara yang sangat majemuk bila dibandingkan dengan negara lainnya di dunia. Kemajemukan ini terlihat dari adanya berbagai suku bangsa yang mendiami pulau-pulau kecil dan besar. Masing-masing suku bangsa yang mendiami wilayah tertentu membangun dan mengembangkan kebudayaan mereka serta memperlihatkan identitas dan jati diri mereka sebagai pendukung kebudayaan. Mereka sangat menjujung tinggi kebudayaan yang secara turun menurun akan terus dilestarikan. Sehingga kebudayaan tersebut tidak akan pernah hilang atau musnah, kebudayaan itu akan terus menjadi ciri khas atau karakter bangsa Indonesia yang membedakan dengan negara-negara lain di dunia.

Dengan keadaan diatas, maka apabila budaya {adiluhung} terpelihara, maka bagi kalangan pengamat ekonomi, budaya dapat menjadi penggerak ekonomi, baik dalam sekala kecil, menengah maupun dalam skala industry.
Kita dapat mengambil contoh budaya bangsa Korea yang saat ini, yakni K-pop dengan "mode" busana tren yang berkembangnya, atau budaya Jepang, yakni Harajuku dengan mode busana yang telah sampai ke Tanah Air Indonesia, budaya pengobatan Chinese yang dapat membangun kultur budidaya tanaman obat traditionalnya, budaya bangsa Europa, Amerika yang cenderung {telah sampai} untuk berjalan diatas perkembangan sains-technology dan sebagainya.

Dua (2) daerah di tanah air NKRI yang patut menjadi percontohan adalah provinsi Bali dan D.I Yogyakarta, ke-2 daerah ini masih "sangat" menjaga tradisi dan adat sebagai budaya leluhur untuk landasan menuju kemodernitasan zaman. Kita tahu bahwa pulau Dewata, kota Jogjakarta adalah daerah yang memiliki "pesona" alam yang di belahan bumi lain tentu tidak jauh berbeda, namun dengan suasana "menjaga" budaya leluhur yang kental... kekhasan Culture, tradisi etnik-unik telah menjadi daya eksotisme yang digandrungi oleh berbagai wisatawan dunia untuk "rindu" kembali menyinggahi. 

Membangun budaya adalah sama halnya kita sedang membangun system perekonomian yang kokoh berbasis kultur masyarakat setempat.

Nah... sehubungan betapa pentingnya sebuah penjagaan bagi budaya adiluhung leluruh, kami mencoba menelaah, makna budaya bagi pembangunan karakter bangsa {Indonesia}, sebagai berikut:

1.   Pengertian Budaya
Budaya atau yang dikenal dengan kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu kata Buddhayah, kata Buddhayah adalah bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti sebagai hal hal yang berkaitan dengan budi atau akal manusia. Sedangkan dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut dengan Culture, kata Culture sendiri berasal dari kata latin colere yang berarti mengolah atau mengerjakan.

Pengertian lebih luas tentang budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis.

Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh, budaya bersifat kompleks, abstrak dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.

2.   Pengertian Karakter
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa.

Karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘bangsa berkarakter’ adalah bangsa yang punya kualitas moral (tertentu) yang positif. Dengan demikian, pendidikan membangun karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang di dasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau yang baik, bukan yang negatif atau yang buruk.

Peterson dan Seligman, dalam buku ’Character Strength and Virtue’ [3], mengaitkan secara langsung ’character strength’ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama dari ‘character strength’ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain. Dalam kaitannya dengan kebajikan, Peterson dan Seligman mengidentifikasikan 24 jenis karakter.

3.   Pengertian Bangsa
Sebagian ahli berpendapat bahwa bangsa itu mirip dengan komunitas etnik, meskipun tidak sama. Bangsa adalah suatu komunitas etnik yang ciri-cirinya adalah: memiliki nama, wilayah tertentu, mitos leluhur bersama, kenangan bersama, satu atau beberapa budaya yang sama dan solidaritas tertentu.

Berikut ini pengertian bangsa menurut beberapa ahli:
a)   Hans Kohn (Jerman)
Bangsa adalah hasil tenaga hidup manusia dalam sejarah.
b)   Ernest Renan (Perancis)
Bangsa adalah suatu nyawa, suatu akal yang terjadi dari dua hal, yaitu rakyat yang harus bersama-sama menjalankan satu riwayat dan rakyat yang kemudian harus mempunyai kemauan atau keinginan hidup untuk menjadi satu.
c)   Otto Bauer (Jerman)
Bangsa adalah kelompok manusia yang mempunyai persamaan karakter. Karakteristik tumbuh karena adanya persamaan nasib.
d)   F. Ratzel (Jerman)
Bangsa terbentuk karena adanya hasrat tertentu. Hasrat itu timbul karena adanya rasa kesatuan antara manusia dan tempat tinggalnya (paham geopolitik).
e)   Jalobsen dan Lipman
Bangsa adalah suatu kesatuan budaya (cultural unity) dan kesatuan politik (political unity).

Secara sederhana, Bangsa adalah kelompok manusia yang mempunyai persamaan karakter. Karakteristik tumbuh karena adanya persamaan nasib. Bangsa terbentuk karena adanya keinginan untuk hidup bersama (hasrat bersatu) dengan perasaan setia kawan yang agung.
Pendidikan budaya dan karakter bangsa dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam dirinya, sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif.

Fungsi budaya dan karakter Bangsa;
1.   Pengembangan
Pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik; ini bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya dan karakter bangsa.
2.   Perbaikan
Memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggungjawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat.
3.   Penyaring
Untuk menyaring budaya sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesui dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.

Tujuan budaya dan karakter Bangsa;
1.  Mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warga negara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa.
2.  Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius.
3.   Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggungjawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa.
4. Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan.
5.  Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahatan serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi.

Nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan karakter bangsa;
1.  Agama: masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang beragama dan selalu di dasari pada ajaran agama dan kepercayaannya, karena itu budaya dan karakter bangsa harus di dasari pada nilai dan kaidah yang berasal dari agama.
2.  Pacasila: nilai-nilai yang terkandung dalam pacasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya dan seni.
3.  Budaya: sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak di dasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu, nilai-nilai tersebut dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan interaksi antar anggota.
4.  Tujuan pendidikan nasional: sebagai rumusan kualitas setiap warga negara indonesia yang memuat berbagai nilai kemanusiaan dan menjadi sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.

Berdasarkan keempat nilai tersebut, teridentifikasi sejumlah nilai untuk pendidikan budaya dan karakter bangsa yaitu;
1.  Nilai religius yaitu sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2.  Nilai jujur yaitu perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaan.
3.  Nilai toleransi yaitu sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4.  Nilai disiplin yaitu tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan perlakuan.
5.  Nilai kerja keras yaitu tindakan yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan.
6.  Nilai kreatif yaitu berfikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7.   Nilai mandiri yaitu sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain.
8.  Nilai demokrasi yaitu cara berpikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya maupun orang lain.
9.  Nilai rasa ingin tahu yaitu sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari apa yang dipelajari.
10. Nilai semangat kebangsaan yaitu cara berfikir, bertindak dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan dirinya dan kelompoknya.
11. Nilai cinta tanah air yaitu cara berfikir, bertindak dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi dan politik bangsa.
12. Nilai menghargai prestasi yaitu sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat dan mengakui serta menghormati keberhasilan orang lain.
13.  Nilai komunikatif yaitu tindakan yang memperlihatkan rasa bekerjasama yang tinggi.
14.  Nilai cinta damai yaitu tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang atas kehadirannya.
15. Nilai "gemar" membaca yaitu kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan untuk dirinya.
16. Nilai peduli lingkungan yaitu tindakan yang selalu mencegah keruskan alam dan menjaga kelestarian alam.
17. Nilai pedulli sosial yaitu tindakan yang selalu ingin memberi bantuan kepada orang lain.
18. Nilai tanggung jawab yaitu sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugasnya dengan baik terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan, negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan paparan perihal budaya dan karakter bangsa diatas, maka dalam episode artikel kali ini, kami akan membahas sedikit mengenai salah satu budaya leluhur Nusantara, yakni salah satu budaya yang berkembang di pulau Jawa, kejawen… itulah nama yang siapa tidak kenal, sudah puluhan ilmuwan dari berbagai negara yang berbondong-bondong untuk mempelajarinya, seperti halnya ragam budaya {unique} masyarakat lainnya yang tersebar di berbagai pulau NKRI.

Kejawen, kearifan lokal yang selalu dicurigai

Seperti halnya budaya pada masyarakat tanah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Maluku, Flores dan Papua yang beragam, karena lahir di tanah Jawa disebutlah kejawen, kejawen adalah naluri kaweruh diri orang Jawa (penghuni tanah jawa dari ujung barat s/d ujung timur) sumber para leluhur bahwa “kejawen bagaikan kampus sedangkan fakultasnya berbagai agama samawi”, ciri penghayat kejawen tidak pernah menempatkan diri terdepan tetapi bisa menerima menghormati dan mengayomi semua orang yang berkeyakinan agama samawi yang dimaksud, penghayat kejawen sejati tidak mudah tersinggung tidak menunjukkan sikap marah, jika berselisih hanya diam dan diam penghayat kejawen mengutamakan perilaku sifat mulia, tidak suka konflik.

Seklumit uraian ini fakta bagi yang memahami, sebagai bahan renungan dasar bagi yang ingin belajar, bagi yang berkeyakinan berbeda mohon bijak saling menghormati, seperti pesan Beliau Eyang Brawijaya V pada zamanya sbb: kelak anak cucu keyakinan baru akan berdatangan dan boleh hidup di tanah Jawa/Nusantara asal jangan merusak Panatagama.

Demikian pemahaman sebagai teladan kebersamaan dalam Bhineka Tunggal Ika.

Ajaran kejawen, dalam perkembangan sejarahnya mengalami pasang surut. Hal itu tidak lepas dari adanya benturan-benturan dengan teologi dan budaya asing (Belanda, Arab, Cina, India, Jepang, AS). Walaupun berbenturan dengan budaya pribumi lainnya, namunyang paling keras adalah benturan dengan teologi asing, karena kehadiran kepercayaan baru disertai dengan upaya-upaya membangun kesan bahwa budaya Jawa itu hina, memalukan, rendah martabatnya, bahkan kepercayaan lokal disebut sebagai kekafiran, sehingga harus ditinggalkan sekalipun oleh tuannya sendiri, dan harus diganti dengan “kepercayaan baru” yang dianggap paling mulia segalanya. Dengan naifnya kepercayaan baru merekrut pengikut dengan jaminan kepastian golongan termodern dan rengkuhan masuk syurga. Gerakan tersebut sangat efektif karena dilakukan secara sistematis mendapat dukungan dari kekuatan politik asing yang senantiasa bertarung di rentang zaman.

Selain itu “pendatang baru” masih selalu berusaha membangun image buruk terhadap kearifan-kearifan lokal (budaya Jawa dan atau budaya-budaya daerah “asli” leluhur Indonesia), dengan cara memberikan contoh-contoh patologi sosial (penyakit masyarakat), penyimpangan sosial, pelanggaran kaidah {kejawen} yang terjadi saat itu, diklaim oleh “pendatang baru” sebagai bukti nyata kesesatan ajaran budaya setempat (Jawa). Hal itu sama saja dengan menganggap Islam itu buruk dengan cara menampilkan contoh perbuatan sadis terorisme, pejabat negara yang korupsi, pejabat berjilbab yang selingkuh, kyai yang menghamili santrinya, dst, walaupun sudah dipahami bahwasannya semuanya adalah cara mengkambing-hitamkan, cara mengadu-sapi dengan memanfaatkan kelemahan sedikit (pendek) fikir dari kaum tersebut.
 
Dengan melihat fenomena gempuran budaya luar yang begitu kuat namun tidak disadari oleh {banyak} generasi kekinian, maka lambat-laun bisa jadi putera-puteri NKRI tidak mengetahui asal-usul, tidak mencintai budaya leluhurnya dan serta tidak (minim) mengenal sejarah nenek moyang leluhur sebagai penjaga negeri.

Baca juga: Sejarah Nabi SAW  

Kejawen 
 
Kejawen (bahasa Jawa Kejawèn) adalah sebuah kepercayaan yang terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa. Kejawen hakikatnya adalah suatu filsafat dimana keberadaanya ada sejak orang Jawa (Bahasa Jawa: Wong Jawa ꦮꦺꦴꦁꦗꦮ, Krama: Tiyang Jawi ꦠꦾꦁꦗꦮꦶ) itu ada. Hal tersebut dapat dilihat dari ajarannya yang universal dan selalu melekat berdampingan dengan agama yang dianut pada zamannya. Kitab-kitab dan naskah kuno kejawen tidak menegaskan ajarannya sebagai sebuah agama meskipun memiliki laku. Kejawen juga tidak dapat dilepaskan dari agama yang dianut karena filsafat kejawen dilandaskan pada ajaran agama yang dianut oleh filsuf Jawa.

Sejak dulu, orang Jawa mengakui keesaan Tuhan sehingga menjadi inti ajaran kejawen, yaitu mengarahkan insan: Sangkan Paraning Dumadhi (lit. "Dari mana datang dan kembalinya hamba Tuhan") dan membentuk insan se-iya se-kata dengan tuhannya: Manunggaling Kawula lan Gusthi (lit. "Bersatunya Hamba dan Tuhan"). 
 
Dari kemanunggalan itu, ajaran Kejawen memiliki misi sebagai berikut:
  1. Mamayu Hayuning Pribadhi (sebagai rahmat bagi diri pribadi)
  2. Mamayu Hayuning Kaluwarga (sebagai rahmat bagi keluarga)
  3. Mamayu Hayuning Sasama (sebagai rahmat bagi sesama manusia)
  4. Mamayu Hayuning Bhuwana (sebagai rahmat bagi alam semesta)

Berbeda dengan kaum abangan kaum kejawen relatif taat dengan agamanya, dengan menjauhi larangan agamanya dan melaksanakan perintah agamanya namun tetap menjaga jati dirinya sebagai orang pribumi, karena ajaran filsafat kejawen memang mendorong untuk taat terhadap Tuhannya. jadi tidak mengherankan jika ada banyak aliran filsafat kejawen menurut agamanya yang dianut seperti: Islam Kejawen, Hindu Kejawen, Kristen Kejawen, Budha Kejawen, Kejawen Kapitayan (Kepercayaan) dengan tetap melaksanakan adat dan budayanya yang tidak bertentangan dengan agamanya.

Etimologi
 
Kata “kejawen” berasal dari kata "Jawa", yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah "segala sesuatu yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (kejawaan)". Penamaan "kejawen" bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahasa Jawa. Dalam konteks umum, kejawen sebagai filsafat yang memiliki ajaran-ajaran tertentu terutama dalam membangun Tata Krama (aturan berkehidupan yang mulia), Kejawen sebagai agama itu dikembangkan oleh pemeluk Agama Kapitayan jadi sangat tidak arif jika mengatasnamakan kejawen sebagai agama dimana semua agama yang dianut oleh orang jawa memiliki sifat-sifat kejawaan yang kental.

Kejawen dalam opini umum berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofi orang-orang Jawa. Kejawen juga memiliki arti spiritualistis atau spiritualistis suku Jawa, laku olah sepiritualis kejawen yang utama adalah Pasa (Berpuasa) dan Tapa (Bertapa).

Penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan "ibadah"). Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat dan menekankan pada konsep "keseimbangan". Sifat kejawen yang demikian memiliki kemiripan dengan Konfusianisme (bukan dalam konteks ajarannya). Penganut kejawen hampir tidak pernah mengadakan kegiatan perluasan ajaran, tetapi melakukan pembinaan secara rutin.

Simbol-simbol "laku" berupa perangkat adat asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan mantera, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan sebagainya. Simbol-simbol itu menampakan kewingitan (wibawa magis) sehingga banyak orang (termasuk penghayat kejawen sendiri) yang dengan mudah memanfaatkan kejawen dengan praktik klenik dan perdukunan yang padahal hal tersebut tidak pernah ada dalam ajaran filsafat kejawen.

Ajaran-ajaran kejawen bervariasi dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama pendatang, baik Hindu, Buddha, Islam maupun Kristen. Gejala sinkretisme ini sendiri dipandang bukan sesuatu yang aneh karena dianggap memperkaya cara pandang terhadap tantangan perubahan zaman.

Baca juga: Lagu merdu   

Kosa-kata Jawa 

Kosa-kata Jawa juga banyak mengalami perubahan drastis akibat penjajahan, istilah-istilah Jawa yang dahulu mempunyai makna yang arif, luhur, bijaksana kemudian dibelokkan maknanya menurut kepentingan dan perspektif subyektif disesuaikan dengan kepentingan “pendatang baru” yang tidak suka dengan “local wisdom”. Akibatnya; istilah-istilah seperti; kejawen, klenik, mistis, tahyul mengalami degradasi makna, dan berkonotasi negatif. Istilah-istilah tersebut “di-sama-makna-kan” dengan dosa dan larangan-larangan dogma agama; misalnya; kemusyrikan, gugon tuhon, budak setan, menyembah setan dst. Padahal tidak demikian makna aslinya, sebaliknya istilah tersebut justru mempunyai arti yang sangat religius sbb;

Klenik
Merupakan pemahaman terhadap suatu kejadian yang dihubungkan dengan hukum sebab akibat yang berkaitan dengan kekuatan gaib (metafisik) yang tidak lain bersumber dari Dzat tertinggi yakni Tuhan Yang Maha Suci. Di dalam agama manapun unsur “klenik” ini selalu ada.

Mistis
Adalah ruang atau wilayah gaib yang dapat dirambah dan dipahami manusia, sebagai upayanya untuk memahami Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam agama Islam ruang mistik untuk memahami sejatinya Tuhan dikenal dengan istilah tasawuf.

Tahyul
Adalah kepercayaan akan hal-hal yang gaib yang berhubungan dengan makhluk gaib ciptaan Tuhan. Manusia Jawa sangat  mempercayai adanya kekuatan gaib yang dipahaminya sebagai wujud dari kebesaran Tuhan Sang Maha Pencipta.  Kepercayaan kepada yang gaib ini juga terdapat di dalam rukun Islam.

Tradisi
Dalam tradisi Jawa, seseorang dapat mewujudkan doa dalam bentuk lambang atau simbol. Lambang dan simbol dilengkapi dengan sarana ubo rampe sebagai pelengkap kesempurnaan dalam berdoa. Lambang dan simbol juga mengartikan secara kias bahasa alam yang dipercaya manusia Jawa sebagai bentuk isyarat akan kehendak Tuhan. Manusia Jawa akan merasa lebih dekat dengan Tuhan jika do'anya tidak sekedar diucapkan di mulut saja (NATO: not action talk only), melainkan dengan diwujudkan dalam bentuk tumpeng, sesaji dsb sebagi simbol kemanunggalan tekad bulat. Maka manusia Jawa dalam berdoa melibatkan empat unsur tekad bulat yakni hati, fikiran, ucapan dan tindakan

Upacara-upacara tradisional sebagai bentuk kepedulian pada lingkungannya, baik kepada lingkungan masyarakat manusia maupun masyarakat gaib yang hidup berdampingan, agar selaras dan harmonis dalam manembah kapada Tuhan. Bagi manusia Jawa, setiap rasa syukur dan doa harus diwujudkan dalam bentuk tindakan riil (ihtiyar) sebagai bentuk ketabahan dan kebulatan tekad yang diyakini dapat membuat doa terkabul. Akan tetapi niat dan makna dibalik tradisi ritual tersebut sering dianggap sebagai kegiatan gugon tuhon/ela-elu, asal ngikut saja,  sikap menghamburkan dan bentuk kemubadiran, dst.

Kejawen
Berisi kaidah moral dan budi pekerti luhur, serta memuat tata cara manusia dalam melakukan penyembahan tertinggi kepada Tuhan Yang Maha Tunggal. Akan tetapi, setelah abad 15 Majapahit runtuh oleh serbuan anaknya sendiri, dengan cara serampangan dan subyektif, jauh dari kearifan dan budi pekerti yang luhur, “pendatang baru” menganggap ajaran kejawen sebagai biangnya kemusyrikan, kesesatan, kebobrokan moral dan kekafiran, maka harus dimusnahkan. Ironisnya, manusia Jawa yang sudah “kejawan” ilang jawane, justru mempuyai andil besar dalam upaya cultural assasination ini. Mereka lupa bahwa nilai budaya asli nenek moyang mereka itulah yang pernah membawa bumi Nusantara ini menggapai masa kejayaannya di era Majapahit hingga berlangsung selama lima generasi penerus tahta kerajaan.

Baca juga: Hidup sehat dengan protein murah
 
Memahami konsep ajaran kejawen  
 
Konsep kejawen tentang kehidupan dunia
 
Pandangan kejawen tentang makna hidup manusia di dunia ditampilkan secara rinci, realistis, logis dan mengena di hati nurani, bahwa hidup ini diumpamakan hanya sekedar “mampir {ngombe} minum”, hidup dalam waktu sekejap, dibandingkan kelak hidup di alam keabadian setelah raga ini mati. Pada awalnya Tuhan meminjamkan raga kepada ruh, dan ruh harus mempertanggungjawabkan “barang” pinjamannya itu, apabila waktu “kontrak” peminjaman telah habis. Hidup didunia ini hanya sementara. Dan, apa yang dimiliki manusia di dunia hanyalah merupakan bentuk pinjaman yang diberikan Tuhan.
 
Konsep kejawen tentang pahala, dosa, kebaikan dan keburukan
 
Pahala, dosa, kebaikan dan keburukan merupakan empat hal yang saling bersinergi. Maksudnya, pahala merupakan buah ganjaran dari kebaikan dan dosa adalah buah ganjaran dari keburukan. Dalam agama apapun, konsep ajaran seperti ini hampir sama.
 
Ajaran kejawen tidak pernah menganjurkan seseorang menghitung-hitung pahala dalam setiap beribadah. Bagi kejawen, motivasi beribadah atau melakukan perbuatan baik kepada sesama bukan karena tergiur surga. Demikian pula dalam melaksanakan sembahyang menyembah kepada Tuhan Yang Maha Suci, bukan karena takut neraka dan tergiur iming-iming surga, melainkan dalam kejawen ini disebut sebagai kesadaran kosmik, bahwa setiap perbuatan baik kepada sesama adalah sikap adil dan baik pada diri sendiri. Kebaikan kita kepada sesama merupakan kebutuhan diri kita sendiri.
 
Konsep kejawen tentang Tuhan
 
Di dalam pandangan kejawen, Tuhan tidak pernah menghukum ciptaan-Nya sendiri. Sebab, sebagaimana semua agama di dunia ini, ajaran kejawen meyakini bahwa Tuhan bisa membuat apa saja dan sempurna. Intinya, untuk apa Tuhan harus menghukum makhluk ciptaan-Nya sendiri...? Bukankah Tuhan sesungguhnya dapat membuat manusia sempurna...?.
 
Konsep tentang Tuhan mencakup konsep mengenai siapa yang disembah (sesembahan) dan siapa yang menyembah serta bagaimana cara menyembahnya.
 
Masyarakat kejawen juga beranggapan bahwa Tuhan merupakan sesuatu yang abstrak, tetapi keberadaan-Nya merupakan sesuatu yang mutlak sebagai pencipta alam seisinya.
 
Konsep kejawen tentang alam
 
Kejawen meyakini bahwa alam ini terdiri dari tiga jenis, yakni alam fana atau dunia nyata, alam gaib dan alam tunggu atau alam barzakh. Alam fana dihuni oleh manusia, binatang, tumbuhan dan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Adapun alam gaib dihuni oleh jin dan roh. Jin terdiri dari yang baik dan jin yang jahat yang kemudian disebut setan atau dehmit. Roh adalah arwah manusia yang telah meninggal dunia, yang semasa hidupnya sangat dekat dengan Tuhan sehingga dianugerahi ilmu dari-Nya serta diberi kesempatan untuk terus bisa mengamalkan ilmunya sampai hari kiamat. Adapun alam tunggu atau alam barzakh dihuni oleh arwah manusia yang sudah tenteram untuk menunggu datangnya hari kiamat.
 
Menurut kejawen, tugas-tugas makhluk di alam adalah sebagai berikut:

a.  Manusia diberikan tugas untuk mencari bekal sebanyak-banyaknya agar bisa masuk ke surga setelah hari kiamat tiba.
b.  Jin baik diberikan tugas untuk mencari bekal sebanyak-banyaknya agar bisa masuk ke surga setelah hari kiamat tiba.
c.  Jin yang jahat yang disebut setan/dehmit diberikan tugas untuk mengganggu manusia agar tidak bisa masuk surga dan menemani mereka masuk ke neraka.

Manusia untuk bisa mencapai tidaklah mudah, sebab setan/dehmit selalu dan pasti akan menghalangi dengan berbagai cara dan upaya. Adapun cara-cara yang dilakukan setan untuk menghalangi, antara lain lewat pesugihan, jimat, santet dan pusaka.

Baca juga: Perang Salib  yang unik

Pandangan Islam terhadap kejawen sebagai akulturasi budaya Islam dan Jawa

Jawa dan kejawen seolah tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kejawen bisa jadi merupakan suatu sampul atau kulit luar dari beberapa ajaran yang berkembang di Tanah Jawa semasa zaman Hinduisme dan Buddhisme. Dalam perkembangannnya, penyebaran Islam di Jawa juga dibungkus oleh ajaran-ajaran terdahulu, bahkan terkadang melibatkan aspek kejawen sebagai jalur perantara yang baik bagi penyebarannya. Oleh Wali Songo, unsur-unsur dalam Islam berusaha ditanamkan dalam budaya-budaya Jawa, mulai dari pertunjukkan wayang kulit, dendangan lagu-lagu Jawa, ular-ular (petuah berupa filsafat), cerita-cerita kuno hingga upacara-upacara tradisi yang dikembangkan khususnya di Kerajaan Mataram (Yogyakarta-Surakarta). Semua itu merupakan budaya kejawen yang diadaptasi ke dalam Islam.

Pada dasarnya, Islam tidak mengenal istilah atau ajaran kejawen. Secara bahasa maupun istilah, di dalam al-Qur’an dan Hadits tidak ditemukan penjelasan tentang kejawen. Banyak versi yang mengatakan kejawen muncul seiring dengan datangnya para wali (Wali Songo) ke tanah Jawa dalam rangka menyebarkan ajaran Islam. Ketika itu, para wali melakukan penyebaran agama dengan cara yang halus, yaitu memasukkan unsur budaya dan tradisi Jawa agar mudah diterima serta dipahami masyarakat kala itu. Inilah, menurut sebagian kalangan, yang menjadi cikal bakal munculnya Islam kejawen.

Nama besar Sunan Kali Jaga (Raden Said), beliau inilah yang paling banyak mewarnai paham islam-kejawen yang dianut orang-orang jawa saat ini. Sunan Kali Jaga menjadikan kesenian dan budaya sebagai kendaraan dakwahnya. Salah satu kendaran Sunan Kali Jaga dalam penyebaran ajarannya adalah melalu tembang/kidung. Kidung-kidung yang diciptakannya mengandung ajaran ketuhanan dan tasawuf yang sangat berharga. Ajaran islam yang luwes dan menerima berbagai perbedaan. Bahkan Sunan Kali Jaga juga menciptakan satu kidung Rumeksa Ing Wengi yang menurut saya bisa disebut sebagai Ilmu Gaib atau Ilmu Supranatural, karena ternyata orang yang mengamalkan kidung ini memiliki berbagai kemampuan supranatural.

Dari penjelasan diatas, maka secara ringkas dapat disimpulkan bahwa mistik kejawen adalah bersifat universal bagi siapapun. Laku spiritual kejawen juga beradasarkan pandangan hidup atau falsafash hidup, atau disebut juga Jawaisme (javanism). Yang paling utama dalam laku spiritual Jawa adalah perilaku didasari oleh cinta kasih dan pengalaman nyata. Maka, bagi siapapun yang mengaku menghayati falsafah hidup Jawa namun perangainya masih mudah terbawa api emosi, angkara murka, reaktif, sectarian dan primodialisme, kiranya belum memahami secara baik nilai-nilai dalam falsafah hidup kejawen. 

Mistik kejawen merupakan bagian dari ribuan mistik yang ada di dunia. Setiap masyarakat bangsa dan budaya memiliki nilai-nilai tradisi orthodox tersendiri, sebagai mistik yang dipegang teguh sebagai pedoman hidup. Sebagai contoh, mistik Islam yang dikenal dengan orang-orang yang mendalaminya disebut orang-orang zuhud dan sufi, mistik Buddha dikenal Buddhisme, Mistik Hindu yang dikenal dengan Hinduisme dan masih banyak lagi mistik-mistik di dunia ini.

Mistik lebih fleksibel jika dibandingkan dengan agama, sebab mistik tidak mempersoalkan latar belakang ajaran, agama ataupun budaya orang yang ingin menghayatinya. Meski demikian, hal tersebut tidak menimbulkan risiko yang sesungguhnya, keberagaman “kulit” akan dikulit, lalu diambil sisi maknawiahnya yang bersifat hakikat atau esensial. Orang Jawa, Hindu, Buddha, Islam dan Kristen bisa saja mempelajari ilmu tasawuf

Demikian pula sebaliknya, umat Hindu juga bisa mempelajari falsafah hidup Jawa. Hanya saja, kecenderungan kekuasaan rezim agama akan membuat batasan-batasan tegas kepada para penghayatan mistik dengan mistik itu sendiri. Bahkan, sering terjadi prejudice (prasangka), pencitraan secara subjektif, dan punishment (hukuman) yang berdasarkan kepentingan rezim. Jangankan terhadap lintas budaya dan Agama, di dalam lingkup agama itu sendiri pun kerap terjadi hal-hal tersebut. Maka yang terjadi adalah umat yang terkesan “agamais” tetapi sangat miskin pencapaian spiritualnya.

Lalu, bagaimana dengan mistik kejawen…? Mistik kejawen lain daripada yang lain. Kaum kejawen memiliki tradisi asli. Tradisi tersebut berupa pemujaan kekuatan adikodrati yang diwujudkan dengan ritual slametan. Itulah sebabnya, mistik kejawen adalah gejala religi yang unik. Keunikan mistik kejawen berlangsung secara turun-temurun. Kehidupan sehari-hari, tubuh dan lingkungan sekitarnya adalah sumber “kitab” mistik kejawen menggunakan slametan. Jadi, slametan adalah inti tradisi kejawen yang menjadi wahana mistik. Melalui slametan, ritual mistik mendapatkan jalan sasaran sinar cahaya yang di ridhoi.
 
Hari-hari penting
 
Sultan Agung Mataram dianggap sebagai filsuf peletak pondasi kejawen muslim yang kemudian sangat mempengaruhi upacara-upacara penting terutama yang paling nampak adalah penanggalan dalam menentukan hari-hari penting. Hari-hari penting kejawen tidak lepas dari "Kelahiran - Pernikahan - Mangkat" (kematian), yang ketiganya adalah kehidupan dalam tradisi Jawa. Orang Jawa akan mendapatkan nama pada ketiga peristiwa tersebut, yaitu nama saat kelahiran, nama saat pernikahan, nama saat mangkat (nama kematian dengan menambahkan "bin"/ "binti" nama orang tua dibelakang nama kelahiran).
 
Semua hari-hari penting itu ditetapkan sesuai Kalender Jawa yang memiliki Primbon sebagai aturan-aturan dalam menentukan hari penting dan tata caranya. Berikut adalah hari-hari penting dalam Kejawen:
1.   Suran (Tahun Baru 1 Sura).
2.   Sepasaran (upacara kelahiran) dan Aqiqah bagi muslim.
3.   Mantennan (Pernikahan dengan segala upacaranya).
4.  Mangkat (Upacara Kematian) - Mengirim Do'a (Kanduri, Wirid, Ngaji) 7 Hari, 40 Hari, 100 Hari, 1000 Hari, 3000 Hari.
5.  Megeng Pasa - Tanggal 28 dan 29 Bulan Ruwah (Bulan Arwah), yang digunakan untuk mengirim Do'a kepada yang telah mangkat (berangkat) terlebih dahulu, juga waktu Munjung (mengirim makanan lengkap nasi dan lauk kepada orang yang dituakan dalam keluarga) untuk mengikat silaturahmi.
6.  Megeng Sawal - Tanggal 29 dan 30 Bulan Pasa yang digunakan untuk mengirim do'a kepada yang telah mangkat (berangkat) terlebih dahulu, juga waktu Munjung (mengirim makanan lengkap nasi dan lauk kepada orang yang dituakan dalam keluarga) untuk mengikat silaturahmi bagi yang tidak ada kesempatan pada Megeng Pasa.
7.  Riadi Kupat (Hari Raya Kupat) - Tanggal 3, 4 dan 5 Bulan Sawal (Bagi orang tua yang ditinggalkan anaknya sebelum menikah).

Karena filsafat kejawen juga beragama, hari besar agama juga merupakan hari penting kejawen.

Berikut ini adalah beberapa hari penting tambahan untuk kejawen muslim:
  1. Hari Raya Idul Fitri
  2. Hari Raya Idul Adha.
  3. Hari Raya Jum'at.
  4. Muludan (Maulid Kanjeng Nabi Muhammad, S.A.W.)
  5. Sekaten (Syahadatain)
Para penganut kejawen sangat menyukai berpuasa dalam ajaran islam karena dianggap sama dengan ajaran leluhurnya selain juga tafakur yang dianggap sama dengan bertapa.
  1. Pasa Weton - berpuasa pada hari kelahiranya sesuai penanggalan jawa.
  2. Pasa Sekeman - Puasa pada hari senin dan kamis.
  3. Pasa Wulan - Puasa pada setiap tanggal 13, 14 dan 15 pada setiap bulan Kalender Jawa.
  4. Pasa Dawud - Puasa selang-seling, sehari puasa-sehari tidak.
  5. Pasa Ruwah - Puasa pada hari-hari bulan Ruwah (Bulan Arwah).
  6. Pasa Sawal - Puasa enam hari pada bulan Sawal kecuali tanggal 1 Sawal.
  7. Pasa Apit Kayu - Puasa 10 hari pertama pada bulan ke-12 kalender jawa.
  8. Pasa Sura - Puasa pada tanggal 9 dan 10 bulan Sura.
Selain puasa diatas, kejawen juga memiliki puasa biasanya untuk menggambarkan kezuhudan (kesungguhan) dalam mencapai keinginan, jenis puasa tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Pasa Mutih - puasa ini dilakukan dengan jalan hanya boleh makan nasi putih, tanpa garam dan lauk pauk atau makanan kecil dan lain-lain serta minumnya juga air putih.
  2. Pasa Patigeni - puasa tidak boleh makan, minum dan tidur serta hanya boleh dikamar saja tanpa disinari cahaya lampu.
  3. Pasa Ngebleng - puasa tidak boleh makan dan minum, tidak boleh keluar kamar, boleh keluar sekadar tetapi sekadar buang hajat dan boleh tidur tetapi sebentar saja.
  4. Pasa Ngalong - puasa tidak makan dan minum tetapi boleh tidur sebentar saja dan boleh pergi.
  5. Pasa Ngrowot - puasa yang tidak boleh makan nasi dan hanya boleh makan buah-buahan atau sayur-sayuran saja.
 
Kitab dan teks utama
 
Kejawen tidak memiliki Kitab Suci, tetapi orang Jawa memiliki bahasa sandi yang dilambangkan dan disiratkan dalam semua sendi kehidupannya dan mempercayai ajaran-ajaran Kejawen tertuang di dalamnya tanpa mengalami perubahan sedikitpun karena memiliki pakem (aturan yang dijaga ketat), kesemuanya merupakan ajaran yang tersirat untuk membentuk laku utama yaitu Tata Krama (Aturan Hidup Yang Luhur) untuk membentuk orang jawa yang hanjawani (memiliki akhlak terpuji), hal-hal tersebut terutama banyak tertuang dalam karya tulis sebagai berikut:
1.  Kakawin (Sastra Kuna) - merupakan kitab sastra metrum kuna (lama) berisi wejangan (nasihat) berupa ajaran yang tersirat dalam kisah perjalanan yang berjumlah 5 kitab, ditulis menggunakan Aksara Jawa Kuno dan Bahasa Jawa Kuno
2.  Babad (Sejarah-Sejarah) - merupakan kitab yang menceritakan sejarah nusantara berjumlah lebih dari 15 kitab, ditulis menggunakan Aksara Jawa Kuno dan Bahasa Jawa Kuno serta Aksara Jawa dan Bahasa Jawa
3.  Serat (Sastra Baru) - merupakan kitab sastra metrum anyar (baru) berisi wejangan (nasihat) berupa ajaran yang tersirat dalam kisah perjalanan yang terdiri lebih dari 82 kitab, ditulis menggunakan Aksara Jawa dan Bahasa Jawa beberapa ditulis menggunakan Huruf Pegon
4.  Suluk (Jalan Sepiritual) - merupakan kitab tata cara menempuh jalan supranatural untuk membentuk pribadi hanjawani yang luhur dan dipercaya siapa saja yang mengalami kesempurnaan akan memperoleh kekuatan supranatural yang berjumlah lebih dari 35 kitab, ditulis menggunakan Aksara Jawa dan Bahasa Jawa beberapa ditulis menggunakan Huruf Pegon
5.  Kidungan (do'a-do'a) - sekumpulan do'a-do'a atau mantra-mantra yang dibaca dengan nada khas, sama seperti halnya do'a lain ditujukan kepada tuhan bagi pemeluknya masing-masing yang berjumlah 7 kitab, ditulis menggunakan Aksara Jawa dan Bahasa Jawa
6.  Primbon (Ramalan-ramalan) - berupa kitab untuk membaca gelagat alam semesta untuk memprediksi kejadian. ditulis menggunakan Aksara Jawa dan Bahasa Jawa
7.  Piwulang Kautaman (Ajaran Utama) - berupa kitab yang terdiri dari Pituduh (Perintah) dan Wewaler (Larangan) untuk membentuk pribadi yang hanjawani, ditulis menggunakan Aksara Jawa dan Bahasa Jawa.

Naskah-naskah diatas mencakup seluruh sendi kehidupan orang Jawa dari kelahiran sampai kematian, dari resep makanan kuno sampai asmaragama (kamasutra), dan ada ribuan naskah lainya yang menyiratkan kitab-kitab utama diatas dalam bentuk karya tulis, biasanya dalam bentuk ajaran nasihat, falsafah, kaweruh (pengetahuan), dan sebagainya.
 
Beberapa aliran kejawen

Terdapat ratusan aliran kejawen dengan penekanan ajaran yang berbeda-beda. Beberapa jelas-jelas sinkretik, yang lainnya bersifat reaktif terhadap ajaran agama tertentu. Namun biasanya ajaran yang banyak anggotanya lebih menekankan pada cara mencapai keseimbangan hidup dan tidak melarang anggotanya mempraktikkan ajaran agama (lain) tertentu.

Beberapa aliran dengan anggota besar:
  • Padepokan Cakrakembang
  • Sumarah Purbo
  • Budi Dharma
  • Maneges
Aliran yang bersifat reaktif misalnya aliran yang mengikuti ajaran Sabdopalon yang ingin mengembalikan agama orang Jawa kembali ke agama Budha yang dianggap sebagai agama asli menurut Sabdapalon, atau penghayat ajaran Syekh Siti Jenar yang merupakan ajaran/Aliran Islam yang telah ditetapkan sesat oleh Wali Sanga.

Filsafat Jawa
 
Pengertian filsafat
 
Filsafat adalah ilmu yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran atau rasio. Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan.
 
Driyarkara (2006:999-1001) menyatakan bagaimana dari keinginan akan mengerti akan kebenaran, timbul ilmu-ilmu pengetahuan, dan akhirnya muncullah filsafat. Filsafat itu timbul dari setiap orang, asal saja orang itu hidup sadar dan menggunakan pikirannya. Filsafat adalah bentuk ilmu pengetahuan tertentu, bahkan bentuk pengetahun manusia yang sempurna, yang merupakan perkembangan yang terakhir dari pengetahuan luar biasa.

Filsafat dapat dipandang dalam dua segi, filsafat sebagai ilmu pengetahuan dan filsafat dalam arti yang lebih luas, yaitu usaha mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan hidup, menanyakan dan mempersoalkan segala sesuatu.

Dasar filsafat Jawa dapat dilihat dari empat bangunan filsafat, yaitu metafisika, ontologi, epistemologi dan aksiologi.

1.   Metafisika dalam Filsafat Jawa
Sebagaimana dijelaskan pada (Bab II, Buku Filsafat Jawa oleh Sutrisna Wibawa, Universitas Negeri Yogyakarta, 2013), bahwa metafisika berasal dai bahasa Yunani metaphysika yang berarti hal-hal yang terdapat sesudah fisika. Metafisika adalah ilmu pengetahuan mengenai yang ada sebagai yang ada, yang dilawankan misalnya yang ada sebagai yang digerakkan atau yang ada sebagai yang dijumlahkan. 

Dewasa ini, metafisika digunakan baik untuk menunjukkan cabang filsafat pada umumnya maupun acapkali untuk menunjukkan cabang filsafat yang mempelajari pertanyaan-pertanyaan terdalam. Metafisika sering kali juga dijumlahkan, khususnya bagi mereka yang ingin menolaknya, dengan salah satu bagiannya, yaitu ontologi. Metafisika dapat didefinisikan sebagai bagian pengetahuan manusia yang bersangkutan dengan pertanyaan mengenai hakikat yang ada yang terdalam.

2.   Ontolologi Filsafat Jawa
Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa ontologi merupakan bagian dari filsafat yang paling umum. Ontologi merupakan metafisika umum, yang mempersoalkan adanya segala sesuatu yang ada.

Ontologi dalam filsafat Jawa, misalnya dapat dilihat dalam Serat Centhini yang berangkat dari kenyataan yang sungguh-sungguh ada. Hal itu dapat dilihat dari awal tujuan penulisan Serat Centhini. Dalam Serat Centhini jilid satu, disebutkan putera mahkota kerajaan Surakarta Kanjeng Pangeran Adipati Anom Amengkunegara III memberi perintah kepada juru tulis Sutrasna, untuk memaparkan segala pengetahuan Jawa yang dapat digunakan sebagai induk (babon) semua pengetahuan Jawa (pangawikan Jawi) dalam gubahan cerita yang dituangkan dalam bentuk tembang, agar tidak menjemukan tetapi menyenangkan pendengar.

3.   Epistemolog
Dalam filafat Jawa Penjelasan di depan disebutkan bahwa epistemologi merupakan bagian atau cabang filsafat. Salah satu cabang filsafat tentang pengetahuan adalah logika yang memuat logika formal yang mempelajari asas-asas atau hukum-hukum memikir, yang harus ditaati supaya dapat berfikir dengan benar dan mencapai kebenaran serta logika material atau kritika (epistemology) yang memandang isi pengetahuan, bagaimana isi ini dapat dipertanggungjawabkan, mempelajari sumber-sumber dan asal ilmu pengetahuan, alat-alat pengetahuan, proses terjadinya pengetahuan, kemungkinan-kemungkinan dan batas pengetahuan, kebenaran dan kekeliruan, metode ilmu pengetahuan dan lain-lain.

Dasar epistemologis filsafat Jawa dapat dilihat dalam Serat Centhini yang isinya terdiri dari berbagai pengetahuan Jawa, sebagaimana diungkapkan dalam pendahuluan jilid-1 bahwa Serat Centhini merupakan baboning sanggyaning pangawikan Jawi  (induk semua pengetahuan 77 Jawa). Macam pengetahuan Jawa dalam Serat Centhini sebagaimana dinyatakan oleh Darusuprapto (1991: 3) dalam saduran Serat Centhini jilid satu, antara lain mengenai hal ikhwal yang bertalian dengan agama, mengenai beraneka ilmu: kebatinan, kekebalan, perkerisan, perumahan dan pertanian; berbagai kesenian: kesusasteraan, karawitan dan tari; bermacam primbon: perhitungan baik-buruk hari atau waktu berjampi-jampi; berbagai jenis masakan makanan; adat istiadat dan cerita yang bertalian dengan peninggalan bangunan kuna setempat dan sebagainya. 

Ki Sumidi (dalam Kamajaya, 1996: 11-12) menyebutkan ada 28 golongan pengetahuan Jawa, yaitu: sejarah, ramalan, etika, kepurbakalaan, kesosialan, bahasa dan sastra, agama Islam, agama budha, agama kadewan, filsafat, keajaiban, kejiwaan, ilmu senjata-wesi aji, ilmu kuda, ilmu mengendarai kuda, asmara, kesenian, ilmu bangunan rumah, obat-obatan dan penyakit, ilmu bumi, hewan, tumbuh-tumbuhan, pertanian, primbon, kesenangan dan pertunjukan, tata cara, pendidikan, tipe manusia, magic hitam dan campuran. 

4.   Aksiologi dalam Filsafat Jawa
Penjelasan didepan disebutkan bahwa aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut kefilsafatan. Aksiologi dari kata Yunani axios yang berarti bernilai, berharga dan logos berarti kajian tentang. Analisis atas nilai-nilai untuk menentukan makna, ciri, asal mula, corak, ukuran dan kedudukan epistemologinya.

Dasar-dasar aksiologi dalam Filsafat Jawa dapat dilihat dalam Serat Centhini yang bermuatan nilai yang tinggi sebagaimana digambarkan oleh Kamajaya (1996: 1-2), yang menyatakan bahwa Serat Centhini berisi segala sesuatu meliputi kehidupan orang Jawa lahir dan batin, filsafat, kebatinan, agama, hingga Ketuhanan yang rumit, mencakup tradisi, kekayaan alam, adat kebiasaan, kepercayaan, kesenian hingga persoalan seks.
 
Adapun dasar-dasar filsafat Jawa adalah sebagai berikut;
 
1.   Kesadaran Religius
Keimanan dan kepercayaan kepada sesembahan (Tuhan) mendasari munculnya sistem religi dan ritual penyembahan, yaitu sembah raga, jiwa dan sukma, yang mencakup semua daya hidup berupa cipta, rasa, karsa dan daya spiritual. Ritual itu bisa berbentuk tapa brata, yang terdiri dari lima laku, yakni mengurangi makan dan minum, mengurangi keinginan hati, mengurangi nafsu berahi, mengurangi nafsu amarah dan mengurangi berkata-kata atau bercakap-cakap yang sia-sia.
 
2.   Kesadaran Kosmis
Kesadaran kosmis menggambarkan hubungan manusia dengan alam semesta dan isinya. Kesadaran kosmis ini mencitrakan ritual sesaji dengan falsafah semua yang ada di  semesta adalah satu yang berasal dari Sang Pencipta. Falsafah ini mendasari pengetahuan kesatuan, berupa hubungan kosmis-magis manusia dan alam seisinya. 
 
3.   Kesadaran Peradaban
Kesadaran peradaban adalah pemahaman mengenai hubungan manusia dengan manusia. Kesadaran ini berwujud ajaran manusia sebagai makhluk utama harus berhubungan dengan sesama manusia dalam keutamaan (beradab). Kesadaran peradaban ini mewujudkan kesadaran berintegrasi, terlebih dalam bernegara.
 
Ajaran-Ajaran Dalam Filsafat Jawa

Di dalam tulisan Dr. Abdullah Ciptoprawiro dalam buku Filsafat Jawa. Beliau mengatakan bahwa isi buku itu menjadi sangat penting karena didalamnya merumuskan adanya sistem filsafat jawa. Beliau melihat bentuk pemikiran di Jawa dari jaman ke jaman, mulai masa pra-sejarah, sampai masa kemerdekaan Indonesia terdapat pola-pola universal yang mendasari filsafat jawa. Beliau sampai pada kesimpulan bahwa pola universal itu adalah usaha manusia untuk mencapai kesempurnaan atau kasunyatan. Oleh karena itu, pada era reformasi dan demokratisasi pola-pola pemikiran yang universal itu bisa dipastikan tetap ada.

Jika disepakati bahwa filsafat jawa di-eja-wantahkan di dalam bentuk seni wayang, maka dalam wayang akan menunjukkan ciri-ciri dasar filsafat jawa di dalam pergelarannya, sehingga dasar ontologis bagi wayang adalah usaha untuk mencapai kesempurnaan atau kearifan. Usaha untuk memperoleh kesempurnaan atau kearifan. itu tidak saja harus bersifat rasional dan empiris tetapi juga harus mengandung unsur rasa yang menjadi ciri khasnya.

Kearifan yang terkandung dalam filsafat jawa dapat di cotohkan dengan etika dalam kebatinan orang jawa yang terdapat dalam serat pepali ki Ageng Sela. Menurut Ki Ageng Sela hidup di dunia harus di dasari degan keutamaan/keluhuran. Sedangkan untuk mencapai sebuah keluhuran dan keutamaan dapat diusahakan dengaan memperhatikan sikap, sebagai berikut:

a.   Sembada
Dalam kebudayaan jawa, sembada adalah sikap manusia yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bagi orang jawa, orang akan dipandang rendah ketika “ora sembodo”. Misalnya jika ia memang sanggup melakukan sesuatu hendaknya bisa melakukan meskipun dengan susah payah.
b.   Sabar-Andhap Ashar
Sabar mudah diucapkan tetapi sulit untuk dilalksanakan. Dalam kata sabar terkandung suasana hati tenang dan terkendali, yaitu dapat mengalahkan sesuatu yang sangat besar dan sulit yang dapat mengantarkan keluhuran atau keutamaan seseorang. Andhap asar atau rendah hati biasanya adalah orang yang mau mengalah terhadap orang lain, yang juga dibutuhkan seseorang untuk mencapai keluhuran.
c.   Suka
Keluhuarn seseorang tidaklah muncul secara otomatis, setapak demi setapak harus dilakukan dengan laku prihatin, misalnya dengan mengurangi nafsu makan dan tidur. Laku prihatin tersebut dapat lebih sempurna jika disertai dengan suka “gembira”. Karena mengerjakan sesuatu jika tidak didasari oleh kegambiraan tidak akan pernah menghasilkan sesuatu yang baik.
d.   Karep
Dalam kehidupan, manusia senantiasa mempunyai karep atau keinginan, baik keinginan jahat maupun keinginan baik. Oleh karena itu Ki Ageng Sela menasehati agar manusia memiliki sikap etis yang sesuai dengan nilai kejawen, yaitu senang dengan kebaikan. Menurut Abdullah (1996: 26) keinginan baik akan selalu berhadapan dengan keinginan buruk untuk menjelmakan prilaku manusia. Dan manusia diharapkan tidak menganggap sesama manusia adalah musuh.
e.   Dalan Padhang
Seseorang haruslah menyingkirkan sesuatu yang negative dalam hidupnya. Diibaratkan menyingkirkan perdu-perdu, duri atau lumut yang ada dijalan agar tidak membuat seseorang menjadi celaka misalnya dapat diwujudkan dengan memberikan sedekah kepada orang miskin, memberi petunjuk kepada orang bingung dan dilaksanakan dengan senang hati, tidak ada paksaan.
f.    Jiguh, ragu-ragu
Orang yang jiguh adalah orang yang menemui kesulitan yang muncul karena tidak dapat memutuskkan perkara dengan baik dan tepat. Dan kita harus dapat berlaku cerdik. Kalau kita tidak dapat mengambil sikap yang tepat kita akan terlambat sehingga ketika mati kita tidak akan dapat memanfaatkan apa yang telah kita cari dan kita dapatkan. Ada persoalan yang lebih tidak boleh disikapi denag ragu-ragu yaitu kehidupan akhirat. Dan hidup haruslah seimbang antara dunia dan akhirat.
g.   Ngutuh-Kumed, tak tahu malu-pelit
Orang yang tak tahu malu akan dijauhi oleh sesamanya karena tidak pernah mau memperhatikan bahwa ia akan mati. Ia hanya berpikiran bahwa orang yang rilan (suka memberi) pasti akan melarat, karena kekayaan dunia tidak akan pernah habis jika memang dipergunakan untuk menolong manusia.

Filsafat Jawa membawa kearifan seseorang

Kearifan merupakan sebuah kemauan untuk melihat rambu-rambu (hukum alam yang diciptakan Sang Pencipta, yang mau tidak mau kita akan tunduk kepadanya), kemauan merasakan, melihat, menggagas dan kemudian patuh terhadap rambu-rambu itu. Manusia diciptakan memiliki akal untuk bebas menentukan pilihan. Tetapi apapun pilihan manusia akan selalu tunduk pada aturan main hukum alamnya. Itulah yang dinamakan kearifan yaitu kemauan manusia untuk melihat dan bertindak sesuai alur hukum alam Sang Pencipta. 

Kearifan merupakan hasil dari filsafat Jawa, sedangkan kearifan sendiri dapat dilihat dalam berbagai hal diantaranya adalah:
a)   Kearifan melihat pertanda alam
Ketika kita mendengar dongeng legenda atau kisah-kisah sejarah zaman dahulu, bahwa kita itu orang begitu tinggi kepekaannya terhadap apa yang terjadi dengan alam. Mereka terbiasa menggagas kejadian alam dan mengurai maknanya. Untuk menganalisa kira-kira apa yang harus dilakukan sebuah kejadian.

Hal ini bisa dianalogikan dengan sebuah kepekaan semut. Seperti saat menjelang musim penghujan tiba, banyak semut yang berbondong-bondong berderet bermigrasi dari tanah atau sela-sela ubin, menyusuri dinding, bergerak keatas untuk mencari sarang di sela-sela dinding atau langit-langit. Mungkin kita tidak pernah tahu pertanda apa yang diterima pengindraan semut, sehingga mereka berpindah tempat tinggal dari bawah ke atas. 

Kita tahu bahwa kalau hujan tiba, tanah akan menjadi basah dan keadaan ini bisa berbahaya bagi komunitas semut. Sehingga mereka berpindah tempat tinggal dari bawah keatas. Kita tahu bahwa kalau hujan tiba, maka tanah akan menjadi basah dan keadaan ini bisa berbahaya bagi komunitas semut, sehingga sebelum hujan tiba mereka memindahkan komunitasnya ketempat yang lebih tinggi.

Dengan begitu sebenarnya telah memberikan penglihatan pentingnya sebuah pertanda alam, sehingga bisa memberikan kita pertimbangan-pertimbangan untuk melangkah dalam kehidupan.

b)   Kearifan dalam menggapai tujuan.
Kearifan melihat pertanda alam adalah upaya kita untuk melihat manusia sebagai bagian dari alam yang selalu berubah dan patuh pada keberulangan. Tetapi yang paling penting adalah kesadaran kita bahwa manusia ada yang menciptakan yaitu Tuhan Sang Pencipta. Kemudian dalam menjalani hidupi dunia ini, manusia harus melangkah. Arah inilah yang selalu menjaga kita agar tidak keluar dari koridor tujuan hidup kita dan konsisten menuju Tuhan tersebut. Untuk itu, manusia harus bisa membiasakan diri untuk bisa mendefinisikan tujuan hidupnya. Apa misi dan visinya pada kehidupan di dunia ini. Kearifan ini adalah cermin dari sebuah gagasan pentingnya sebuah tujuan, visi dan misi, baik secara individu maupun kelompok.

c)   Hubungan antara kesuksesan dengan filsafat Jawa
Kesuksesan mempunyai arti keberhasilan atau keberuntungan, dalam kamus umum bahasa Indonesia yang disusun oleh W, J, S, Purwadarminto, filsafat jawa mengatakan bahwa dalam menggapai sukses adalah sebuah semangat untuk melihat bahwa sebuah kesuksesan bukanlah dilihat dari tujuannya, tetapi juga dilihat cara menggapai atau perjalanan untuk mencapainya. Dalam mencapai kesuksesan tentu melalui banyak jalan yang yang harus ditempuh, tetapi upaya tetap pada koridor rambu-rambu menuju kesuksesan yaitu sebuah pondasi atas kesuksesan itu sendiri, seperti sebuah analogi seseorang yang berangkat dari Surabaya menuju Jakarta.

Misalnya; Surabaya adalah titik awal potret kehidupanya saat ini, sedang Jakarta adalah tempat tujuan yang menjadi tolak ukur keberhasilannya. Semua orang sepakat bahwa ketika dia mencapai Jakarta maka dia berhasil menjadi orang yang sukses. Tapi ketika diketahui bahwa disepanjang perjalanan Surabaya menuju Jakarta banyak rintangan yang harus dilalui. Maka dari itu, orang ini bukanlah sukses yang sesungguhnya jika tidak bisa melalui rintangan dalam perjalanan tersebut. Katakan sukses ketika perjalanan dari Surabaya ke Jakarta dia mampu melaui atau melewati segala rintang dengan baik.

Misalnya, menaati rambu-rambu lalu lintas disepanjang jalan sama halnya kajadian orang yang dianggap sukses dengan kekayaanya, seperti tak ada gunanya lagi ketika kesuksesan itu ketika dia terindikasi melakukan tindakan pidana korupsi, atau kesuksesan yang didapat dengan gelar pendidikan yang diperoleh secara tiba-tiba... sukses itu seperti tak ada artinya ketika orang tahu bahwa ijazah kesarjanaanya palsu, atau juga ketika dianggap sukses mencapai jabatan tertentu, orang kemudian bisa mempertanyakan kesuksesan yang dicapainya, ketika sukses dia menyalah-gunakan wewenang atau jabatan tersebut.

Delapan ajaran kejawen

Delapan ajaran Jawa adalah ajaran kejawen leluhur yang dilestarikan oleh Tumenggung Majapahit KRT. Wiragati pada abad 14 Delapan ajaran Jawa yang dimaksud adalah:
 
1.      Ora Mateni Sakabehe,
Artinya tidak membunuh apa saja, semua mahluk hidup harus dicintai dengan sungguh-sungguh baik tumbuhan maupun hewan apalagi manusia, pada sebagian besar hewan mengenal rasa sakit, kecuali hewan di air, jiwa dikehidupan yang mengenal rasa adalah percikan Tuhan yang akan berbalik menjadi energi negatif bagi diri mahluk hidup yang menyakiti, apabila disakiti, membunuh dalam konteks menyakiti tidak diperkenankan karena merupakan perbuatan kejam. 

Apapun alasannya setiap pembunuhan adalah menyakiti dan untuk mencapai kesucian jiwa maka membunuh apapun akan dapat menodai kesucian tersebut. Membunuh hanya dapat dilakukan oleh jiwa-jiwa rendah seperti hewan dan pembunuh akan sangat sulit mencapai alam tengah.

2.      Ora Ngrusak Sakabehe,
Artinya tidak merusak apa saja, merusak alam merusak diri sendiri dan merusak makhluk hidup lain tidak diperbolehkan. Kemajuan teknologi akan tidak ada artinya apabila dampaknya adalah kerusakan ekosistem dan alam. Tidak menjaga kesehatan, merokok, minum minuman keras, narkoba adalah merusak tubuh dan banyak perbuatan yang dampaknya adalah kerusakan hal ini sangat dilarang dalam ajaran Jawa.

3.      Ora Mangan Kewan,
Tidak makan hewan. konsep Jawa mengajarkan bahwa hampir semua hewan di darat mempunyai rasa sakit dan mempunyai jiwa kecuali beberapa hewan di air. kita tidak pernah menemui hewan di darat yang menjumpai api tetapi tetap diterjang, akan tetapi pasti dia akan menghindar, artinya dia punya rasa sakit, lain halnya dengan beberapa hewan air… bahwa hewan air hanya setingkat lebih tinggi dari tumbuhan dan tumbuhan tidak mempunyai rasa sakit.

Bagaimana perasaan anda memakan daging makhluk hidup yang kematiannya menderita ?. Apabila hal ini diterapkan dengan ilmu kesehatan, ternyata memang hampir semua penyebab penyakit berasal dari makanan dari daging hewan di darat, jadi sekalipun orang Eropa mengenal vegetarian, kita sudah lebih dahulu melaksanakannya. 

4.      Ora Ngapusi, Tidak menipu
Menipu adalah berbohong untuk menguntungkan diri sendiri atau untuk sebuah tujuan menguntungkan demi keinginan dan nafsu, apabila tidak pernah melakukan perbuatan menipu sudah pasti ketenangan hidup dan kebahagiaan akan selalu menyertainya.

5.      Budhi lan Karya,
Berperilaku baik berpikir dan bekerja keras, walaupun sikap menerima selalu tertanam di hati namun bekerja keras dan berfikir untuk maju senantiasa dilakukan terus menerus.

6.      Maca lan Maguru sepadha-padha,
Membaca dan mencari ilmu pegetahuan seluas-luasnya. Alam semesta adalah guru utama, semua makhluk hidup adalah guru, manusia di luar diri kita adalah guru, dengan menjadikan semua yang diluar diri kita adalah guru maka kita dapat menyerap semua hal dari sisi ilmu dan tidak sekali-kali meremehkan orang lain, siapapun dia.

7.      Tenggang rasa,
Tepo sliro Simpati dan bijaksana menghadapi makhluk diluar kita yang sedang menderita, sehingga kita bisa ikut merasakan dan membantu sebisanya, siapapun yang suka memberi, pasti dia mudah untuk menjadi kaya, karena memberi membuka pikiran aura tubuh untuk menjadi orang baik, mengerem kerakusan dan menetralkan badan dari energi negative sehingga peluang materi tertarik badan dari luar dapat mudah datang dengan sendirinya, sehingga tidak heran apabila anda sering memberi banyak muncul kebetulan yang mengarah pada rejeki (konsep yang diterapkan oleh para milyuner dunia).

Namun pada orang yang kikir, pelit dan hanya membelanjakan uang untuk kepentingan sendiri atau untuk pemuasan keyakinan sendiri tanpa rasa tulus mencintai orang lain maka dampaknya adalah kesusahan untuk mendapatkan peluang dan rejeki, untuk lebih mudahnya mulai sekarang dan 6 bulan ke depan silahkan dipraktekkan dan dirasakan perbedaannya.

8.      Ngadohi Wong ala,
Kejem lan mbilaheni, menjauhi orang yang jahat, kekejaman dan marabahaya, prinsip tidak ikut intervensi kepada orang lain dengan cara menjauhi dan menghindarinya jauh lebih baik daripada menasehati yang belum tentu diterima.

Sepuluh (10) ajaran Sunan Kalijaga dalam filosofi Jawa adalah;
 

  1. Urip Iku Urup
(Hidup itu Nyala, Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain disekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik)

  1. Memayu Hayuning Bawono, Ambrasto dur Hangkoro
(Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak).

  1. Suro Diro Joyo Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti
(Segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar)

  1. Ngluruk Tanpo Bolo, Menang Tanpo Ngasorake, Sekti Tanpo Aji-Aji, Sugih Tanpa Bondho
(Berjuang tanpa perlu membawa massa; Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan; Berwibawa tanpa mengandalkan kekuatan; Kaya tanpa di dasari kebendaan)

  1. Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan
(Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri; Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu).

  1. Ojo Gumunan, Ojo Getunan, ojo Kagetan, ojo Aleman
(Jangan mudah terheran-heran; Jangan mudah menyesal; Jangan mudah terkejut-kejut; Jangan mudah kolokan atau manja).

  1. Ojo Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman
(Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi).

  1. Ojo Kuminter Mundak Keblinger, ojo Cidra Mundak Cilaka.
(Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah; Jangan suka berbuat curang agar tidak celaka).

  1. Ojo Milik Barang Kang Melok, Aja Mangro Mundak Kendo.
(Jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah; Jangan berfikir mendua agar tidak kendor niat dan kendor semangat).

  1. Ojo Adigang, Adigung, Adiguno
(Jangan sok kuasa, sok besar, sok sakti)
 
Baca juga: Cara menjadi yang terbaik 
 
Ajaran tentang budi pekerti, menggapai manusia sejati

Dalam khasanah referensi kebudayaan Jawa dikenal berbagai literatur sastra yang mempunyai gaya penulisan beragam dan unik. Sebut saja misalnya; kitab, suluk, serat, babad, yang biasanya tidak hanya sekedar kumpulan baris-baris kalimat, tetapi ditulis dengan seni kesusastraan yang tinggi, berupa tembang yang disusun dalam bait-bait atau padha yang merupakan bagian dari tembang misalnya; pupuh, sinom, pangkur, pucung, asmaradhana dst. Teks yang disusun ialah yang memiliki kandungan unsur pesan moral, yang diajarkan tokoh-tokoh utama atau penulisnya, mewarnai seluruh isi teks.

Pendidikan moral budi pekerti menjadi pokok pelajaran yang diutamakan. Moral atau budi pekerti di sini dalam arti kaidah-kaidah yang membedakan baik atau buruk segala sesuatu, tata krama atau aturan-aturan yang melarang atau menganjurkan seseorang dalam menghadapi lingkungan alam dan sosialnya. Sumber dari kaidah-kaidah tersebut didasari oleh keyakinan, gagasan dan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat yang bersangkutan. Kaidah tersebut akan tampak dalam manifestasi tingkah laku dan perbuatan anggota masyarakat.

Dua ancaman besar dalam ajaran kejawen

Dalam ajaran kejawen, terdapat dua bentuk ancaman besar yang mendasari sikap kewaspadaan (eling lan waspada), karena dapat menghancurkan kaidah-kaidah kemanusiaan, yakni; hawanepsu dan pamrih. Manusia harus mampu meredam hawa nafsu atau nutupi babahan hawa sanga. Yakni mengontrol nafsu-nafsunya yang muncul dari sembilan unsur yang terdapat dalam diri manusia dan melepas pamrihnya.

Dalam perspektif kaidah Jawa, nafsu-nafsu merupakan perasaan kasar karena menggagalkan kontrol diri manusia, membelenggu serta buta pada dunia lahir maupun batin. Nafsu akan memperlemah manusia karena menjadi sumber yang memboroskan kekuatan-kekuatan batin tanpa ada gunanya. Lebih lanjut, menurut kaidah Jawa nafsu akan lebih berbahaya karena mampu menutup akal budi. Sehingga manusia yang menuruti hawa nafsu tidak lagi menuruti akal budinya (budipekerti). Manusia demikian tidak dapat mengembangkan segi-segi halusnya, manusia semakin mengancam lingkungannya, menimbulkan konflik, ketegangan dan merusak ketrentaman yang mengganggu stabilitas kebangsaan.

Nafsu

Hawa nafsu (lauwamah, amarah, supiyah) secara kejawen diungkapkan dalam bentuk akronim, yakni apa yang disebut M5 atau malima; madat, madon, maling, mangan, main; mabuk-mabukan, main perempuan, mencuri, makan, berjudi. Untuk meredam nafsu malima, manusia Jawa melakukan laku tapa atau “puasa”. Misalnya; tapa brata, tapa ngrame, tapa mendhem, tapa ngeli.

Tapa brata;
Sikap perbuatan seseorang yang selalu menahan/puasa hawa nafsu yang berasal dari lima indra. Nafsu angkara yang buruk yakni lauwamah, amarah, supiyah.

Tapa ngrame;
Adalah watak untuk giat membantu, menolong sesama tetapi “sepi” dalam nafsu pamrih yakni golek butuhe dewe.

Tapa mendhem;
Adalah mengubur nafsu riak, takabur, sombong, suka pamer, pamrih. Semua sifat buruk dikubur dalam-dalam, termasuk “mengubur” amal kebaikan yang pernah kita lakukan kepada orang lain, dari benak ingatan kita sendiri. Manusia suci adalah mereka yang tidak ingat lagi apa saja amal kebaikan yang pernah dilakukan pada orang lain, sebaliknya selalu ingat semua kejahatan yang pernah dilakukannya. 

Tapa ngeli,
Yakni menghanyutkan diri ke dalam arus “aliran air sungai Dzat”, yakni mengikuti kehendak Gusti Maha Wisesa. “Aliran air” milik Tuhan, seumpama air sungai yang mengalir menyusuri sungai, mengikuti irama alam, lekuk dan kelok sungai, yang merupakan wujud bahasa “kebijaksanaan” alam. Maka manusia tersebut akan sampai pada muara samudra kabegjan atau keberuntungan. Berbeda dengan “aliran air” bah, yang menuruti kehendak nafsu akan berakhir celaka, karena air bah menerjang wewaler kaidah tata krama, menghempas “perahu nelayan”, menerjang “pepohonan” dan menghancurkan “daratan”.

Pamrih

Pamrih merupakan ancaman ke dua bagi manusia. Bertindak karena pamrih berarti hanya mengutamakan kepentingan diri pribadi secara egois. Pamrih, mengabaikan kepentingan orang lain dan masyarakat. Secara sosiologis, pamrih itu mengacaukan (chaos) karena tindakannya tidak menghiraukan keselarasan sosial lingkungannya.  Pamrih juga akan menghancurkan diri pribadi dari dalam, kerana pamrih mengunggulkan secara mutlak keakuannya sendiri (istilahnya Freud; ego). 

Karena itu, pamrih akan membatasi diri atau mengisolasi diri dari sumber kekuatan batin. Dalam kaca mata Jawa, pamrih yang berasal dari nafsu ragawi akan mengalahkan nafsu sukmani (mutmainah) yang suci. Pamrih mengutamakan kepentingan-kepentingan duniawi, dengan demikian manusia mengikat dirinya sendiri dengan dunia luar sehingga manusia tidak sanggup lagi untuk memusatkan batin dalam dirinya sendiri. Oleh sebab itu pula, pamrih menjadi faktor penghalang bagi seseorang untuk mencapai “kemanunggalan” kawula gusti.

Pamrih itu seperti apa, tidak setiap orang mampu mengindentifikasi. Kadang orang dengan mudah mengartikan pamrih itu, tetapi secara tidak sadar terjebak oleh perspektif subyektif yang berangkat dari kepentingan dirinya sendiri untuk melakukan pembenaran atas segala tindakannya. 

Untuk itu penting dikemukakan bentuk-bentuk pamrih yang dibagi dalam tiga bentuk nafsu dalam perspektif kejawen;
  1. Nafsu selalu ingin menjadi orang pertama, yakni; nafsu golek menange dhewe; selalu ingin menangnya sendiri.
  2. Nafsu selalu menganggap dirinya selalu benar; nafsu golek benere dhewe.
  3. Nafsu selalu mementingkan kebutuhannya sendiri; nafsu golek butuhe dhewe. Kelakuan buruk seperti ini disebut juga sebagai aji mumpung. Misalnya mumpung berkuasa, lantas melakukan korupsi, tanpa peduli dengan nasib orang lain yang tertindas.

Untuk menjaga kaidah-kaidah manusia supaya tetap teguh dalam menjaga kesucian raga dan jiwanya, dikenal di dalam falsafah dan ajaran Jawa sebagai lakutama, perilaku hidup yang utama. 

Sembah merupakan salah satu bentuk lakutama, sebagaimana di tulis oleh pujangga masyhur (tahun 1811-1880-an) dan pengusaha sukses, yang sekaligus Ratu Gung Binatara terkenal karena sakti mandraguna, yakni Gusti Mangkunegoro IV dalam kitab Wedhatama (weda=perilaku, tama=utama) mengemukakan sistematika yang runtut dan teratur dari yang rendah ke tingkatan tertinggi, yakni catur sembah; sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, sembah rasa. Catur sembah ini senada dengan nafsul mutmainah (ajaran Islam) yang digunakan untuk meraih ma’rifatullah, nggayuh jumbuhing kawula Gusti. Apabila seseorang dapat menjalani secara runtut catur sembah hingga mencapai sembah yang paling tinggi, niscaya siapapun akan mendapatkan anugerah agung menjadi manusia linuwih, atas berkat kemurahan Tuhan Yang Maha Kasih, tidak tergantung apa agamanya.
Dunia dan Manusia (donya lan manungso)

Yang perlu anda ketahui juga adalah bahwa semua yang berada pada alam semesta teryata ada dalam diri manusia dan diantaranya sebagai berikut: 
1.   Golekana galihing kangkung
Artinya, ibarat sukma yang ada pada diri palaku mistis, sukma itu ada tetapi sulit diketahui, seperti galih kangkung, batang kangkung berlubang ditengahnya, berbeda dengan pohon jati yang tampak galihnya itu berarti galih kangkung itu sangat gaib. 
 
2.   Manuk mabur ngungkuli langit
Artinya, manusia dalam menjalankan mistis harus mengetahui dimana tempat angin bersarang, ini ibarat dari tempat persembuyian angin, yaitu jantung manusia, ketika jantung manusia tidak berdenyut lagi, manusia tidak mampu menghirup angin, berarti di telah mati. 
 
3.   Golek geni adedamar lan golek banyu apikulan warih
Artinya, mencari api berbekal api dan mencari air sambil membawa air, keduanya ibarat asal-usul manusia, yakni memiliki anasir api dan angin dari anasir api manusia akan mengeluarkan api yang berupa nafsu dan energy dan dari anasir airpun, manusia akan mengeluarkan air hal ini sejajar dengan ‘tirta kinemulan warih” yang artinya dalam diri kita yang terdapat sumber kekuatan baik itu dari api maupun air.

Penutup atur

Dari semua yang telah disampaikan penulis diatas dapat disarikan bahwa budaya di tanah jawa {kejawen} mengandung ajaran “adiluhung” yang sangat berguna bagi kehidupan masyarakat. Ajaran adiluhung tersebut biasanya terwujud dalam mutiara-mutiara kata orang jawa bisa berupa serat, kebudayan jawa dan lain-lain. Dari ajaran adiluhung tersebut akan dapat mengantarkan seseorang untuk mencapai sebuah keutamaan, kesempurnaan dan kemulyaan.  

Demikianlah makna dari ajaran kejawen yang sesungguhnya, dengan demikian dapat menambah jelas  pemahaman terhadap konsepsi pendidikan budi pekerti yang mewarnai kebudayaan Jawa. Hal ini dapat diteruskan kepada generasi muda guna membentuk watak yang berbudi luhur dan bersedia menempa jiwa yang berkepribadian teguh. Uraian yang memaparkan nilai-nilai luhur dalam kebudayaan masyarakat Jawa yang diungkapkan diatas dapat membuka wawasan pikir dan hati nurani bangsa bahwa dalam masyarakat kuno asli pribumi telah terdapat seperangkat nilai-nilai moralitas yang dapat diterapkan untuk mengangkat harkat dan martabat hidup manusia.

Itulah sekelumit gambaran dari salah satu budaya leluhur milik NKRI diatas, yang tentu dapat berimbang pada keberlangsungan budaya-budaya masyarakat di seluruh wilayah negeri, maka marilah seluruh komponen negeri {NKRI} bahu-membahu bersemangat melestarikan ragam budaya Bangsa sebagai ciri khas dan jati diri negeri nan elok penuh keramahan....

Nuwun
 
Salam membangun...
Next
This is the most recent post.
Older Post
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

1 komentar:

  1. Betway Casino, New York - Mapyro
    View maps and reviews of 광양 출장마사지 Betway 논산 출장샵 Casino, New York. 전주 출장샵 Address: 898-891-3131. Phone: 상주 출장마사지 800-849-1000. 청주 출장마사지

    ReplyDelete

Item Reviewed: Memahami Budaya dan Karakter Bangsa Rating: 5 Reviewed By: widjaja
×
Judul